Sabtu, 16 Mei 2009

MEMBANGUN PERPAJAKAN YANG DEMOKRATIS

Pendahuluan
Negara Indonesia merupakan bagian dari negara besar di dunia yang struktur ekonominya bisa dikatakan sangat timpang. Hal ini disebabkan basis ekonomi Indonesia yang strategis dimonopoli oleh kalangan feodalistik-tradisional dan masyarakat modern kapitalis yang menerapkan prinsip ekonomi konvensional.[1] Kondisi ini telah menciptakan suatu kesenjangan yang teramat dasyhat dimana sebagian orang membumbung di atas dengan hasil kekayaan yang dikuasainya, sementara sebagian yang lain justru terperosok ke dalam kubang kemelaratan yang dideritanya. Selain itu, munculnya masyarakat modern yang diuntungkan oleh sistem ekonomi dan perbankan, telah menyebabkan ketimpangan persaingan ekonomi semakin menajam. Dalam hal ini, pihak-pihak yang memiliki sumber daya manusia dan modal yang kuat akan sangat diuntungkan, sedangkan rakyat kecil dengan sumber daya manusia yang lemah dan modal serta akses yang sangat minim yang menjadi korbannya dan atau hanya bisa jadi penonton di negerinya sendiri.
Selama lebih setengah abad bangsa Indonesia menerapkan kebijakan ekonomi yang jauh dari semangat kerakyatan. Hal itu dapat dilihat dari kebijakan pemerintah Orde Baru yang terlalu mengutamakan dan mengistimewakan segelintir kelompok pengusaha besar yang diberi kesempatan seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya untuk mengembangkan usahanya. Pertumbuhan ekonomi pun digenjot. Mereka diberi kemudahan dan fasilitas untuk melakukan ekspansi bisnis. Kredit-kredit milyaran bahkan triliunan rupiah dikucurkan pada mereka tanpa agunan. Di samping itu, para konglomerat memonopoli komoditas-komoditas tertentu yang dibutuhkan orang banyak. Namun sejalan dengan fakta kesejarahan, strategi pembangunan ekonomi Rostow yang dianut oleh Indonesia dengan paradigma trickle down effect ternyata hanya membuahkan kegagalan
Sungguh merupakan suatu fenomena yang tragis ditengah hiruk pikuknya perkembangan ekonomi yang saat ini telah masuk dalam suatu gejala mondial di mana saat ini dunia berada dalam posisi tanpa tapal batas. Padahal untuk memperbaiki kondisi perekonomian yang timpang ini, tidak hanya sekedar mendorong segelintir pelaku usaha untuk terus melakukan pemupukan terhadap kekayaannya, akan tetapi yang terpenting adalah bagaimana mendistribusikannya secara optimal. Dengan kata lain, pendistribusian pendapatan secara adil dan merata adalah cara yang paling efektif untuk mencapai peningkatan pendapatan secara simultan di kalangan lapisan masyarakat. Sebab, produksi kekayaan yang meningkat tidak akan bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi masyarakat jika tidak diimbangi dengan pendistribusiannya.
Dari sinilah, pajak dipandang memiliki potensi strategis sebagai salah satu instrumen penting dalam upaya pemerataan pendapatan yang berkeadilan pada semua level komponen bangsa, sehingga dapat memperkuat basis ekonomi nasional khususnya ekonomi rakyat. Pajak sebagai bentuk kontrak sosial antara rakyat dengan negara, menempati posisi sentral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai wahana untuk menyeimbangkan simpul-simpul politik, ekonomi, dan sosial yang berserakan dalam masyarakat. Dengan pajak yang dipungut dari rakyat yang memiliki kewajiban membayar pajak, negara kemudian membuat proyek kemaslahatan umum yang bernuansa sosial, ekonomi, politik, dan budaya dalam rangka peningkatan kesejahteraan bangsa.
Memang pajak merupakan hal penting dalam urusan bernegara, sebab dengan pajak itulah distribusi keadilan sosial dapat dilakukan. Negara dengan pajak akan dapat mengurangi tingkat kecemburuan sosial warga negara yang tidak memiliki sumber-sumber ekonomi yang memadai. Oleh karena itu, negara dalam konteks yang lebih luas harus memainkan peran-peran penting dalam rangka mengangkat keterpurukan bangsa untuk memberikan substansi kemerdekaan baru bagi kemanusiaan yang berprespektif keadilan, memperbaiki infrastruktur sosial yang saat ini telah carut marut akibat tsunami ekonomi dan memperbaiki ekonomi masyarakat yang pada tataran kekinian telah diambang yang cukup memprihatinkan akibat adanya ketimpangan kekuatan struktur ekonomi masyarakat.
Dalam konteks ketata-negaraan, suatu proses perubahan yang terjadi baru bermanfaat secara sosial, ekonomi, politik dan budaya bagi rakyat kebanyakan, kalau negara memberikan pelayanan dan pembangunan yang merata tanpa pilih kasih. Walaupun pendekatan prioritas kerap selektif untuk suatu kebijakan politik tetap diperhitungkan, namun kebijakan dimaksud tetap berorientasi kemanusiaan secara menyeluruh, sehingga dengan begitu akan memberikan dampak sosial yang positif bagi akomodasi simpul-simpul kultural dan daya kohesi dan agregasi sosial menjadi kuat.
Reformasi yang telah berlangsung mestinya memberikan arah yang jelas bagi pembangunan kembali simpul-simpul sosial kultural. Reformasi itu sendiri belum memberikan kontribusi realnya atas bangunan sosial yang dimaksud, bahkan reformasi yang telah berumur sewindu ini mengukuhkan praktek politik kaum elite yang cenderung korup, manipulatif dan jauh dari semangat demokratis yang menjadi cita-cita dasar reformasi. Justru eforia reformasi yang hampir didengungkan dan cukup menguras energi berpikir pada semua level kehidupan demokrasi, saat ini dianggap telah kehilangan kendali, kebablasan dan jauh dari oerientasi serta semangat yang melatar belakangi reformasi tersebut digulirkan oleh elemen kritis bangsa.
Di tengah kondisi politik demikian, praktik perpajakan yang agak “krodit” harus menyadari akan adanya impact dari perubahan yang saat ini terus berlangsung. Kalau pajak masih dikelola dengan cara-cara lama, maka akan memperoleh berbagai tekanan dari kalangan sosial politik. Oleh karena itu, dalam rangka pendistribusian kekayaan dalam perspektif keadilan, pajak harus dikelola menurut standar dan aturan yang lebih terbuka dan demokratis.
Agenda bangsa yang menyangkut reorientasi pajak agar menjadi demokratis yang merupakan keinginan banyak orang menjadi penting untuk segera dilakukan. Tanpa melakukan perbaikan dalam konteks perubahan tersebut, pajak dengan berbagai dinamikanya akan dirombak oleh mesin perubahan yang siap sedia untuk memperbaikinya.
Cara-cara pengelolaan pajak yang penuh bias dan cenderung menyimpang harus segera ditinggalkan dengan melakukan perbaikan internal pajak menuju good governance. Sungguh pun begitu, kalangan pajak sendiri harus ditekan oleh kekuatan negara agar mereka yang diberi tugas mengelola sumber keuangan negara tersebut dapat menunjukkan perilaku yang demokratis.
Pajak Dan Potret Ekonomi Indonesia
Pada saat ini, bangsa Indonesia sedang menjalankan reformasi ekonomi sebagai bentuk usaha pemulihan akibat tsunami ekonomi yang secara riil telah mengganggu sedemikian hebatnya terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Walaupun telah berjalan dalam kurun waktu yang cukup lama dan juga sejalan dengan silih bergantinya rezim kekuasaan, namun kelihatannya, pelaksanaan dan hasilnya masih jauh dari harapan.
Dalam pandangan Sri Adiningsih, faktor non ekonomi baik sosial, politik dan keamanan yang mulai memanas akhir-akhir ini membuat masalah dan tantangan yang harus dihadapi dalam melaksanakan restrukturisasi ekonomi meningkat. Demikian juga sektor eksternal (internasional) yang negatif sebagai akibat pertumbuhan ekonomi dunia yang menurun yang diindikasikan dengan semakin tingginya harga minyak dunia, dikhawatirkan akan membuat proses pemulihan ekonomi yang pada saat ini menunjukkan grafik peningkatan yang cukup baik nampaknya menjadi agak tergangu. Meskipun benar bahwa ekonomi dan ekspor tumbuh secara signifikan, namun demikian belum dapat mampu membangun fondasi ekonomi yang kuat, sehingga memanasnya perkembangan non ekonomi telah membuat ekonomi mudah terperosok. Sementara itu lemahnya koordinasi dan tidak adanya konsistensi dalam pengambilan kebijakan ekonomi telah membuat kepercayaan pada perekonomian Indonesia agak menurun. [2]
Meski pemerintah yang berkuasa saat ini memiliki legitimasi yang kuat dari rakyat, namun merosotnya kepercayaan masyarakat dan pasar terhadap otoritas ekonomi Indonesia membuat sulit bagi Indonesia untuk menarik investor yang diharapkan dapat menggairahkan kembali kinerja ekonomi. Apalagi pada saat ini masalah penegakan hukum dan good governance masih merupakan isu penting yang belum dapat terselesaikan. Persoalan hutang negara baik domestik maupun internasional yang semakin meningkat dengan signifikan telah membuat struktur APBN menjadi agak timpang akibat defisit anggaran yang dari tahun ke tahun tak kunjung terselesaikan.
Dalam kaitannya dengan invetasi, Umar Juaro sebagai seorang pakar ekonomi memberikan pendapatnya bahwa pertumbuhan investasi sekalipun kelihatannya tinggi, namun ini disebabkan karena mulai dengan dasar yang sangat rendah dan secara absolut tingkat investasi masih jauh dibandingkan dengan masa sebelum krisis melanda Indonesia. Perusahaan yang melakukan investasi pada umumnya melakukannya dengan mengandalkan sumber dana internal, atau mereka menunda pembayaran hutang dan dananya digunakan untuk investasi.[3] Pada sisi lain, menurut Bomer Pasaribu, faktor non ekonomi banyak mempengaruhi proses keberlanjutan “loss of market confidance”. Ketidakamanan dalam berinvestasi dan lemahnya supremasi hukum serta parahnya praktek kolusi, korupsi dan nepotisme membuat ketidakpercayaan pihak luar negeri untuk berinvestasi di Indonesia. [4]
Akumulasi keadaan tersebut telah menyebabkan Indonesia dilanda oleh berkembangnya black economy yang meliputi kolusi, korupsi, kronisme, dan nepotisme, penyelundupan ke dalam dan luar negeri, maraknya kriminalisasi, berkembangnya bisnis narkoba dan money laundering, meningkatnya pemalsuan dan pembajakan, pungutan liar, pelacuran, maraknya pronografi dan pornoaksi, dan timbulnya “geng-geng mafia” yang di luar kontrol pemerintah. Kegiatan black economy di Indonesia diperkirakan secara kasar di atas 35%. Hal ini menyebabkan rendahnya rasio penerimaan pajak di Indonesia.[5]
Lebih lanjut, Endin AJ. Soefihara mengingatkan bahwa disadari atau tidak, beban fiskal (anggaran) pemerintah dalam beberapa tahun mendatang akan semakin berat, yang diakibatkan oleh menumpuknya utang luar negari (tahun 2004, 71.64 triliun) dan utang domestik (tahun 2004, 102.38 triliun) yang nilainya sudah sangat besar. Beban utang ini bahkan telah menyita sebagian besar pengeluaran pemerintah.[6]
Pos pengeluaran yang akan mengalami perubahan setidaknya meliputi empat hal yakni, pos pembayaran utang luar negeri, pembayaran obligasi rekapitulasi dan pos pengeluaran subsudi BBM serta pos dana tanggap darurat untuk penanganan bencana alam. Sementara itu dari sisi penerimaan, baik pos penerimaan migas maupun diluar penerimaan migas diperkirakan juga mengalami perubahan. Penerimaan dari pajak juga akan dipengaruhi oleh kebijakan seputar restrukturisasi perusahaan yang meminta insentif pajak.[7] Dengan kondisi ruang gerak fiskal pemerintah yang semakin terbatas, tidak ada jalan lain kecuali antara lain melakukan inovasi pada penerimaan dari sektor pajak.
Meski disadari bahwa masalah dan tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah amat berat, namun demikian bangsa Indonesia sebenarnya memiliki modal besar0 yang dapat digunakan untuk membangun Indonesia dan menggapai tujuan kemerdekaan bangsa Indonesia yakni mencapai masyarakat adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia yang tentunya merupakan amanat bagi kita untuk menjalankannya.
Dalam konteks ini, agenda penting yang harus segera dilakukan oleh bangsa Indonesia adalah melakukan reorientasi penguatan perpajakan yang demokratis dan berkeadilan. Pengelolaan perpajakan yang berwajah demokratis dan berkeadilan ini dilakukan dalam rangka menyokong penguatan ekonomi agar supaya ekonomi Indonesia tidak terjebak ke dalam debt trap dan juga asset dan kewajiban negara dapat dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkelanjutan dan berkeadilan sosial. Dengan demikian, gendering reformasi ekonomi yang telah digulirkan bangsa ini, diharapkan selain dapat memulihkan ekonomi juga dapat mencapai cita-cita bangsa Indonesia tersebut diantaranya dengan membangun perekonomian yang memiliki daya tahan yang kuat (sehat) dan memiliki daya saing yang tinggi pada tingkat internasional.
Apa yang disinyalir Bomer Pasaribu dengan berkembangnya black market meliputi kolusi, korupsi, kronisme, dan nepotisme, penyelundupan ke dalam dan luar negeri, maraknya kriminalisasi, berkembangnya bisnis narkoba dan money laundering, meningkatnya pemalsuan dan pembajakan, pungutan liar, pelacuran, maraknya pronografi dan pornoaksi, dan timbulnya “geng-geng mafia” yang di luar kontrol pemerintah,[7] yang diduga sebagai penyebab rendahnya rasio penerimaan pajak di Indonesia, oleh pemerintah perlu segera diantisipasi dengan serius. Produk regulasi yang menyangkut perang melawan kejahatan black market harus segera dan secara konsisten diterapkan. Jika tidak, reformasi ekonomi yang sedang kita lakukan hingga saat ini tidak akan tercapai secara optimal, yang pada akhirnya juga akan sangat menggangu struktur penerimaan negara dalam melakukan pembiayaan proyek-proyek sosial kemasyarakat sebagai bentuk komitmen kontrak sosial antara negara dan rakyat.
Berangkat dari fenomena ekonomi dan krisis fiskal yang dialami bangsa Indonesia saat ini, tepatlah jika keputusan pemerintah untuk mengubah kebijakan anggaran dari yang berbasis resources ke anggaran yang berbasis pajak. Sebab sumber daya alam yang kita miliki seperti migas, selain dipengaruhi oleh faktor persediaan yang nilainya semakin menipis juga sangat tergantung kepada pembentukan harga pasar internasional yang sangat fluktuatif. Artinya, situasi tersebut sangat sulit untuk dijadikan referensi ketika kita berketetapan membangun anggaran yang stabil dan dinamis. Untuk itu, sudah saatnya sekarang praktik perpajakan Indonesia dikelola sesuai dengan konteks tuntutan perubahan yang mencerminkan semangat berbangsa dan bernegara yang berjiwa demokratis.
Potret Perpajakan Yang Demokratis
Dalam suatu negara, pajak merupakan sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya. Salah satu pembiayaan negara yang penting dalam hal ini adalah pembangunan sosial kemanusiaan, selain pembiayaan lainnya. Oleh karena itu, pemerintah dengan kekuasaan yang dimilikinya akan berusaha untuk memaksimalkan penerimaan dari sektor pajak. Dalam teori negara, bahwa negara melakukan fungsinya untuk melayani kebutuhan masyarakat, tidak untuk kepentingan pribadi. Maka kepentingan umum didahulukan atas kepentingan pribadi dan golongan. Dengan luasnya medan tanggung jawab negara, maka negara membutuhkan dukungan finansial dari rakyat. Untuk itu, negara dituntut membuat ketentuan yang akan dijadikan pijakan untuk mengimbangi ketimpangan sosial dalam masyarakat dengan pajak.
Tegasnya, negara punya beban sosial kemanusiaan dan untuk memenuhinya negara membuat ketentuan untuk mewajibkan warga negara atas dasar kedaulatan menanggung pembiayaan pembangunan tersebut sesuai dengan kemampuan. Kerelaan rakyat membayar pajak sesungguhnya bagian dari komitmen rakyat untuk menciptakan keseimbangan dan keadilan sosial dalam masyarakat, itulah yang menjadi inti dari makna sosial pajak. Dalam hal ini, negara membatasi yang kuat dengan diwajibkan membayar pajak dan melindungi yang lemah dengan mendistribusikan uang pajak kepada mereka yang lemah ini secara merata dan berkeadilan.
Hal ini bertitik tolak dari dasar pemikiran bahwa penentu kebijakan publik berusaha untuk memaksimalkan penerimaan pajak yang dapat ditarik dari sektor swasta. Akan tetapi, menurut Buchanan dan Milton Friedmen sebagaimana dikutip oleh Philippe Vitu menyatakan bahwa dalam suatu negara yang demokratis dan berasaskan hukum, kekuasaan untuk mengenakan pajak tidak boleh bersifat tidak terbatas, atau dengan kata lain kekuasaan untuk mengenakan pajak harus dibatasi (limits on the taxing power) melalui undang-undang.[9]
Secara umum, pembatasan tersebut mengacu kepada prinsip-prinsip ajaran Adam Smith yaitu dikenakan sesuai dengan kemampuan membayar (equality); harus mempunyai kepastian hukum (certainty); dikenakan pada saat yang tidak menyulitkan (convenience); dan biaya pemungutan pajak dan pemenuhan kewajiban pajak seminimal mungkin (economy). Lebih lanjut Mansury menjelaskan, prinsip certainty (kepastian) tersebut harus dihubungkan dengan empat hal yakni : 1) harus pasti “siapa-siapa” yang harus dikenakan pajak; 2) harus pasti “apa” yang menjadi dasar untuk mengenakan pajak; 3) harus pasti “berapa” jumlah pajak yang harus dibayar; dan 4) harus pasti “bagaimana” cara membayarnya.[10] Frans Vanistendael juga menyatakan bahwa kekuasaan untuk mengenakan pajak harus dibatasi, antara lain dengan prinsip keadilan, kesetaraan antara aparat pajak dan Wajib Pajak, pajak harus dikenakan atas dasar kemampuan Wajib Pajak (ability to pay) dan ketentuan pajak tidak boleh berlaku surut.[11]
Selain itu, pajak juga harus dikelola oleh negara dengan jelas dan pasti, tidak boleh ada keraguan dalam pengelolaan pajak, sebab tanpa kepastian tentulah akan mengganggu jalannya pemerintahan terutama fungsi negara untuk menjamin keadilan dan kesejahteraan warga melalui distribusi pajak. Melalui distribusi pajak yang meratalah akan dapat mengurangi kesenjangan sosial dalam masyarakat, dengan begitu pajak akan meningkatkan taraf hidup rakyat ekonomi lemah.
Karena pajak merupakan kontak sosial antara rakyat dan negara, maka pajak menjelma sebagai sarana komunikasi antara rakyat yang memiliki sejumlah kelebihan harta dengan komponen masyarakat lain yang akan memperoleh keadilan ekonomi melalui lembaga negara. Dalam beberapa segmen, rakyat selalu menjadi bagian dari pengelolaan negara, artinya negara dapat tegak oleh karena adanya rakyat dan rakyat membutuhkan negara untuk mengatur dan mengelola kehidupan menjadi lebih bermoral dan beradab.
Dalam beberapa literatur pajak terdapat adagium yang mengatakan “no tax representation” yang maksudnya tiada perwakilan (di perlemen dalam kegiatan politik) tanpa membayar pajak. Adagium ini mencoba mencari benang merah antara kegiatan demokrasi dengan hak untuk membayar pajak. Kalau masyarakat ingin berdemokrasi dengan baik dan melaksanakan hak-hak politiknya, biaya demokrasi yang terjadi karena kegiatan dimaksud harus dapat ditutupi dari pembayaran pajak para anggota masyarakat. Adagium ini dapat dijelaskan dengan suatu persepsi bahwa negara mempunyai kewenangan memungut pajak dari rakyat yang dijalankan menurut aturan dan norma yang telah ditentukan secara bersama melalui proses politik oleh wakil rakyat dan pemerintah.
Dalam perspektif teori negara, bahwa pemerintah yang sah adalah pemerintah yang memperoleh legitimasi politik dari rakyat, artinya rakyat telah memberikan persetujuan politik kepada rezim yang berkuasa. Atas persetujuan atau legitimasi yang telah diberikan rakyat, maka negara harus menunaikan kewajibannya untuk memberikan jaminan sosial yang adil kepada rakyat, dapat melindungi yang lemah dan membatasi yang kuat sebagai upaya untuk mewujudkan suatu keteraturan sosial.
Untuk mewujudkan keseimbangan sosial yang adil tersebut, pemerintah dengan perangkat hukum yang tersedia berhak memungut pajak kepada rakyat dalam rangka melindungi yang lemah dan membatasi dominasi yang kuat. Pajak menjadi alat bagi negara untuk menciptakan keseimbangan sosial yang merata, sekalipun kadar pemerataan itu bersifat relatif dan temporal.
Upaya untuk memberikan warna demokrasi dalam sistem perpajakan nasional telah dilakukan oleh pemerintah dengan dikeluarkannya peraturan tentang pajak dan desentralisasi fiskal, dimana publik wajib pajak memiliki ruang untuk terlibat dalam proses pemanfaatan pajak. Keterlibatan masyarakat dalam proses kebijakan perpajakan menjadi sangat penting, karena selain dapat mengeliminasi potensi konflik[12] juga dapat meningkatkan kepatuhan sukarela masyarakat secara kolektif. Masyarakat mempunyai hak politik dalam setiap proses politik yang diselenggarakan negara terutama yang menyangkut masyarakat itu sendiri, karena pada dasarnya setiap individu mempunyai hak kebebasan dan mempunyai kedudukan setara dalam hal hak dan kewajiban.
Secara substansi, demokrasi mengandung makna kesetaraan dan partisipasi. Oleh karena itu, demokrasi perpajakan dapat dimaknai sebagai terbangunnya sistem perpajakan yang menggambarkan adanya kesetaraan antara pemerintah dan masyarakat pembayar pajak, sehingga memungkinkan munculnya partisipasi masyarakat, sejak dari proses pembuatan kebijakan pajak, pengumpulan pajak dan pemanfaatan uang pajak. Membangun wajah perpajakan yang demokratis dan berkeadilan mengandung makna adanya proses akuntabilitas atas pemungutan pajak oleh negara kepada rakyat yang telah merelakan untuk membayar pajak. Di samping itu juga, harus mencerminkan prinsip keterbukaan dalam pengelolaan uang rakyat, yang diatur dalam karidor hukum pajak yang resposif terhadap tumbuh kembangnya demokrasi perpajakan.
Pada tataran yang demikian, perwujudan demokratisasi dalam pengelolaan pajak harus mencakup hal-hal sebagai berikut :[13]
  1. Terdapatnya mekanisme perpajakan yang dapat mengatasi konflik kepentingan antara wajib pajak dan pemerintah;
  2. Adanya ruang yang memadai bagi partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan perpajakan;
  3. Terdapatnya perundang-undangan perpajakan yang mencerminkan adanya kesetaraan hukum antara wajib pajak dan pemerintah; dan
  4. Terdapatnya perubahan pemusatan kekuasaan dari penguasa kepada rakyat yang ditandai oleh adanya akses masyarakat terhadap pengawasan pengelolaan uang pajak.

Menurut Edi Slamet Irianto, demokratisasi perpajakan akan sangat ditentukan oleh tersedianya produk hukum yang mengaturnya serta adanya political will dari pemerintah untuk menjalankan aturan hukum yang tersedia. Produk hukum yang mendukung demokrasi fiskal sudah tersedia, meskipun belum memadai untuk mendorong demokratisasi fiskal yang selama ini terpusat pada pemerintah, namun aturan hukum yang sudah ada mestinya dijalankan sesuai semangat demokrasi, transparansi dan efisien.[14]
Dengan menggunakan standar demokrasi, mestinya rakyat yang berdaulat, artinya rakyat diasumsikan paling sedikit atau sama kuat dari negara (Pemerintah). Pajak umpamanya, harus diposisikan sebagai dimensi dimana rakyat berkuasa dan pemerintah “ditugaskan” oleh rakyat untuk memungut uang pajak dalam kerangka peningkatan demokrasi. Demokrasi perpajakan didasarkan kepada kekuatan politik nyata antara pemerintah dengan rakyat,hal ini memiliki akar demokrasi pada pada struktur masyarakat bangsa. sekalipun rakyat sama atau lebih kuat dari pemrintah, tetap tidak selalu melahirkan sikap mencerminkan semagat demokrasi yang dimaksud, tetapi syarat utamanya sudah menampakkan wajahnya yakni demokrasi politik.
Demokrasi perpajakan akan sangat mungkin berkembang dimasa depan, apabila didukung oleh demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Asumsi yang dapat digunakan dalam melihat hal ini adalah, pajak merupakan salah satu bagian dari sistem ekonomi nasional berhubungan erat dengan demokrasi politik. Demokrasi biasa dipahami sebagai hasil dari perkembangan pasar bebas (liberalisasi) yang dijalankan oleh sistem ekonomi kapitalis. Dengan begitu, kalau mau terjadi proses demokrasi perpajakan berlangsung, maka syaratnya adalah mendorong kelembagaan politik dan birokrasi agar memenuhi kaedah-kaedah dan prinsip-prinsip demokrasi yang berkembang dalam pasar politik, mengikat demokrasi yang modern mengikuti perkembangan pasar global.
Dalam perspektif yang demikian, maka pengelolaan pajak harus mencerminkan prinsip-prinsip good governance, sebagai sebuah sikap demokratisasi yang inheran dengan tuntutan global. Setelah perekonomian Indonesia mengalami “meltdown” dibakar krisis moneter, isu-isu yang menyangkut Good Corporate and Public Governance yang telah lama terpendam, akhirnya naik kepermukaan dan makin santer didengungkan oleh masyarakat luas, baik yang tersurat maupun tersirat.
Masyarakat merasa bahwa selama organisasi privat dan publik tidak distrukturkan, dioperasikan dan dikendalikan sesuai dengan prinsip-prinsip Good Corporate and Public Governance, sehingga setelah gagal total untuk mencapai sasaran strategis jangka panjang sebagaimana semestinya, karena tidak mampu menciptakan hubungan-hubungan yang serasi dan selaras di antara kelompok-kelompok kepentingan (stakeholders) dalam masyarakat.
Tidaklah mengherankan jika dalam laporan tentang Corporate Governance oleh CLSA tahun 2003 menempatkan Indonesia di urutan terbawah dengan skor 1,5 untuk masalah penegakan hukum; 2,5 untuk mekanisme institusional dan budaya Corporate Governance; dengan total skor 3,2. Meski Indonesia dengan skor 4 di tahun 2004 lebih baik dibanding 2003 dan terus membaik pada tahun selanjutnya, namun kenyataan masih tetap berada di urutan terbawah di antara negara-negara Asia. Faktor penyebab rendahnya kinerja Indonesia adalah penegakan hukum dan budaya Corporate Governance masih berada di titik paling rendah di antara negara-negara lain yang sedang tumbuh di Asia.
Menurut pandangan Wahjudi Prakarsa, sesungguhnya tuntutan tersebut bukan merupakan monopoli Indonesia, tapi telah meluas secara universal ke seluruh dunia setelah berakhirnya perang dingin. Tuntutan yang makin eksplosif tersebut timbul sebagai akibat dari : pertama, perubahan konstelasi perpolitikan global dari era geopolitik menuju era geoekonomi; kedua, akselerasi peningkatan peran sektor privat dalam era globalisasi; ketiga, interdependensi antar perusahaan maupun antar negara yang semakin meluas dalam era revolusi informasi; dan keempat, lingkungan persaingan yang makin turbulen.[15]
Kegagalan dalam soal demokratisasi perpajakan lebih banyak dipengaruhi persoalan pengelolaan pajak yang tidak mencerminkan nilai-nilai demokrasi. Hal itu dapat ditengok dari produk hukum perpajakan yang kurang mencerminkan semangat transparansi dan demokratis. Undang-undang yang dihasilkan sanagt ambigu, tidak tegas dan jelas, akibatnya pengelolaan pajak masih bersifat parsial dan temporal. Pajak hanya dilekatkan kepada kewajiban rakyat sebagai pembayar pajak, sementara negara dengan otoritas yang dilegitimasi oleh idiologi (UU dan berbagai peraturan lainnya) masih menyisakan berbagai persoalan yang berkenaan dengan kepentingan rakyat.
Dalam perspektif demokrasi, rakyat memiliki posisi strategis karena dalam sistem demokrasi rakyatlah pemegang kekuasaan tertinggi. Oleh karena itu, sewajarnya bila rakyat ikut terlibat dalam berbagai tingkatan proses pengelolaan pajak. Tentu dalam hal ini rakyat harus ditempatkan pada posisi, bahwa kontrol rakyat atas keuangan perpajakan dimaknai sebagai hak yang perlu diakomodasi oleh negara. Memang pajak merupakan salah satu sumber keuangan negara yang mesti dikelola secara maksimal dan menurut prinsip-prinsip keadilan, kejujuran, akuntabel dan transparan.
Kontrol rakyat terhadap pengelolaan negara merupakan salah satu syarat lain dari proses menuju pada demokratisasi bangsa. Dengan begitu akan dapat mengurangi penyimpangan dan distorsi penggunaan keuangan negara yang bersumber dari pajak. Kontrol rakyat sebagai upaya untuk mengubah perilaku disfungsional atau penyimpangan, bukan untuk memberikan semacam sanksi sosial atau hukuman, tetapi untuk membantu dalam kerangka memperbaiki para pengelola negara agar menuju jalan yang lurus yakni jalan yang diridhoi oleh rakyat sebagai pemegang mandat politik tertinggi dan sekaligus sebagai sumber pembiayaan proyek-proyek sosial kemanusiaan.

Penutup
Produk regulasi yang menyangkut perang melawan kejahatan black market di Indonesia diperkirakan secara kasar di atas 35%, sehingga menyebabkan rendahnya rasio penerimaan pajak di Indonesia, harus segera dan konsisten diterapkan. Agenda penting yang harus segera dilakukan oleh bangsa Indonesia adalah melakukan reorientasi penguatan perpajakan yang demokratis dan berkeadilan. Usaha ini dilakukan dalam rangka menyokong penguatan ekonomi agar supaya ekonomi Indonesia tidak terjebak ke dalam debt trap dan juga asset dan kewajiban negara dapat dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkelanjutan dan berkeadilan sosial.
Dalam perspektif demokrasi, rakyat memiliki posisi strategis karena dalam sistem demokrasi rakyatlah pemegang kekuasaan tertinggi. Oleh karena itu, sewajarnya bila rakyat ikut terlibat dalam berbagai tingkatan proses pengelolaan pajak menurut prinsip-prinsip keadilan, kejujuran, akuntabel dan transparan (good governance). Demokratisasi perpajakan akan sangat ditentukan oleh tersedianya produk hukum yang mengaturnya serta adanya political will dari pemerintah untuk menjalankan aturan hukum yang tersedia.
Sumber daya alam yang kita miliki seperti migas, selain dipengaruhi oleh faktor persediaan yang nilainya semakin menipis juga sangat tergantung kepada pembentukan harga pasar internasional yang sangat fluktuatif. Oleh karena itu, keputusan pemerintah untuk mengubah kebijakan anggaran dari yang berbasis resources ke anggaran yang berbasis pajak, sangatlah tepat.

Catatan/End Fote
[1] Hamzah Haz, Pengatar dalam buku Membangun Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Zakat Harta, Nuansa Madani, Jakarta, 2001.
[2] Sri Adiningsih, Restrukturisasi Ekonomi Dalam Pemulihan Ekonomi Indonesia, Pemulihan Ekonomi dan Otonomi Daerah (Refleksi Pemikiran Partai Golkar), LASPI, Jakarta, 2001. hlm. 54
[3] Umar Juoro, Pemulihan Ekonomi Lambat dan Rentan Terhadap Gejolak Politik, Pemulihan Ekonomi dan Otonomi Daerah (Refleksi Pemikiran Partai Golkar), LASPI, Jakarta, 2001. hlm. 56
[4] Bomer Pasaribu, Perspektif Krisis Indonesia 2001-2003 Menuju Pemulihan Atau Lingkaran Setan, Pemulihan Ekonomi dan Otonomi Daerah (Refleksi Pemikiran Partai Golkar), LASPI, Jakarta, 2001. hlm. 74
[5] Ibid, hal. 75
[6] Endin AJ. Sofihara, Rekonstruksi Masa Depan Indonesia: Perspektif Politik dan Ekonomi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002. hal. 149
[7] Ibid, hal. 156-158
[0] Beberapa modal dasar yang kita miliki untuk membangun Indonesia adalah cukup menyakinkan untuk dapat mencapai cita-cita itu. Fakta bahwa bangsa Indonesia pada dasarnya adalah bangsa besar yang telah terbukti dari sejarah perkembangannya yang sejak dulu kala. Selain itu bangsa Indonesia memiliki tanah air yang luas dan kaya yang tentunya jika dikelola dengan baik dan profesional akan dapat digunakan sebagai modal dalam membangun. Lihat uraian ini dalam tulisan Sri Adiningsih, op.cit., hlm. 53.
[8] Bomer Pasaribu, loc.cit
[9] Darussalam & Danny Septriadi, Membatasi Kekuasaan Untuk Mengenakan Pajak, Grasindo, Jakarta, 2006. hal. 1-2
[10] Mansury, Pajak Penghasilan Lanjutan: Pascareformasi 2000, YP4, Jakarta, 2002, hal. 12
[11] Frans Vanistendael, Legal Framework for Taxation, dalam Thuronyi (ed.), Tax Law Design and Drafting, IMF, 1996, hal. 19-27, dikutip dari Darussalam & Danny Septriadi, Membatasi Kekuasaan Untuk Mengenakan Pajak, Grasindo, Jakarta, 2006. hal. 4
[12] Edi Slamet Irianto & Syarifuddin Jurdi, Politik Perpajakan Membangun Demokrasi Negara, UII Press, Yogjakarta, 2005, hal. 93
[13] Ibid, hal. 94-95
[14] Wahjudi Prakarsa, Corporate Governance: Suatu Keniscayaan, Jurnal Reformasi Ekonomi Vol. 1-No. 2, LSPEU Indonesia, Jakarta, 2000, hal. 20
[15] Ibid, hal. 126

Rujukan :

Bomer Pasaribu, Perspektif Krisis Indonesia 2001-2003 Menuju Pemulihan Atau Lingkaran Setan, Pemulihan Ekonomi dan Otonomi Daerah (Refleksi Pemikiran Partai Golkar), LASPI, Jakarta, 2001
Darussalam & Danny Septriadi, Membatasi Kekuasaan Untuk Mengenakan Pajak, Grasindo, Jakarta, 2006
Edi Slamet Irianto & Syarifuddin Jurdi, Politik Perpajakan Membangun Demokrasi Negara, UII Press, Yogjakarta, 2005
Endin AJ. Sofihara, Rekonstruksi Masa Depan Indonesia: Perspektif Politik dan Ekonomi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002
Mansury, Pajak Penghasilan Lanjutan: Pascareformasi 2000, YP4, Jakarta, 2002
Wahjudi Prakarsa, Corporate Governance: Suatu Keniscayaan, Jurnal Reformasi Ekonomi Vol. 1-No. 2, LSPEU Indonesia, Jakarta, 2000