Sabtu, 16 Mei 2009

MEWUJUDKAN PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN MELALUI LEMBAGA MEDIASI

Pendahuluan
Tanah mempunyai posisi yang strategis dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang bersifat agraris. Sedemikian istimewanya tanah dalam kehidupan masyarakat Indonesia telihat dan tercermin dalam sikap bangsa Indonesia sendiri yang juga memberikan penghormatan kepada kata tanah, dengan penyebutan istilah seperti Tanah air, Tanah tumpah darah, Tanah pusaka dan sebagainya. Bahkan dalam UUPA juga dinyatakan adanya hubungan abadi antara bangsa Indonesi dengan tanah (Pasal 1 ayat (3) UUPA).[1]
Namun dalam kenyataannya, bagi bangsa Indonesia salah satu masalah pokok hingga kini belum mendapat pengaturan yang tuntas adalah masalah tanah.[2] Permasalahan tanah yang dari segi empiris sangat lekat dengan peristiwa sehari-hari, tampak semakin kompleks dengan terbitnya berbagai kebijakan deregulasi dan debirokratisasi di bidang pertanahan menyongsong era perdagangan bebas.[3]
Munculnya berbagai kasus pertanahan tersebut tidak dapat dilepaskan dari konteks kebijakan pemerintah yang banyak bersifat ad hoc, inkonsisten dan ambivalen antara satu kebijakan dengan yang lain. Struktur hukum tanah menjadi tumpang tindih. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 yang awalnya merupakan payung hukum bagi kebijakan pertanahan di Indonesia, menjadi tidak berfungsi dan bahkan secara substansial terdapat pertentangan dengan diterbitkannya berbagai peraturan perundangan sektoral[4] Keseluruhan undang-undang yang bersifat sektoral itu mempunyai posisi yang sama dan menjadikan tanah sebagai objek yang sama. Akibatnya benturan di lapangan tidak dapat dihindarkan, antara penggunaan dan penafsiran undang-undang yang berbeda oleh pejabat-pejabat pemerintahan sektoral yang berbeda-beda terjadi atas konflik penguasaan yang sama. Perbedaan antara undang-undang itu tidak hanya dapat memberikan peluang pada perbedaan interpretasi para birokrat, tetapi juga secara substansial undang-undang tersebut tidak integratif.[5]
Kesadaran akan arti pentingnya reformasi di berbagai bidang dalam upaya untuk mencari jalan keluar dari kemelut politik dan ekonomi Indonesia, telah mendorong pemikiran ke arah reformasi kebijakan di bidang pertanahan. Perkembangan yang dinamis tersebut, dikehendaki atau tidak, mendorong ke arah perlunya pemikiran yang konseptual dalam rangka mengisi dan mengantisipasi perkembangan hukum tanah secara bertanggung jawab, termasuk didalamnya menyangkut solusi hukum penyelesaian sengketa tanah.
Pada satu sisi, tidak dapat dipungkiri bahwa masalah tanah dilihat dari segi yuridisnya saja merupakan hal yang tidak sederhana pemecahannya dan dalam suatu kasus, tidak jarang terlibat beberapa instansi yang langsung atau tidak langsung berkaitan dengan masalah/sengketa yang diajukan di pengadilan baik dalam lingkup peradilan umum maupun peradilan tata usaha negara.[6] Namun pada sisi lain dalam perkembangan selanjutnya, penyelesaian sengketa tanah melalui lembaga pengadilan oleh masyarakat dirasakan kurang efektif disamping itu memakan waktu dan biaya yang cukup besar, juga adanya potensi campur tangan pihak ketiga dengan motivasi apa pun yang berakibat negatif terhadap keputusan pengadilan. Bahkan di kalangan masyarakat telah merebak isu bahwa di Mahkamah Agung (MA) tanpa solusi yang jelas, sehingga sedikit banyak menambah keraguan masyarakat/pencari keadilan terhadap efektivitas penyelesaian sengketa di pengadilan yang merupakan benteng terakhir untuk menemukan keadilan.
Oleh karena itu, masalah penyelesaian sengketa pertanahan yang efektif dan efisien merupakan hal yang sangat penting untuk dicapai dalam upaya mendukung proses akselerasi pembanguan yang kondusif serta lebih memberikan jaminan dan kepastian hukum serta kepuasan bagi para pencari keadilan. Salah satu cara yang dapat dipakai untuk mengatasi berbagai sengketa tanah dengan sistem penyelesaian yang efektif, adil, tidak menyita waktu dan biaya yang murah serta terhindar dari campur tangan pihak ketiga adalah melalui mekanisme Alternative Dispute Resolution (ADR) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Salah satu mekanisme ADR yang paling banyak digunakan adalah melalui cara mediasi.
Potret Masalah Pertanahan Di Indonesia
Masalah pertanahan merupakan suatu permasalahan yang cukup rumit dan sensitif sekali sifatnya, karena menyangkut berbagai aspek kehidupan baik bersifat sosial, ekonomi, politis, psikologis dan lain sebagainya, sehingga dalam penyelesaian masalah pertanahan bukan hanya kasus memperhatikan aspek yuridis akan tetapi juga harus memperhatikan berbagai aspek kehidupan lainnya agar supaya penyelesaian persoalan tersebut tidak berkembang menjadi suatu keresahan yang dapat menggangu stabilitas masyarakat.
Munculnya berbagai masalah mengenai tanah menunjukkan bahwa penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah di negara kita ini belum tertib dan terarah. Masih banyak penggunaan tanah yang saling tumpang tindih dalam berbagai kepentingan yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Disamping itu, fakta juga menunjukkan bahwa penguasaan dan pemilikan tanah masih timpang. Ada sekelompok kecil masyarakat yang memiliki tanah secara liar dan berlebihan, dan ada juga sekelompok besar masyarakat yang hanya memiliki tanah dalam jumlah sangat terbatas. Bahkan banyak pula yang sama sekali tidak memiliki, sehingga terpaksa hidup sebagai penggarap. Tidak jarang pula, dan bukan barang aneh, timbul ihwal penguasaan tanah oleh oknum-oknum tertentu secara sepihak.[7]
Dalam pandangan Y.W. Sunindhia dan Ninik Widiyanti bahwa tentu saja, semua ini amat bertentangan dengan prinsip keadilan sosial dan juga bertentangan dengan fungsi sosial tanah. Apalagi di negara yang rakyatnya berkeinginan melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah untuk kemakmuran rakyat merupakan suatu conditio sine qua non.[8]
Menurut Maria S.W. Sumardjono secara garis besar, peta permasalahan tanah dapat dikelompokkan atas : [9]
  1. Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal kehutanan, perkebunan, proyek perumahan yang diterlantarkan, dan lain-lain.
  2. Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan tentang Landreform
  3. Ekses-ekses dalam penyediaan tanah untuk keperluan pembangunan.
  4. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah.
  5. Masalah yang berkenaan dengan hak ulayat masyarakat hukum adat.

Lebih lanjut beliau mengemukakan bahwa permasalahan yang pertama dan kedua penyelesaiannya lebih menitikberatkan pada pelaksanaan peraturan secara konsekuen dan konsisten. Bila masalah ini tidak dapat diselesaikan dengan baik, sengketa berkepanjangan akan selalu terbuka. Keresahan sosial yang timbul sebagai ekses penyediaan tanah untuk pembangunan pada umumnya berkisar pada penentuan ganti kerugian atau penentuan harga tanah yang wajar. Sengketa perdata masalah tanah pada umumnya diselesaikan melalui pengadilan, baik dalam lingkup peradilan umum maupun peradilan tata usaha negara.[10]

Dari segi yuridis praktis, Prof. Budi Harsono, sebagaimana dikutip dari Arie S. Hutagalung, lebih memperinci masalah tanah yang dapat disengketakan yakni sengketa-sengketa mengenai : 1) bidang tanah yang mana yang dimaksudkan; 2) batas-batas bidang tanah; 3) luas bidang tanah; 4) status tanahnya : tanah negara atau tanah hak; 5) pemegang haknya; 6) hak yang membebaninya; 7) pemindahan haknya; 8) penunjuk lokasi dan penetapan luasnya untuk suatu proyek pemerintah atau swasta; 9) pelepasan/pembebasan tanah; 10) pengosongan tanah; 11) pemberian ganti rugi, pesangon atau imbalan lainnya; 12) pembatalan haknya; 13) pencabutan haknya; 14) pemberian haknya; 15) penerbitan sertifikatnya; dan 16) alat-alat pembuktian adanya hak atau perbuatan hukum yang dilakukan dan sengketa-sengketa lainnya.[11]
Dengan memperhatikan fungsi ganda tanah sebagai social asset dan capital asset,[12] telah menyebabkan pengambilan keputusan dan penetapan kebijakan berkaitan dengan tanah dalam rangka mencari solusi hukum atas berbagai masalah pertanahan harus dilakukan secara hati-hati. Untuk kondisi sosial budaya dan hukum tanah pada masyarakat Indonesia yang beraneka ragam, kehati-hatian ini perlu dicermati untuk menjaga agar tidak menimbulkan disintegrasi pada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dilema yang dihadapi dalam kehidupan bernegara di Indonesia berkaitan dengan fungsi tanah ini adalah dalam menetapkan mana dari kedua fungsi ini yang akan lebih diutamakan, terutama dalam rangka mengatasi berbagai masalah hukum tanah. Penetapannya akan sangat ditentukan oleh politik hukum pertanahan yang ditetapkan bersama oleh masyarakat, dalam hal ini adalah representasi wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR.
Dalam kerangka demikian, perspektif berpikir yang diperlukan adalah terpenuhinya hal-hal yang bersifat formal dan substansial dalam mewujudkan penghormatan terhadap hak-hak dasar manusia, karena apabila hal tersebut tidak dilakukan, maka tujuan berupa kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan tidak akan tercapai. Oleh karena itu, tanpa bermaksud menggeneralisasi, analisis terhadap beberapa masalah tanah, memerlukan perhatian demi peningkatan kualitas problem solving terhadap masalah pertanahan di masa yang akan datang. Salah satu hal yang perlu ditingkatkan adalah pemahaman mengenai substansi permasalahan yang berkaitan dengan konsep yang mendasarinya.

Penyelesaian Sengketa Tanah: Perspektif Hukum Tanah Nasional
Masalah seputar tanah harus diakui merupakan masalah yang cukup rumit dan sensitif. Bukan hanya pada aspek yuridisnya, akan tetapi juga pada berbagai aspek kehidupan bermasyarakat lainnya. Penanganan yang kurang bijaksana terhadap masalah tanah akan berakibat fatal yang kadang kala dapat menjurus ke arah yang dapat mengganggu stabilitas masyarakat. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah, penyelesaian sengketa tanah harus disesuaikan dengan karidor hukum tanah nasional, yakni dengan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria (UUPA).
Penyelesaian sengketa tanah dalam perspektif Hukum Tanah Nasional menghendaki agar penyelesaian sengketa diusahakan pertama-tama melalui musyawarah. Dalam musyawarah itu kedudukan para pihak adalah sederajat, biarpun salah satu pihaknya adalah pemerintah. Kalau yang bersengketa meliputi jumlah yang besar, dapat dilaksanakan melalui perwakilan atau kuasa yang ditunjuk oleh yang bersangkutan.[13] Musyawarah pada hakikatnya adalah proses atau kegiatan saling mendengar dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan atas kesukarelaan antara pihak pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah, untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian.[14]
Secara konstitusional, negara mengakui dan melindungi hak-hak rakyat dan masyarakat-masyarakat hukum adat atas tanah. Tetapi kalau diperlukan untuk proyek yang mempunyai sifat kepentingan umum atau kepentingan nasional dan menyangkut hajat hidup orang banyak, tanah yang dipunyai itu wajib diserahkan, dengan ketentuan bahwa negara harus memperhatikan hak dan kepentingan mengenai bentuk dan jumlah ganti kerugian yang wajib diberikan kepada pemegang hak atas tanah tersebut. Dalam Penjelasan Umum UUPA dinyatakan bahwa kepada masyarakat-masyarakat hukum adat yang tanah ulayatnya diperlukan bagi pembangunan wajib diberikan recognitie atau kompensasi dalam bentuk pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bermanfaat bagi masyarakat setempat.
Dalam hal musyawarah tidak dapat menghasilkan kesepakatan mengenai penyerahan bidang tanah yang diperlukan dan/atau mengenai bentuk jumlah imbalannya, sengketa dapat diselesaikan dengan menggunakan lembaga pencabutan hak yang diatur dalam UU No. 20/1961 dan peraturan-peraturan pelaksanaannya, jika tidak dapat digunakan bidang tanah yang lain dan proyeknya mempunyai sifat kepentingan umum. Pencabutan hanya dapat dilakukan dengan Keputusan Presiden dan tanah yang bersangkutan baru boleh dikuasai setelah ganti ruginya diterimakan. Namun cara ini dinilai memakan waktu dan kurang memadai terutama terhadap proyek-proyek yang harus segera diselesaikan.
Untuk penyelesaian sengketa bagi tanah-tanah yang dikuasai secara illegal, jika tidak dapat diselesaikan melalui musyawarah, disediakan ketentuannya dalam UU No. 51/Prp/1960 tentang Larangan Pemakaian tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya. Dalam UU ini, para Bupati/Walikota diberikan kewenangan untuk secara arif dan bijaksana menyelesaikan sengketa tanah yang dikuasai secara illegal itu,[15] dengan memperhatikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penguasaan dan yang meliputi kasus yang dihadapi. Jika musyawarah tidak dapat menghasilkan kesepakatan, Bupati/Walikota atas nama undang-undang tersebut di atas, dapat secara sepihak memutuskan penyelesaiannya tanpa wajib mengajukan soalnya kepada pengadilan. Dalam hal ini tidak dilakukan pencabutan hak, karena penguasaan tanahnya tidak ada landasan haknya.
Bupati/Walikota dapat memerintahkan pengosongan atas tanah tanah yang dikuasai secara illegal tersebut, dengan atau tanpa pemberian uang pesangon. Apa yang diberikan itu bukan imbalan ataupun ganti kerugian, kecuali mengenai bengunan dan tanaman yang menurut hukum memang merupakan milik pihak yang menguasai tanah.23 Pengosongan dapat juga disertai penyediaan tempat hunian baru. Tetapi baik pesangon maupun penyediaan tempat hunian baru merupakan semata-mata putusan kebijaksanaan Bupati/Walikota dalam menyelesaikan kasus yang bersangkutan. Karenanya bukan hak okupan yang dapat dituntut pemberiannya. Terlepas dari hal di atas, mengenai penyelesaian sengketa itupun harus memperhatikan pertimbangan kemanusian, karena asas utama yang bersumber pada Pancasila juga berlaku dalam kasus-kasus tersebut.

Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa Tanah
Dari laporan hasil Dialog Reformasi Kebijakan Pertanahan di Indonesia tahun 2001 dan hasil Diskusi Pertanahan tahun 2002, telah memberikan suatu gambaran kepada semua pihak bahwa masalah konflik dan sengketa tanah adalah masalah yang utama dan sangat penting serta tidak dapat ditunda-tunda lagi untuk segera ditangani oleh pemerintah. Hal ini juga dipertegas dalam Pasal 5 ayat 1.d mengenai TAP MPR No. IX /MPR/2001 khususnya mengenai arahan kebijakan pembaharuan agraria sebagai suatu amanat dari seluruh rakyat Indonesia yang berbunyi :
“Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya Agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud pasal 4 ketetapan ini”.
Menurut Arie S. Hutagalung, pada prinsipnya secara garis besar, seperti halnya sengketa secara umum, maka sengketa tanah dapat diselesaikan melalui 3 (tiga cara) yaitu :[16]

  1. Penyelesaian secara langsung oleh para pihak dengan musyawarah. Dasar dari musyawarah untuk mufakat ini tersirat dalam Pancasila sebagai dasar kehidupan bermasyarakat Indonesia dan juga tersirat dalam UUD 1945.
  2. Penyelesaian melalui Badan Peradilan berdasarkan UU No. 14/1970 jo UU No. 35/1999 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman; umumnya penyelesaian ini diajukan ke peradilan umum yang diatur dalam UU No.2/1986 tentang Peradilan Umum atau apabila yang disengketakan adalah produk tata usaha negara atau yang digugat pejabat Tata Usaha Negara melalui Peradilan Tata Usaha Negara yang diatur dalam UU No. 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, atau apabila menyangkut tanah wakaf diajukan ke Pengadilan Agama.
  3. Melalui mekanisme Arbitrasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution); dengan telah diundangkannya UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka terdapat suatu kepastian hukum untuk mengakomodasi cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum.

Dalam praktik hukum di Indonesia, pada umumnya semua sengketa pertanahan dapat diajukan ke pengadilan baik dalam lingkup peradilan umum maupun peradilan tata usaha negara. Namun harus diakui, penggunaan lembaga peradilan untuk menyelesaikan suatu sengketa pertanahan kerapkali menyisakan banyak kekurangan/kelemahan, yang mana secara umum kekurangan/kelemahan ini apabila ditinjau dari aspek ekonomi merupakan salah satu komponen yang mengakibatkan munculnya ekonomi biaya tinggi.
Berperkara di pengadilan pada umumnya dirasakan sebagai proses yang memakan waktu, tidak sederhana, dan tidak murah biayanya. Hal ini sering diperparah dengan kendala yang bersifat organisatoris dan Kendala non-yuridis berupa campur tangan pihak-pihak di luar lembaga yudikatif dengan dampak keluarnya keputusan yang menyimpang dari arti hakiki pengadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan bagi pencari keadilan. Karena itu, dapat dipahami, penyelesaian sengketa di pengadilan merupakan pilihan terakhir.
Beberapa kritik yang sering kali dilontarkan terhadap lembaga peradilan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imamulhadi bahwa proses penyelesaian melalui jalur pengadilan (ligitasi) memiliki banyak kelemahan, seperti :[17]

  1. Ligitasi memaksa para pihak berada pada posisi yang ekstrim dan memerlukan pembelaan;
  2. Ligitasi mengangkat seluruh persoalan dalam suatu perkara, sehingga mendorong para pihak untuk melakukan penyelidikan terhadap kelemahan-kelemahan pihak lainnya;
  3. Proses ligitasi memakan waktu yang lama dan biaya yang mahal;
  4. Hakim seringkali bertindak tidak netral dan kurang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang mendasari penyelesaian suatu masalah hukum baru.

Dalam perkembangan sengketa pertanahan di Indonesia, pernah timbul gagasan untuk membentuk Pengadilan Pertanahan di dalam lingkup peradilan umum. Walaupun secara teoritis pembentukan Pengadilan Pertanahan dimungkinkan,[18] namun demikian masalah utamanya adalah : apakah dengan dibentuknya Pengadilan Pertanahan maka efektivitasnya dapat dijamin? Berdasarkan pengamatan berperkara di pengadilan sebagai di gambarkan di atas justru eksistensi penyelesaian sengketa melalui pengadilan terkadang diragukan sebagai benteng terakhir untuk menemukan keadilan. Olehnya itu, efektivitas Pengadilan Pertanahan yang diusulkan itu masih merupakan tanda tanya.
Selain Pengadilan Pertanahan, gagasan tentang Arbitrasi Pertanahan juga pernah dilontarkan. Maria S.W. Sumardjono berpandangan bahwa gagasan pembentukan lembaga Arbitrase Pertanahan masih memerlukan pemikiran yang seksama. Apabila semua unsur yang dipertimbangkan untuk terciptanya lembaga arbitrase itu sudah dapat dipenuhi, barangkali gagasan itu dapat terwujud. Namun dengan berfungsinya lembaga tersebut, tidak serta merta dapat diharapkan bahwa penyelesaian sengketa akan berjalan lebih cepat. Menurutnya tersedianya tenaga ahli yang profesional, tata kerja yang jelas, dan tersedianya dana pendukung yang diperlukan akan berdampak terhadap ketepatan waktu penyelesaian sengketa.[19] Namun demikain, gagasan tentang pembentukan lembaga Pengadilan Pertanahan maupun Arbitrase Pertanahan harus diakui, muncul sebagai reaksi atas penyelesaian sengketa tanah melalui pengadilan yang berjalan lamban, mahal, dan terkadang tidak dapat dieksekusi.
Menurut hemat Penulis, pembentukan lembaga peradilan tersebut di atas, seyogyanya untuk saat ini tidak diperlukan karena penyelesaian sengketa tanah sudah dalam sistem hukum pertanahan Indonesia telah memperoleh tempat penyelesaian melalui peradilan umum, peradilan tata usaha negara dan peradilan agama. Yang harus dilakukan adalah bagaimana mengupayakan agar lembaga pengadilan dapat berfungsi secara optimal. Eksistensi pengadilan sebagai tempat bagi para pencari keadilan, harus senantiasa secara terencana dan sistematis ditingkatkan kualitasnya. Hal itu dilakukan dalam rangka menghasilkan berbagai produk keputusan yang berkualitas, sehingga pada akhirnya diharapkan dapat memposisikan citra pengadilan sebagai benteng terakhir para pencari keadilan.

Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Pertanahan
Berbagai kekurangan lembaga peradilan dalam menyelesaikan suatu sengketa sangat dirasakan oleh para pihak yang bersengketa terutama dalam rangka memberikan kepuasan hukum, sehingga kondisi ini semakin meyakinkan perlunya ditemukan cara penyelesaian lain yang dapat memuaskan para pihak yang bersengketa, sehingga pencari keadilan beralih pada Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution) untuk menyelesaikan setiap persoalan yang timbul terkait dengan sengketa tanah.
Mengingat penyelesaian sengketa melalui pengadilan umum maupun pengadilan tata usaha negara sering dirasakan kurang efektif, dan bahwa pengadilan itu merupakan upaya terakhir bila upaya lain menemui jalan buntu, maka gagasan untuk memanfaatkan cara penyelesaian sengketa alternatif di luar jalur pengadilan, misalnya melalui lembaga mediasi, nampaknya sudah saatnya untuk diwujudkan.
Barangkali untuk Indonesia, dimana cara-cara musyawarah untuk mencapai mufakat merupakan hal yang lazim, untuk kasus-kasus pertanahan yang bersifat perdata dalam arti luas, yakni yang tidak menyangkut aspek administrasi dan pidana, sepanjang para pihak menghendaki cara-cara mediasi, maka hal itu dapat ditempuh.[20] Apalagi dalam Pasal 14 UU no. 14/1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan kehakiman disebutkan bahwa walaupun hakim harus mengadili perkara yang diajukan, namun tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.
Mediasi sebagai mekanisme ADR/APS menawarkan cara penyelesaian sengketa yang khas dengan ciri–ciri : waktunya singkat, terstruktur, berorientasi pada tugas, dan merupakan cara intervensi yang melibatkan peran serta para pihak secara aktif.[21] Menurut Maria S.W. Sumardjono, penyelesaian sengketa tanah melalui lembaga mediasi memiliki segi positif dan negatif. Segi positifnya adalah bahwa waktunya singkat, biayanya ringan dan prosedurnya sederhana. Pihak yang bersengketa akan merasa lebih “berdaya” dibandingkan dalam proses pengadilan karena mereka sendirilah yang menentukan hasilnya. Di samping itu, dalam mediasi para pihak akan lebih terbuka terhadap adanya nilai-nilai lain di samping faktor yuridis. Segi negatifnya adalah bahwa hasil mediasi tidak dapat dimintakan penguatan kepada pengadilan, karena itu efektivitasnya tergantung kepada ketaatan para pihak untuk menepati kesepakatan bersama tersebut.[22]
Lebih lanjut beliau menyatakan pula bahwa, segi positif mediasi sekaligus dapat menjadi segi negatifnya, dalam arti keberhasilan mediasi semata-mata tergantung pada itikad baik para pihak untuk menaati kesepakatan bersama tersebut karena hasil akhir mediasi tidak dapat dimintakan penguatan kepada pengadilan. Untuk sengketa dalam bidang bisnis, supaya kesepakatan dapat dilaksanakan (final and binding), seyogianya para pihak mencantumkan kesepakatan (klausula ADR/APS) itu dalam bentuk perjanjian tertulis yang tunduk pada prinsip-prinsip umum perjanjian.[23]

Dalam mediasi, para pihak sendirilah yang berperan aktif untuk menjajaki berbagai alternatif untuk menetapkan hasil akhir dengan bantuan seorang mediator yang tidak memihak dan berperan untuk membantu tercapainya hal-hal yang disepakati bersama. Fungsi mediator dalam penyelesaian sengketa melalui lembaga mediasi, oleh Suyud Margono dijelaskan adalah sebagai berikut :[24]

  1. Sebagai “katalisator”, berarti kehadiran mediator dalam proses perundingan mampu mendorong lahirnya suasana yang konstruktif bagi jalannya diskusi.
  2. Sebagai “pendidik”, berarti seseorang harus berusaha memahami aspirasi, prosedur kerja, keterbatasan politis, dan kendala usaha dari para pihak. Oleh sebab itu, mediator harus berusaha melibatkan diri dalam dinamika perbedaan diantara para pihak.
  3. Sebagai “penerjemah”, berarti mediator harus berusaha menyampaikan dan merumuskan usulan para pihak melalui bahasa atau ungkapan yang baik dengan tanpa mengurangi sasaran yang dicapai oleh pengusul.
  4. Sebagai “nara sumber”, berarti seorang mediator harus mendayagunakan sumber-sumber informasi yang tersedia.
  5. Sebagai “penyandang berita jelek” berarti bahwa mediator harus menyadari bahwa para pihak dalam proses perundingan dapat bersikap emosional. Untuk itu mediator harus mengadakan pertemuan terpisah dengan pihak-pihak terkait untuk menampung berbagai usulan.
  6. Sebagai “agen realitas”, berarti mediator harus berusaha memberi pengertian secara jelas kepada salah satu pihak bahwa sasarannya tidak mungkin/tidak masuk akal tercapai melalui perundingan.
  7. Sebagai “kambing hitam”, berarti seorang mediator harus siap dipersalahkan misalnya dalam membuat kesepakatan hasil perundingan.

Dalam hal prosedur/proses yang harus ditempuh dalam mediasi, terdapat beberapa pendapat ahli. Di sini akan dikemukakan proses tahapan mediasi menurut pendapat Riskin dan Westbrook sebagaimana dikutip oleh E. Saefullah Wiradipradja, meliputi lima tahapan sebagai berikut : 1) Sepakat untuk menempuh proses mediasi; 2) Memahami masalah-masalah; 3) Membangkitkan pilihan-pilihan pemecahan masalah; 4) Mencapai kesepakatan; dan 5) Melaksanakan kesepakatan. [25]
Dalam praktik mediasi di Amerika Serikat atau Inggris, walaupun ada pihak yang beranggapan bahwa yang menentukan mediasi itu adalah sikap para pihak yang menginginkan untuk menyelesaikan sengketanya, namun pada umumnya mediasi lebih cocok untuk digunakan, misalnya dalam kasus di mana hubungan antara para pihak diharapkan terus berlanjut, kasus-kasus dimana ada keseimbangan antara kekuatan kedua belah pihak, sengketanya berjangka waktu singkat dan tidak ada kepastian tentang hasil akhirnya bila dibawa ke pengadilan. Dalam konteks Indonesia, kasus-kasus yang lebih sesuai adalah kasus-kasus yang segi hukumnya kurang mengemuka dibandingkan dengan segi kepentingan (interest) para pihak.[26]
Penyelesaian sengketa melalui cara-cara mediasi yang modern bagi bangsa Indonesia masih merupakan hal yang relatif baru. Dalam beberapa kasus tanah, penyelesaian sengketa melalui lembaga mediasi pernah dilakukan oleh Komnas HAM dengan hasil yang positif. Oleh karena itu, mengingat bahwa pada masa yang akan datang akan lebih banyak diperlukan cara-cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, maka dalam rangka pemikiran ke arah realisasi lembaga mediasi, perlu dipersiapkan hal-hal yakni : Pertama, menyiapkan sumber daya manusianya. Seorang mediator haruslah menguasai materi yang akan disengketakan. Latar belakang sebagai sarjana hokum memiliki nilai tambah, tetapi bukan merupakan keharusan. Kualifikasi pokok lainnya adalah mempunyai integritas yang tinggi dan sifat tidak memihak yang ditunjang dengan kemampuan untuk mendengar, mengajukan pertanyaan, mengamati, mewawancarai, konseling dan negosiasi; Kedua, diperlukan pelatihan, jangka waktunya, serta fasilitatornya; dan Ketiga, diperlukan adanya suatu lembaga/badan yang berwenang untuk memberikan pelatihan dan sertifikasi bagi mediator, serta menyusun kode etik mediator, di samping berkewajiban memberikan bimbingan yang berkesinambungan dan menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran kode etik. Karena salah satu faktor penentu seseorang memilih mediasi adalah sifatnya yang tidak memihak, maka lembaga mediasi yang tepat seyogianya bersifat independen, di luar pemerintah, atau tidak berafiliasi dengan pemerintah.[27]

Penutup
Memperhatikan semakin banyaknya masalah-masalah sengketa tanah yang berkepanjangan dan penggunaan lembaga peradilan kerapkali menyisakan banyak kekurangan/kelemahan, serta adanya kebutuhan untuk memperoleh penyelesaian sengketa yang efektif, efisien dan tidak memihak, maka penerapan mekanisme ADR/APS nampaknya merupakan solusi alternatif dalam mengatasi sengketa pertanahan sekaligus sebagai salah satu bentuk jaminan kepastian dan perlindungan hukum.
Mengingat bahwa bangsa Indonesia terkenal dengan penyelesaian masalah melalui musyawarah untuk mencapai mufakat, kiranya pemanfaatan lembaga mediasi sebagai ADP/APS dapat merupakan alternatif yang berdampak positif untuk penyelesaian sengketa pertanahan dalam perspektif hukum tanah nasional. Untuk itu, gagasan pembentukan lembaga mediasi sudah saatnya diwujudkan.

Catatan/End Note
[1] Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 81.
[2] Hal ini terbukti dengan banyaknya masalah tanah yang muncul dimana-mana, baik sengketa tanah, penggusuran tanah, pembebasan tanah yang tidak tuntas, pendudukan secara liar tanah milik orang lain maupun milik pemerintah, dan pemilikan tnah secara berlebihan dan sebagainya. Sehingga ada kesan bahwa peraturan-peraturan hukum pertanahan itu mengalami kemacetan dan belum dapat dilaksanakan sebagaimana diharapkan semula sedang jika dapat dilaksanakan hanya untuk daerah tertentu saja, Lihat, Y.W. Sunindhia & Ninik Widiyanti, Pembaharuan Hukum Agraria (Beberapa Pemikiran), Bina Aksara, Jakarta, 1988, hlm. v.
[3] Bagi Indonesia yang memiliki perekonomian bersifat terbuka akan terpengaruh oleh prinsip perekonomian global dan prinsip liberalisasi perdagangan. Perekonomian Indonesia akan berhadapan dengan perekonomian negara lain atau mitra dagang Indonesia seperti ekspor-impor; investasi, baik yang bersifat investasi langsung maupun tidak langsung; serta pinjam-meminjam. Pengaruh perekonomian ini menjadi tantangan bagi perumusan kebijaksanaan nasional, dunia ekonomi, dan pelaku ekonomi.
[4] Perundangan sektoral terkait dengan tanah sebagai objeknya adalah : UU Pokok Kehutanan No.5/1967 yang kemudian diperbaharui dengan UU Kehutanan No. 41/1999, UU Pokok Pertambangan No. 11/1967, UU Pertambangan Minyak dan Gas Bumi No. 44/1960, UU Transmigrasi No. 3/1972 kemudian diperbaharui dengan UU No. 15/1997, UU Pengairan no. 11/1974, UU Pemerintahan Desa No. 5/1975, UU Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 4/1982 diperbaharui kembali menjadi UU No. 23/1997, UU Rumah Susun No. 16/1985, UU Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem No. 5/1990, UU Penataan Ruang No. 24/1992 dan yang terakhir adalah pasangan UU Pemerintah Daerah (otonomi) No. 22/1999 dan UU Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah No. 25/1999.
[5] Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia (LPHI), Jakarta, 2005, hlm. 370.
[6] Untuk Indonesia, sengketa perdata berkenaan dengan tanah sudah memperoleh tempat penyelesaian melalui peradilan umum dalam hal pihak yang bersengketa adalah orang atau badan hukum atau antara orang atau badan hukum dengan pemerintah; dan untuk sengketa mengenai pertanahan antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, maka diselesaikan dalam lingkup peradilan tata usaha negara. Lihat Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Edisi Revisi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta 2006, hlm. 193.
[7] Abdurrahman, Beberapa Aspek Tentang Hukum Agraria, Seri Hukum Agraria V, Alumni, Bandung, 1983, hlm. 1.
[8] Y.W. Sunindhia & Ninik Widiyanti, op.cit., hlm. 20
[9] Maria S.W. Sumardjono, op.cit., hlm. 189. Lihat juga Arie S. Hutagalung, loc.cit.
[10] Ibid., hlm. 190.
[11] Arie S. Hutagalung, loc.cit.
[12] Sebagai social asset, tanah di kalangan masyarakat (masyarakat hukum adat) Indonesia merupakan sarana pengikat kesatuan sosial untuk hidup dan berkehidupan di atas tanah. Sebagai capital asset, tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan ekonomi. Hermayulis, Aspek-Aspek Hukum Hak Pakai Atas tanah Negara Sebagai Objek Jaminan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 10/2000, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis (YPHB), Jakarta, 2000, hlm. 49.
[13] Lihat dalam bagian Berpendapat huruf c UUPA
[14] Penjelasan Keppress No. 55/1993.
[15] Pengusaan tanah secara illegal biasanya merupakan tanah yang dikuasai oleh masyarakat yang tidak disadari yang diperolehnya melalui pembayaran kepada pihak yang menguasai tanah yang bersangkutan sebelumnya. Mereka merasa mengoper hak garap secara legal. Karena tidak jarang perolehannya dilakukan secara tertulis, yang diketahui oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat.
[16] Dalam hukum adat dan UUPA menganut asas pemisahan horisontal. Berdasarkan asas pemisahan horisontal itu pemilikan atas tanah dan benda atau segala sesuatu yang berada di atas tanah itu adalah terpisah. Asas pemisahan horisontal memisahkan hak atas tanah dari segala sesuatu yang melekat padanya. Lihat Djuhaendah Hasan, op.cit., hlm. 76.
[17] Arie S. Hutagalung, op.cit., hlm. 372.
[18] Imamulhadi, Penyelesaian Sengketa dalam Perdagangan Secara Elektronik, artikel dalam Cyber Law; Suatu Pengantar, ELIPS Project, Jakarta, 2002, hlm. 80. Bandingkan dengan Suyud Margono, op.cit., hlm. 65.
[19] Secara teoritis hal itu dapat dimungkinkan dengan melihat yurisprudensi di mana di masa yang lalu pernah dibentuk Pengadilan Ekonomi sebagai konsekuensi diterbitkannya UU No. 7/Drt/Tahun 1995 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pengadilan Tindak Pidana Ekonomi (ditetapkan menjadi undang-undang dengan UU No. 1 Tahun 1961). Lihat Maria S.W. Sumardjono, op.cit., hlm. 194.
[20] Ibid., hlm. 193.
[21] Arie S. Hutagalung, op.cit., hlm. 376.
[22] Lihat Suyud Margono, op.cit., hlm. 59.
[23] Maria S.W. Sumardjono, op.cit., hlm. 196.
[24] Ibid., hlm. 199.
[25] Suyud Margono, op.cit., hlm. 60. Lihat juga E. Saefullah Wiradipradja, op.cit., hlm. 6
[26] E. Saefullah Wiradipradja, loc.cit. bandingkan dengan pendapat Astor & Chinkin dalam Maria S.W. Sumardjono. loc.cit
[27] Maria S.W. Sumardjono, Ibid.
[28] Ibid., hlm 200.

Daftar Pustaka
Abdurrahman, Beberapa Aspek Tentang Hukum Agraria, Seri Hukum Agraria V, Alumni, Bandung, 1983.
Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia (LPHI), Jakarta, 2005.
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah Nasional, Edisi Revisi, Djambatan, Jakarta, 2005.
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.
E. Saefullah Wiradipradja, Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase Sebagai Cara Penyelesaian Sengketa Dalam Bisnis Nasional dan Internasional, Jurnal Hukum Internasional Unpad, Vol. 2 No. 1, April 2003, Bandung, 2003.
Hermayulis, Aspek-Aspek Hukum Hak Pakai Atas tanah Negara Sebagai Objek Jaminan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 10/2000, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis (YPHB), Jakarta, 2000.
Imamulhadi, Penyelesaian Sengketa dalam Perdagangan Secara Elektronik, Artikel dalam Cyber Law; Suatu Pengantar, ELIPS Project, Jakarta, 2002.
Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Edisi Revisi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta 2006.
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa : Suatu Pengantar, Fikahati Aneska kerja sama dengan BANI, Jakarta, 2002.
Suyud Margono, ADR & Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000.
Y.W. Sunindhia & Ninik Widiyanti, Pembaharuan Hukum Agraria (Beberapa Pemikiran), Bina Aksara, Jakarta, 1988.