Senin, 08 Juni 2009

MENGGUGAT EKSISTENSI BUMN DI INDONESIA MENUJU BUMN YANG HANDAL DAN MANDIRI

Pendahuluan
Dalam era reformasi ini, salah satu tantangan mewujudkan pemerintahan yang baik adalah menyangkut masalah pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tuntutan ini adalah wajar, karena berangkat dari pengalaman kesejarahan bangsa Indonesia bahwa selama ini BUMN dikelola secara tidak transparan, kurang profesional, sarat KKN dan jauh dari prinsip good corporate governance (GCG). Kinerja BUMN masih lebih banyak salah urus dari pada yang benar dan secara ekonomi tidak sebanding dengan besar aset yang dimilikinya.
Suatu kenyataan bahwa ternyata BUMN yang diharapkan sebagai motor penggerak pembangunan ekonomi dengan harapan keuntungan besar yang dapat meningkatkan penerimaan negara hanya menghasilkan laba yang rendah bahkan banyak yang merugi. Hal ini disebabkan karena kinerja BUMN belum optimal dan dalam pengelolaannya belum diterapkan secara tegas tentang tata kelola yang baik. Selain itu, pengelolaan BUMN pada umumnya sangat birokratis sehingga ruang gerak BUMN tidak lugas dan kaku, terlalu banyak aturan yang membatasi segala gerak pengembangan, perlu persetujuan menteri dsb,. Keterkaitan BUMN dengan departemen atau instansi sering merupakan kendala dalam pelaksanaan dan efisiensi keuangan serta kinerjanya.[1]
Sebagai entitas bisnis, peran BUMN dapat dikatakan cukup dominan, jumlahnya mencapai ratusan perusahaan dan asetnya secara total mencapai ratusan triliun rupiah dengan ruang lingkup usaha yang rata-rata cukup strategis. Dengan skala usaha seperti itu, tidak heran jika tindak tanduk yang dilakukan BUMN selalu mendapat sorotan tajam masyarakat. Sorotan ini berkaitan dengan timpangnya atau terjadinya gap antara fasilitas yang disandang BUMN dengan harapan masyarakat. Di satu sisi BUMN bergerak dengan dukungan fasilitas penuh baik dari segi modal, perlakuan maupun sektoral, tapi di pihak lain harapan masyarakat untuk memperoleh manfaat besar dari keberadaan BUMN belum dapat diwujudkan secara optimal. Malah tidak jarang yang terjadi justru yang sebaliknya, beberapa BUMN justru menjadi beban masyarakat karena senantiasa menggerogoti anggaran pemerintah.[2]
Di Indonesia peranan BUMN tidak hanya sebatas pengelolaan sumber daya dan produksi barang yang meliputi hajat hidup orang banyak, tetapi juga berbagai kegiatan produksi dan pelayanan yang merupakan porsi swasta. Untuk menjaga stabilitas ekonomi, monopoli atas sumber daya dan kegiatan ekonomi tertentu yang berada di tangan negara. Implikasi dari dominannya peran negara menurut pendapat Ary Suta, menjadikan BUMN terjebak dalam satu kekuasaan birokrasi, yang merupakan kepanjangan tangan dari penguasa baik langsung maupun tidak langsung dan sarat dengan kepentingan politik. Hal ini, salah satu unsur yang membuat BUMN tidak dapat berkembang secara leluasa layaknya badan usaha.[3]
Menurut pendapat Ibrahim bahwa karena berkaitan dengan politik, BUMN merupakan bagian dari birokrasi yang absurditas, yang sering berakibat kepada kepentingan status quo kekuasaan politik, celakanya seperti Indonesia masih bermental “monarki absolut kapiten” yang kebal dari segala kritik, membuat BUMN maju mundur dan tidak mampu bersaing.[4]
Sementara itu, globalisasi dunia telah membawa dampak yang dahsyat dan signifikan bagi kelangsungan hidup (survivalitas) BUMN. Globalisasi yang ditandai dengan adanya perapatan dunia (compression of the world) telah mengubah data perekonomian, politik dan budaya. Pergerakan arus barang dan jasa semakin cepat. Modal dari suatu negara beralih ke negara lain dalam hitungan detik akibat pemanfaatan teknologi informasi. Persaingan menjadi semakin tinggi, bahkan kita sulit mengidentifikasi siapa pesaing sesungguhnya. Oleh karena itu, setiap BUMN harus mampu memperkuat dirinya sendiri terhadap berbagai peluang dan resiko yang akan dihadapinya dengan cara memperbaiki daya saingnya serta memastikan dirinya untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidup dan perkembangannya (sustainable growth). BUMN-BUMN yang mampu memanfaatkan momentum globalisasi-lah yang akan eksis dan berpeluang mendapatkan keuntungan besar bagi kelangsungan usahanya.
Berangkat dari berbagai kenyataan di atas, kebutuhan untuk mereformasi BUMN nampaknya merupakan suatu keharusan dan hal yang tidak dapat ditawar lagi. Kebutuhan ini tidak terlepas dari apa yang oleh Man Suparman Sastrawidjaja kemukakan sebagai upaya untuk menjadikan BUMN berperan benar-benar sebagai perusahaan kelas dunia dan memberikan manfaat sesuai isi jiwa Pasal 33 UUD 1945.[5] Fokus pengelolaan BUMN perlu diarahkan pada peningkatan daya saing, pengembangan usaha dan penciptaan peluang-peluang baru melalui manajemen yang dinamis profesional untuk memasuki dan berkompetisi dalam era globalisasi, serta keleluasaan perusahaan dalam upaya mencapai tujuannya.
Dalam kerangka inilah, upaya implementasi prinsip-prinsip good corporate governance (GCG) dalam pengelolaan BUMN merupakan kata kunci dan langkah yang rasional. Praktik-praktik kurang terpuji akibat belum adanya standar etika bisnis dapat membuat situasi ekonomi semakin memburuk. Oleh karena itu, praktik-praktik bisnis dengan standar etika dan transparansi, independensi, akuntabilitas, responsibilitas dan fairness serta profesionalisme dalam pengelolaan perusahaan perlu terus didorong agar perkembangan BUMN senantiasa diikuti dengan perangkat praktik-praktik GCG yang memadai.
Tinjauan Historis-Yuridis BUMN
Secara historis, tidak ada data pasti perihal asal muasal kemunculan BUMN dalam tata ekonomi nasional. Dalam pandangan Martiono Hadianto, hal ini dipengaruhi oleh situasi dan kondisi pada masa persiapan kemerdekaan, bahkan pasca kemerdekaan, di mana persoalan stabilitas politik terus menghadapi ujian. Dengan adanya gangguan tersebut, sistem administrasi pemerintahan juga terpengaruh. Walaupun tidak ada rujukan pasti, benih-benih kegiatan ekonomi yang dilakukan negara – maupun badan usaha yang dibentuk – telah tampak sejak Indonesia merdeka. Hal ini terlihat dengan berdirinya BNI pada tahun 1946 yang segera diikuti dengan pendirian bank-bank lain seperti Bank Industri tahun 1952 yang selanjutnya diubah menjadi Bapindo. Beberapa bank tersebut selain dua bank di atas yakni BRI, BBD, Bank Exim dan BTN, selanjutnya dikukuhkan menjadi Perusahaan Negara melalui undang-undang yang mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Pengganti UU No. 19 Tahun 1960.[6]
Meskipun demikian, berdasarkan karakteristiknya dapat dijelaskan bagaimana sepak terjang dan perjalanan BUMN selama ini, sejak kemerdekaan hingga sekarang, yang menurut pendapat Ibrahim, dapat dilihat dalam beberapa periode dan generasi dari BUMN itu sendiri yakni :[7] Generasi Pertama 1945-1959, BUMN dipakai untuk mengembangkan usaha public utilities dan hajat hidup orang banyak, bersifat strategis, dan penguasaan oleh negara dimaksudkan untuk mewujudkan kepentingan negara dan kesejahteraan masyarakat. Generasi Kedua 1959-1974, pengambilalihan semua perusahaan Belanda melalui UU No. 86 Tahun 1958, sehingga peranan negara semakin dominan atau disebut masa etatisme. Jumlah perusahaan yang dinasionalisasikan sekitar 557 buah yang selanjutnya menjadi 644 buah pada masa orde baru. Sistem ekonomi etatisme mulai bergeser ke arah pasar bebas dengan lahirnya UU No. 1 Tahun 1967 tentang PMA dan UU No. 6 Tahun 1968 tentang PMDN. Generasi Ketiga 1974-1982, ketika oil boom terjadi tahun 1973 yang mengakibatkan pemerintah melakukan ekspansi besar-besaran mendirikan BUMN, hingga harga minyak merosot tahun 1983. Dalam situasi yang demikian, pemerintah melakukan pengetatan anggaran dan kebijakan tax reform. Pada periode ini, sisa-sisa sektor public utilities yang dicanangkan untuk BUMN mengalami transformasi menuju privatisasi. Generasi Keempat 1982-2020, pada periode ini, BUMN diperhadapkan dengan era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan Iptek, dunia tanpa tapal batas dan intensinya persaingan usaha. Untuk menjadikan BUMN kelas dunia, pemerintah tahun 1999 mengelompokkan 144 BUMN menjadi sepuluh holding company. Dasar pertimbangan UU No. 19 Tahun 2003 adalah bahwa BUMN merupakan salah satu pelaku ekonomi nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pasal 1 UU ini membedakan BUMN menjadi tiga bentuk yakni perusahaan perseroan, perusahaan perseroan terbuka, dan perusahaan umum.
Sementara itu, untuk memahami keberadaan BUMN, perlu ditinjau secara sekilas latar belakang filosofis-historis dari keterlibatan langsung pemerintah dalam kegiatan produksi yang dimanifestasikan dalam wujud BUMN. Faisal Basri mengemukakan bahwa paling tidak ada lima faktor yang melatarbelakangi keberadaan BUMN, yaitu : 1) pelopor atau perintis karena swasta tidak tertarik untuk menggelutinya; 2) pengelola bidang-bidang usaha yang “strategis” dan pelaksana pelayanan publik; 3) penyeimbang kekuatan-kekuatan swasta besar; 4) sumber pendapatan negara; dan 5) hasil dari nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda.[8]
Menurut Faisal Basri, jika dikaji lebih lanjut, maka faktor keempat cenderung makin tidak relevan, sedangkan faktor kelima agaknya semakin dapat diabaikan. Maka tinggal tiga faktor pertama yang patut dijadikan pembenaran bagi keberadaan BUMN. Namun, ketiga faktor tersebut tidak bersifat mutlak. Keabsahan ketiga faktor tersebut tergantung pada berbagai keadaan. Yang terpenting, apakah mekanisme pasar berfungsi secara optimal serta dilengkapi dengan perangkat-perangkat pengamannya, seperti pengaturan tentang praktik monopoli dan oligopoli; peraturan tentang praktik kolusi, penegakan kaidah-kaidah praktik bisnis yang sehat; perlindungan terhadap usaha kecil; serta perlindungan kepada konsumen. Bagi Indonesia, kelengkapan perangkat-perangkat pengaman tersebut masih sangat langka sehingga keberadaan BUMN masih tetap diperlukan.[9]
Memahami Eksistensi BUMN di Indonesia
Negara pada hakikatnya adalah suatu lembaga politik. Dalam kedudukannya yang demikian, negara tunduk pada tatanan hukum publik. Melalui kegiatan berbagai lembaga pemerintah, negara berkewajiban menyediakan kebutuhan publik dalam rangka memberikan jaminan kesejahteraan kepada rakyat (public welfare provision). Untuk itu, sebagai badan usaha yang sahamnya dimiliki oleh negara, BUMN mempunyai peran penting sebagai salah satu pilar perekonomian nasional, sehingga kinerja BUMN mempunyai dampak signifikan bukan hanya untuk BUMN itu sendiri namun juga untuk sektor ekonomi secara keseluruhan.
Peran penting BUMN pada hakikatnya merupakan pengejewantahan amanat konstitusional yang tertuang pada Pasal 33 UUD 1945. Pasal ini merupakan entry point yang diambil para founding fathers dalam merumuskan strategi nasional di bidang ekonomi, yang diarahkan menuju cita-cita luhur yaitu kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. Makna yang terkandung dalam pasal ini khususnya pada ayat (2) dan ayat (3) menekankan bahwa penguasaan negara atas sumber daya alam dan cabang-cabang produksi yang memiliki nilai strategis mutlak adanya dan dipergunakan sepenuhnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Hal ini mengindikasikan secara eksplisit bahwa negara akan mengambil peran dalam kegiatan ekonomi, yang mana dalam tataran praktiknya BUMN memiliki tugas tidak hanya semata-mata mengejar keuntungan tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.[10]
Namun demikian, harus diakui bahwa pengaturan hukum pada Pasal 33 UUD 1945 ini justru memberikan ruang interpretasi karena kata “penting” dan “menguasai hajat hidup orang banyak” tidak pernah didefinisikan dan dioperasionalkan secara tuntas. Penting menyangkut sektor apa saja, dalam praktiknya diserahkan kepada kebijakan masing-masing departemen. Hajat hidup orang banyak juga tidak lebih hanya sebatas slogan. Kandungan penting dan menguasai hajat hidup orang banyak tidak pernah dievaluasi secara tuntas. Semestinya semua komponen kritis bangsa melakukan redefinisi tentang kedua term tersebut, sehingga tidak menimbulkan dualisme dalam pengelolaan BUMN.
Pada sisi lain, secara definitif nama BUMN sebagai badan usaha milik negara menimbulkan penafsiran bahwa negara berkuasa penuh terhadap hitam putihnya BUMN. Dominasi peran negara merupakan suatu hal yang tidak dapat dibantah. Padahal, di pihak lain konsep negara mengandung pengertian yang abstrak, tidak riil. Akibatnya, wajah BUMN akhirnya sangat tergantung pada siapa yang memerintah dan siapa orang-orang yang menjalankan.[11] Semestinya, pemahaman atas kata penguasaan negara[12] tersebut diarahkan dalam rangka sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Hal ini sejalan dengan teori negara, di mana negara melakukan fungsi dan perannya untuk melayani kebutuhan masyarakat, tidak untuk kepentingan pribadi atau golongan.
Sementara itu, jika ditelaah lebih jauh, dapat dikatakan bahwa secara umum wajah BUMN di Indonesia lebih menampakkan citra birokrasi pemerintahan dari pada sebuah unit usaha. Sekedar contoh, pada saat rupiah anjlok dihantam badai krisis, pemerintah dapat meminta BUMN yang memiliki cadangan dolar untuk melepaskannya ke pasar. Dengan kata lain, BUMN ibarat jaringan birokrasi itu sendiri. Contoh lain betapa tidak berdayanya BUMN menghadapi birokrasi pemerintahan terlihat pada kasus bocornya fotocopy surat dari sekretariat Presiden RI No. R128/seper3/2001 yang ditujukan kepada general manager sebuah BUMN yang isinya meminta bantuan untuk mengirimkan uang tunai sebesar US$300.000 untuk biaya perjalanan. Kejadian ini, oleh orang awam sekalipun, dapat diartikan adanya intervensi yang terlalu jauh dari pemerintah terhadap BUMN. [13]
Walaupun pemerintah telah menunjukkan komitmennya dalam menata pengelolaan BUMN dengan mendirikan Kementerian Negara BUMN, namun sekali lagi fakta membuktikan ternyata tidak serta merta mengatasi simpang siur pengelolaan BUMN. Dalam pandangan Ibrahim, selama ini sinergi BUMN tidak terjadi, sehingga selalu merugi dan misinya tidak sampai, apalagi BUMN di bawah masing-masing departemen dan banyak dipengaruhi oleh faktor politik, seperti sering terjadi kelangkaan produk secara bergiliran di beberapa sektor, misalnya BBM, kelangkaan pupuk, kelangkaan semen, listrik yang nyala-mati, tabrakan kereta api, busung lapar, dan lumpuh layu. Yang ada kita masih bergelut pada tataran tarik menarik kepentingan.[14]
Di satu sisi, pengelolaan BUMN sepenuhnya tanggung jawab Meneg BUMN, tetapi di sisi lain, pelepasan aset, pinjaman luar negeri, penambahan dan pengurangan modal harus mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan. Tidak heran apabila pengelolaan dan pembinaan BUMN mengalami pasang surut.[15] Apalagi dengan kekuasaan yang dimiliki Kementerian BUMN dapat melakukan penunjukkan dewan direksi dan dewan komisaris, sehingga walaupun harus dengan persetujuan rakyat yang direpresentasikan oleh DPR, tidak jarang posisi ini dijadikan sebagai aset politik kelompok tertentu, karena dengan menguasai BUMN – terutama yang gemuk – dapat membantu pembiayaan melalui penyalahgunaan jabatan.[16]
Selanjutnya, jika dilihat secara sektoral, pada umumnya BUMN memiliki posisi strategis sejalan dengan misi negara dan pemerintah. Dari sudut pandang tersebut maka kekuatan BUMN sebenarnya dalam banyak hal bersifat eksklusif. Menurut Ary Suta, hal-hal yang mengandung eksklusifitas meliputi : 1) jumlah dan nilai aset yang besar; 2) posisi dan bidang usaha yang strategis; 3) akses ke kekuasaan lebih besar; 4) akses ke sumber pendanaan, khususnya bank-bank pemerintah lebih besar; 5) perlakuan birokrasi berbeda dengan swasta, di mana terdapat privilege dari birokrasi terhadap BUMN; dan 6) definisi negara sebagai pemilik dan pemerintah sebagai regulator sulit untuk dipisahkan dan melekat pada BUMN itu sendiri.[17]
Namun, jika dilihat dari hasil akhir, kekuatan tersebut sekaligus merupakan kelemahan dan BUMN itu sendiri. Kelemahan paling mendasar yang ditimbulkan oleh eksklusifitas terutama menyangkut keterlibatan birokrasi dengan kepentingan tertentu yang akan melahirkan penyimpangan melalui penerapan policy direction yang pada akhirnya merugikan BUMN sendiri. Policy direction yang menyesatkan ini dapat lahir dari adanya kepentingan elite BUMN dengan cara membungkus kepentingan melalui formal policy, yang kalau dilihat dari kacamata hukum rasanya benar namun dari sudut pandang kewajaran sering jauh berbeda. Sebagai ilustrasi menyangkut tender-tender proyek, yang secara formal tampak legal tetapi dari sudut kewajaran tidak dapat diterima.[18]
Dengan keadaan seperti ini, tidaklah mengherankan jika hingga saat ini kinerja BUMN dirasakan belum optimal. Kegiatan operasional BUMN yang masih terfragmentasi dan budaya usaha yang birokratis menyebabkan BUMN kurang berorientasi pada pasar, kualitas dan kinerja usaha sehingga produktivitas dan utilitas aset juga sangat rendah. Sebagian BUMN masih memiliki sistem pemasaran dan distribusi kurang terkoordinir dengan baik, khususnya untuk produk ekspor yang terfokus pada komoditas atau industri primer.[19]
Kacaunya pengelolaan BUMN di Indonesia dan dampaknya terhadap kinerja BUMN itu sendiri sebagaimana digambarkan di atas hendaknya segera diselesaikan mengingat peran strategis yang di emban oleh BUMN dalam rangka kesejahteraan rakyat. Problem yang selama ini dialami BUMN sehingga tidak efisien harus diselesaikan paling tidak dengan cara : Pertama, karena kegiatan BUMN tidak dapat dilepaskan dari sistem dan budaya politik masa lalu, maka perlu diupayakan rekonstruksi pembinaan BUMN dan meminimalkan keterlibatan birokrasi di BUMN. Hendaknya posisi-posisi strategis di dalam BUMN dijabat oleh orang-orang profesional, mandiri, bebas dari intervensi politik dan memiliki kredibilitas yang tinggi. Kedua, melakukan redefinisi dan evaluasi status BUMN secara eksistensial sehingga lebih dapat memperjelas status kepemilikan usaha dari BUMN dan juga memperjelas apakah sebagai unit usaha yang profit oriented atau mengutamakan kepentingan masyarakat. Hal ini penting, karena menyangkut akuntabilitas BUMN terutama kepada rakyat. Ketiga, melalukan reformasi organisasi BUMN melalui restrukturisasi baik pada aspek modal, tenaga kerja dan budaya organisasi. Privatisasi harus tetap dilanjutkan dengan tujuan utama untuk meningkatkan kapasitas permodalan dan kinerja perusahaan. Penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) harus dilakukan secara konsisten dan memadai. Terakhir, untuk memberikan arah bagi terlaksananya ketiga cara di atas, maka jaminan kepastian dan penegakan hukum menjadi kata kunci yang dapat menjamin terlaksananya proses reformasi BUMN. Pada sisi lain, pemerintah sebagai regulator, secara proaktif bersama perlemen menyediakan legal framework yang memberikan landasan hukum bagi BUMN dalam menjalankan fungsi dan perannya, sehingga dapat memberikan manfaat sesuai isi jiwa Pasal 33 UUD 1945. Peraturan perundang-undangan yang telah ada menyangkut BUMN seperti UU Nomor 19 tahun 2003 Tentang BUMN, menurut hemat penulis perlu dikaji ulang atau diselaraskan, terutama dengan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan tumbuh kembangnya BUMN.
Tuntutan Mereformasi BUMN
Tidak dapat disangkal bahwa selama beberapa dasawarsa BUMN telah berperan dalam perekonomian nasional, mendukung dan mendorong gerak pembangunan bangsa Indonesia. Namun demikian, tidak dapat disangkal pula bahwa hingga saat ini kekacauan dalam pengelolaan BUMN masih mengemuka, sehingga dibutuhkan energi lebih untuk melakukan pembenahan dan koreksi atas pengelolaan BUMN. Kinerja dan kondisi BUMN harus di reformasi dalam rangka untuk meningkatkan peranannya dalam perekonomian dengan melepaskan diri dari intervensi politik dan ketergantungan pada keuangan negara.
Untuk menata kembali BUMN, dalam pandangan Faisal Basri bahwa terdapat dua faktor yang menjadi kriteria yaitu eksternalitas dan efisiensi. Eksternalitas adalah manfaat ekonomi dari keberadaan BUMN yang dinikmati oleh pihak-pihak di luar BUMN yang bersangkutan, meliputi perusahaan-perusahaan lain dan masyarakat pada umumnya. Sedangkan efisiensi di sini lebih dititikberatkan pada efisiensi teknis dalam lingkup internal perusahaan.[20]
Dalam konteks yang demikian, maka kebijakan untuk melakukan pembenahan BUMN harus lebih mempertimbangkan kedua kriteria di atas dengan berbagai pertimbangan matang, sehingga jangan sampai nantinya justru hanya sekedar memindahkan inefisiensi dari sektor publik/pemerintah ke sektor swasta atau justru meningkatkan biaya transaksi (transaction cost). Apalagi, jika hal ini mengakibatkan semakin buruknya struktur pasar dan iklim persaingan sehat.
Selain itu, kebutuhan untuk mereformasi BUMN tidak terlepas dari perubahan iklim usaha yang sedemikian cepat dalam era globalisasi di mana kegiatan perusahaan tidak lagi dibatasi oleh batas-batas antar negara dan adanya saling ketergantungan antar bangsa, pasar dan perusahaan-perusahaan. Fokus pengelolaan BUMN perlu diarahkan pada peningkatan daya saing, pengembangan usaha dan penciptaan peluang-peluang baru melalui manajemen yang dinamis dan profesional untuk dapat memasuki dan berkompetisi dalam era globalisasi, serta keleluasaan perusahaan dalam upaya mencapai tujuannya.[21]
Kebutuhan untuk mereformasi BUMN dapat dilakukan paling tidak dengan strategi implementasi praktik-praktik Good Corporate Governance (GCG) dalam pengelolaan BUMN. Disadari bahwa penerapan nilai-nilai GCG merupakan salah satu solusi dalam memberdayakan BUMN terutama dalam rangka menjalankan fungsi dan perannya. Penerapan GCG perlu mendapat perhatian besar sehingga upaya reformasi BUMN melalui kebijakan restrukturisasi (revitalisasi) dapat dilaksanakan secara konsisten dan terencana.
Menciptakan sebuah BUMN yang modern tidak cukup hanya didukung oleh penggunaan perangkat teknologi yang canggih berupa komputerisasi sistem manajemennya atau SDM yang handal, tetapi yang dibutuhkan adalah adanya kerangka hukum yang kokoh sebagai landasan hukum, baik berupa undang-undang maupun peraturan pelaksanaannya yang mengatur segala aspek kegiatan perusahaan itu sendiri. Perangkat hukum ini disusun melalui mekanisme rule-making rule sehingga mampu mengakomodasi aspirasi stakeholders dan kebutuhan pasar.
Hal ini berarti bahwa proses implementasi GCG hanya akan terlaksana secara fektif jika tersedia kerangka hukum (legal framework) yang memadai. Kerangka hukum ini pada akhirnya dijadikan sebagai sarana untuk mendorong ditaatinya nilai-nilai yang dikandung GCG. Hal ini merupakan suatu upaya dalam rangka penegakan hukum prinsip-prinsip GCG, yang akhirnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum bagi dunia bisnis.
Dalam perspektif yang demikian, prinsip-prinsip GCG hanya akan efektif dalam praktiknya jika memberikan kepastian hukum bagi dunia bisnis. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu komitmen yang kuat dari stakeholders untuk secara bersama-sama melakukan penegakan hukum prinsip-prinsip GCG sehingga proses implementasi prinsip-prinsip GCG pada BUMN sesuai dengan kerangka hukum dan perundang-undangan yang ada dapat berjalan efektif dan memberikan suasana yang kondusif bagi tumbuh kembangnya BUMN, yang pada akhirnya juga berdampak positif bagi upaya akselerasi pembangunan ekonomi di Indonesia.
Urgensi Good Corporate Governance Pada BUMN
Setelah perekonomian Indonesia mengalami “meltdown” dibakar krisis, isu-isu yang menyangkut Good Corporate Governance (GCG) yang telah lama terpendam, akhirnya naik kepermukaan dan makin santer didengungkan oleh masyarakat luas, baik yang tersurat maupun tersirat. Masyarakat merasa bahwa selama organisasi privat dan publik tidak distrukturkan, dioperasikan dan dikendalikan sesuai dengan prinsip-prinsip Corporate Governance, sehingga setelah gagal total untuk mencapai sasaran strategis jangka panjang sebagaimana semestinya, karena tidak mampu menciptakan hubungan-hubungan yang serasi dan selaras di antara kelompok kepentingan (stakeholders) dalam masyarakat.[22]
GCG sendiri sebenarnya bukan isu baru. Jauh sebelumnya, upaya ke arah ini telah dirintis dengan keluarnya Surat Keputusan Meneg Pendayagunaan BUMN No. 23 Tahun 1998 yang mewajibkan transparansi di kalangan manajemen BUMN. Selanjutnya, disusul dengan keluarnya Surat Keputusan No. 117 Tahun 2002 tentang penerapan GCG pada BUMN. Ada empat jenis BUMN yang mendapat sorotan dalam implementasi GCG tersebut yakni : BUMN yang bergerak dalam bidang asuransi dan jasa keuangan, BUMN yang menjadi PT terbuka, BUMN yang sedang dalam tahap privatisasi, dan BUMN yang mempunyai aset minimal Rp 1 triliun.
Dasar hukum terbitnya kebijakan GCG adalah terbitnya The Basel Committee on Banking Supervision tentang standar penerapan GCG untuk perbankan, serta Surat Keputusan Menko EKUIN RI No. Kep-10/M.EKUIN/08/ 1999 tanggal 19 Agustus 1999 tentang pembentukan lembaga non pemerintah berupa Komite Nasional Corporate Governance. Keputusan tersebut ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Surat Keputusan Meneg BUMN No. 23/M-PM.BUMN/2000 tentang pengembangan praktik GCG dalam perusahaan perseroan. Komite tersebut selanjutnya mengeluarkan Pedoman GCG. Pedoman GCG menetapkan bahwa maksud dari penyusunan pedoman tersebut diantaranya adalah : pertama, memaksimalkan nilai perseroan dan nilai perseroan bagi pemegang saham dengan cara meningkatkan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dapat dipercaya, bertanggung jawab, dan adil agar perusahaan memiliki daya saing yang kuat; kedua, mendorong pengelolaan perusahaan perseroan secara professional, transparan, dan efisein; serta ketiga, mendorong agar pemegang saham, anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan serta bertanggung jawab terhadap pihak-pihak lain yang berkepentingan
Lebih lanjut, Menteri BUMN mengeluarkan SK Meneg BUMN No. KEP-117/M-MBU/2002 tentang Praktik Good Corporate Governance pada BUMN, yang diantaranya memuat hal-hal berikut : pertama, GCG adalah proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan untuk mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan dan nilai-nilai etika; kedua, BUMN wajib menerapkan GCG secara konsisten dan/atau menjadikan GCG sebagai landasan operasionalnya; dan terakhir, prinsip-prinsip GCG meliputi transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggung jawaban, dan kewajaran.
Terkait dengan agenda Indonesia dalam penerapan GCG ada tiga aras aktivitas yang sedang dilakukan yakni menetapkan kebijakan nasional, menyempurnakan kerangka regulasi, dan membangun inisiatif sektor swasta.[23] Sementara itu, pelaksanaan praktik GCG dalam pengelolaan BUMN hampir tidak dapat dilepaskan dari urgensi pengurangan, bahkan menghilangkan kontrol dan intervensi pemerintah. Oleh karena itu, melalui pelaksanaan GCG, intervensi politik ke dalam dunia usaha bisa dicegah dan pada saat yang sama, kesamaan visi antara pelaku domestik dan asing akan mengalami kristalisasi. Ini artinya, kepercayaan internasional terhadap BUMN melalui pelaksanaan GCG yang standar tidak lagi bersifat changeable seperti di masa lalu.
GCG pada dasarnya merupakan suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berdasarkan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika. Setidaknya ada beberapa hal penting yang perlu mendapatkan perhatian dan dukungan dalam penerapan GCG, diantaranya adalah transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggung-jawaban dan kewajaran (fairness). Inilah lima prinsip bisnis sehat yang di masa lalu dan juga sekarang justru banyak dilanggar.[24]
Bagi BUMN, saat ini, persoalan yang menyangkut kredibilitas internal sudah seharusnya dibangun secara konsisten dan berkelanjutan. Dalam arti bahwa kepercayaan pihak asing atau domestik harus dipulihkan kembali setelah sektor usaha terpuruk dilanda krisis finansial. Dorongan pelaksanaan GCG ini merupakan salah satu jalan efektif untuk menumbuhkan kepercayaan tersebut. Kendati pun memang pelaksanaan GCG hanya merupakan salah satu faktor keberhasilan membangun kembali BUMN, namun hasil yang diharapkan dengan pelaksanaan GCG akan memberikan performa baru bagi BUMN yang handal, profesional dan mandiri.
Meluasnya kebutuhan terhadap GCG, menurut Ary Suta, dilatarbelakangi oleh : pertama, berkembangnya equity market terutama di negara-negara maju mengharuskan bagi perusahaan dan pelaku pasar lainnya untuk lebih transparan, fair dan terbuka dalam pembuatan keputusan perusahaan; kedua, adanya kompetisi yang semakin tajam terhadap sumber-sumber keuangan yang dikelola oleh dana pension, asuransi, mutual funds, dan institusi-institusi keuangan lainnya; ketiga, semakin meningkatnya keterlibatan masyarakat (stakeholders) baik langsung maupun tidak langsung, dalam kaitannya dengan lingkungan hidup, tenaga kerja, penggunaan dana masyarakat, pajak dan lain-lain, akan mengharuskan perusahaan untuk mengembangkan GCG; dan keempat, adanya keharusan pemerintah terutama yang terkait dengan regulated industry seperti pasar modal, perbankan, dan industri-industri penting lainnya.[25]
Penciptaan dan penerapan GCG itu sendiri memerlukan perencanaan dan penerapan kebijakan penting dan mendasar yang mengatur kehidupan BUMN. Lebih lanjut Ary Suta mengemukakan bahwa setidaknya ada empat syarat utama yang dibutuhkan yakni : Pertama, GCG mengharuskan adanya accountability yang jelas bagi pengelola perusahaan. Amanat yang diterima melalui RUPS oleh direksi dan komisaris harus dipertanggungjawabkan baik yang mencakup operasi perusahaan maupun pertanggungjawaban keuangan. Hal ini memerlukan adanya aturan main yang jelas mengatur hak dan kewajiban setiap pengelola perusahaan. Kedua, GCG membutuhkan adanya direksi yang memiliki tingkat independensi yang memadai terutama dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan perusahaan secara keseluruhan. Harus dapat dipastikan bahwa direksi yang bekerja semata-mata untuk perusahaan dan bukan untuk kepentingan pribadinya. Esensi untuk terciptanya independensi ini adalah menghindari terjadinya conflict of interests. Ketiga, GCG memerlukan adanya penyebaran informasi yang diperlukan (full disclosure). Informasi yang diperlukan oleh stakeholders meliputi informasi penting dan relevan termasuk informasi tentang operasi perusahaan dan informasi keuangan. Informasi ini akan membantu dalam penciptaan kondisi pertama dan kedua di atas. Keempat, GCG memerlukan adanya audit committe untuk meningkatkan kualitas laporan dan objektifitas penilaian kinerja perusahaan. Audit ini harus dilakukan oleh pihak independen.[26]
Oleh karena itu, dalam kehidupan saat ini, menurut pandangan Jusuf Anwar bahwa GCG harus merupakan suatu komitmen dan komitmen ini membutuhkan investasi. Kultur Governance harus ditumbuhkan termasuk aspek pengambilan keputusan dalam suatu manajemen. Daftar manfaat dari kepatuhan terhadap GCG sudah cukup panjang, yang semuanya bermuara pada naiknya nilai tambah pemegang saham (increasing shareholder value).[27]
Manfaat sudah banyak terbukti, bahwa GCG menaikkan nilai tambah para pemegang saham perusahaan. Namun, perubahan kultur dan etos kerja tidak pula mudah, termasuk sulitnya memperbaiki cara pengambilan keputusan dan merubah perilaku manajemen. Dalam banyak segi, penerapan GCG baru sampai pada tahap retorika. Keengganan menerapkan GCG lebih banyak disebabkan karena sikap yang menilai bahwa GCG sebagai beban dan bukan sebagai asset perusahaan, dan juga tidak perlu dilaksanakan karena tidak adanya sanksi dan insentif. Namun di sisi lain, banyak juga perusahaan-perusahaan yang sudah merasakan nilai tambah dari penerapan GCG, seperti lebih mudahnya akses ke pasar modal internasional serta banyaknya investor yang bersedia membayar premi yang lebih tinggi bagi saham perusahaan yang sudah menerapkan GCG. Perusahaan yang sudah menerapkan GCG akan membawa bendera bonafiditas. Efek positif lainnya adalah mampu merekrut tenaga yang terbaik yang ada di pasar tenaga kerja.[28] Hasil survey yang dilakukan McKinsey pada tahun 2002 membuktikan, bahwa semakin rendahnya tingkat budaya GCG pada suatu negara maka premium yang akan diberikan akan lebih tinggi kepada perusahaan yang menerapkan GCG.[29]
Penutup
Kekacauan dalam pengelolaan BUMN masih kerap ditemui terutama pada aspek pengaturan hukum BUMN. Kekacauan ini berakar pada Pasal 33 UUD 1945 yang sesungguhnya memberikan ruang interpretasi karena kata “penting” dan “menguasai hajat hidup orang banyak” tidak pernah didefinisikan dan dioperasionalkan secara tuntas. Agar tidak menimbulkan dualisme dalam pengelolaan BUMN, perlu segera dilakukan redefinisi tentang kedua term tersebut. Hal ini dilakukan dalam rangka mewujudkan cita-cita ideal untuk menjadikan BUMN sebagai perusahaan kelas dunia dan memberikan manfaat sesuai isi jiwa Pasal 33 UUD 1945 dapat diwujudkan.
Kepastian dan penegakan hukum menjadi kata kunci yang dapat menjamin terlaksananya proses reformasi BUMN. Karena itu, Pemerintah bersama DPR secara proaktif menyediakan legal framework yang memberikan landasan hukum bagi BUMN dalam menjalankan fungsi dan perannya, sehingga dapat lebih memberikan manfaat sesuai isi jiwa Pasal 33 UUD 1945. Peraturan perundang-undangan yang telah ada menyangkut BUMN seperti UU Nomor 19 tahun 2003 Tentang BUMN, perlu dikaji ulang atau diselaraskan, terutama dengan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan tumbuh kembangnya BUMN.
Dalam rangka menata BUMN menuju perusahaan yang handal dan mandiri, maka kebutuhan akan penerapan prinsip-prinsip GCG merupakan strategi yang tepat dan mendesak untuk dilaksanakan dengan pendekatan yang lebih komprehensif dan holistik. GCG dapat menjadi way of live atau kultur perusahaan yang dimanfaatkan dalam proses pengambilan keputusan serta menjadi pedoman perilaku manajemen. Dengan adanya GCG sebagai rule of the game yang mengatur interaksi administratif di antara berbagai kelompok kepentingan (stakeholders).


Catatan Kaki :
[1] Lihat tulisan Djuhaendah Hasan, Pengelolaan Kekayaan BUMN dan Permasalahannya, Makalah dalam Seminar Nasional Implikasi Berlakunya Ketentuan Keuangan Negara Terhadap Pengelolaan Aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kelompok Studi Hukum Bisnis FH-UNPAD, Jakarta, 5 Juli 2007, hlm. 10-11.
[2] Lihat lebih lanjut masalah ini dalam buku I Putu Gede Ary Suta, Menuju Pasar Modal Modern, Sad Satria Bhakti, Jakarta, 2002, hlm. 347.
[3] Ibid., hlm. 348.
[4] Ibrahim R., Landasan Filosofis dan Yuridis Keberadaan BUMN: Sebuah Tinjauan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 26-No.1-Tahun 2007, hlm. 12.
[5] Lihat Man Suparman Sastrawidjaja, Eksistensi BUMN Sebagai Perusahaan, Makalah dalam Seminar Nasional Implikasi Berlakunya Ketentuan Keuangan Negara Terhadap Pengelolaan Aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kelompok Studi Hukum Bisnis FH-UNPAD, Jakarta, 5 Juli 2007, hlm. 10.
[6] Lihat lebih lanjut masalah ini dalam tulisan Martiono Hadianto, Eksistensi BUMN di Tengah Sistem Ekonomi Pasar, dalam buku Badan Analisis Fiskal Depkeu, “Kebijakan Fiskal : Pemikiran, Konsep, dan Implementasi”, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2004, hlm. 600-601.
[7] Lihat tulisan Ibrahim R., op.cit., hlm. 10-11.
[8] Faisal Basri, Perekonomian Indonesia Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Indonesia, Erlangga, Jakarta, 2002, hlm. 268.
[9] Ibid., hlm. 268-269.
[10] Suatu perusahaan apalagi yang namanya perusahaan/BUMN dalam mengejar keuntungan tidak semena-mena tetapi mengkaji, memaknai dan melaksanakan misi yang dibebankan kepadanya menurut isi jiwa Pasal 33 UUD 1945 tersebut. Hal ini dikemukakan oleh Man Suparman Sastrawidjaja, op.cit., hlm. 8-9.
[11] I Putu Gede Ary Suta, loc.cit.
[12] Pengertian “dikuasai” oleh negara yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 tidak menutup kemungkinan negara menjadi pemilik. Hal ini mengemuka pada suatu seminar tentang BUMN dalam makalah yang ditulis oleh Man Suparman Sastrawidjaja, op.cit., hlm. 3.
[13] Lihat lebih lanjut tulisan Martiono Hadianto, op.cit., hlm. 607.
[14] Ibrahim R., op.cit., hlm. 12.
[15] Martiono Hadianto, op.cit., hlm. 612.
[16] Ada kesan bahwa BUMN yang ada sangatlah kaya dan berkelimpahan harta sehingga dapat diandalkan sebagai “sapi perah” untuk kepentingan politik. Justru inilah yang menjadi salah satu penyebab keroposnya BUMN karena digerogoti oleh praktik-praktik suap dan koncoisme dan KKN.
[17] Lihat I Putu Gede Ary Suta., op.cit., hlm. 349.
[18] Ibid., hlm. 350.
[19] Republik Indonesia, Master Plan Badan Usaha Milik Negara Tahun 2005-2009, Kementerian Negara BUMN, Jakarta, 2005, hlm. 349.
[20] Faisal Basri, op.cit., hlm. 270.
[21] Republik Indonesia, op.cit., hlm. 2.
[22] Pada umumnya negara-negara yang terkena krisis terparah adalah negara-negara yang sistem tata kelolanya masih lemah, antara lain dalam bidang akuntansi yang implementasinya sering tidak sesuai dengan standar akuntansi yang ditentukan di negara tersebut, sistem manajemen yang masih berdasarkan koneksi atau nepotisme tanpa memperhatikan kemampuan dan profesionalisme, tidak adanya keterbukaan informasi (transparansi), dan tidak adanya akuntabilitas yang jelas. Hal ini dikemukakan oleh I Putu Gede Ary Suta dan Soebowo Musa, Membedah Krisis Perbankan: Anatomi Krisis dan Penyehatan Perbankan, Sad Satria Bhakti, Jakarta, 2003, hlm. 32
[23] Lihat tulisan Mas Achmad Daniri, Reformasi Corporate Governance di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis Volume 24-No. 3, YPHB, Jakarta, 2005, hlm. 20.
[24] Faisal Baasir, Pembangunan dan Krisis Kritik dan Solusi Menuju Kebangkitan Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2003, hlm. 235.
[25] I Putu Gede Ary Suta, op.cit., hlm. 435-436.
[26] Ibid., hlm. 436-437.
[27] Yusuf Anwar, Aspek-Aspek Keuangan dan Perbankan Suatu Tinjauan Praktis, Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tahun 2003, Jilid III/BPHN, Percetakan Negara RI, Jakarta, 2003, hlm. 412.
[28] Ibid., hlm. 414.
[29] Ratna Januarita, Penerapan Good Corporate Governance Pada Sektor Perbankan, Jurnal Ilmu Hukum Ligitasi, Vol. 4-No. 2, Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Bandung, 2003, hlm. 106.


Kamis, 04 Juni 2009

MEMAHAMI KRISIS EKONOMI DI INDONESIA

Prolog

Masih segar dalam ingatan seluruh rakyat Indonesia, setelah berpuluh-puluh tahun terbuai oleh pertumbuhan yang begitu mengagumkan, tahun 1998 ekonomi Indonesia mengalami kontraksi begitu hebat. Tsunami ekonomi menggelegar dengan dahsyat dan tragis memporak-porandakan tatanan ekonomi dan tercatat sebagai periode paling suram dalam sejarah perekonomian Indonesia. Dampak krisis pun mulai dirasakan secara nyata oleh masyarakat, dunia usaha. Hanya dalam waktu setahun, perubahan dramatis terjadi. Prestasi ekonomi yang dicapai dalam dua dekade, tenggelam begitu saja dan juga sekaligus membalikkan semua bayangan indah dan cerah di depan mata menyongsong milenium ketiga.
Tidak dapat dipungkiri bahwa krisis ekonomi yang berlanjut pada krisis kepercayaan telah menimbulkan dampak yang luar biasa terjadap tatanan kehidupan bangsa Indonesia pada berbagai bidang, baik di bidang ekonomi maupun sosial dan politik. Betapa tidak dalam waktu yang singkat telah menyebabkan meningkatnya jumlah orang miskin, pengangguran, meningkatnya anak putus sekolah, meningkatnya angka kriminalitas, menurunnya kualitas kesehatan masyarakat serta efek negatif lainnya yang sangat dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Krisis ini kemudian diperparah oleh lemahnya supremasi hukum, keamanan, stabilitas politik, dan maraknya praktik KKN yang telah begitu menggurita dalam kehidupan masyarakat.
Seperti efek bola salju, krisis yang semula hanya berawal dari krisis nilai tukar baht di Thailand 2 Juli 1997, dalam tahun 1998 dengan cepat berkembang menjadi krisis ekonomi, berlanjut lagi krisis sosial kemudian ke krisis politik. Akhirnya, berkembang menjadi krisis total yang melumpuhkan nyaris seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Katakan, sektor apa saja di negara ini yang tidak luput dari goncangan badai krisis. Bahkan tahta mantan Presiden Soeharto pun goyah, dan akhirnya harus lengser dan catatan sejarah kepemimpinan rezim orde baru pun harus tutup buku untuk selamanya.

Konsepsi Krisis Ekonomi
Dalam ekonomi, krisis adalah istilah lama dalam teori siklus bisnis, merujuk pada perubahan tajam menuju resesi. Sebagai contoh krisis ekonomi 1994 di Meksiko, krisis ekonomi Argentina (1999-2002), krisis ekonomi Amerika Selatan 2002, krisis ekonomi Kamerun. Krisis itu sendiri di dalam laporan IMF, World Economic Outlook 1998 digolongkan menjadi berbagai jenis, yaitu currency crisis, banking crisis, sistemic financial crisis dan foreign debt crisis.
Dari segi asal timbulnya krisis, J. Soedradjat Djiwandono (2001) menjelaskan bahwa pada dasarnya krisis merupakan akibat dari gejolak finansial atau ekonomi dalam perekonomian yang mengidap kerawanan. Kerawanan perekonomian bisa terjadi karena unsur-unsur yang pada dasarnya bersifat internal, seperti kebijakan makro yang tidak tepat, lemahnya atau hilangnya kepercayaan terhadap mata uang dan lembaga keuangan dan ketidak-stabilan politik. Kerawanan dapat pula berasal dari faktor eksternal, seperti kondisi keuangan global yang berubah, ketidak-seimbangan atau misalign-ment nilai tukar mata uang dunia (dollar dengan yen), atau perubahan cepat dari sentimen pasar yang meluas sebagai akibat dari perilaku ikut-ikutan atau herd instinct dari pelaku usaha.
Lebih lanjut, J. Soedradjat Djiwandono (2001) menjelaskan pula bahwa kalau dilihat dari prosesnya, krisis tersebut didahului oleh suatu euphoria, adanya pertumbuhan yang tinggi dalam kurun waktu yang lama yang digambarkan sebagai suatu economic miracle antara lain oleh Bank Dunia, timbul perkembangan yang menampakkan tanda-tanda adanya bubbles seperti ekspansi real estates yang kelewat besar dan pertumbuhan pasar saham yang luar biasa bersamaan dengan masuknya dana luar negeri berjangka pendek secara berlebihan. Dalam keadaan tersebut kemudian timbul gejolak yang menyebabkan suatu distress dan melalui dampak penularan yang sistemik (contagion effects) menjadi krisis. Krisis tersebut semula terjadi di sektor keuangan-perbankan, kemudian melebar menjadi krisis ekonomi yang secara sistemik melebar menjadi krisis sosial, politik dan akhimya krisis kepemimpinan nasional.
Pada dasarnya pendapat para ahli ekonomi mengenai krisis terpecah menjadi dua kelompok besar. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa krisis sebagai suatu kepanikan finansial yang melanda banyak negara di dunia melalui suatu proses penularan. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa krisis sebagai akibat dari kelemahan fundamental ekonomi nasional karena pelaksanaan kapitalisme kroni yang mengandung banyak kelemahan struktural. Oleh Prof. Stephan Haggard kelompok pertama dinamakan sebagai internationalists, sedangkan kelompok kedua sebagai fundamentalists.

Penyebab Terjadinya Krisis Ekonomi di Indonesia
Jika ditelaah lebih dalam, krisis yang terjadi di Indonesia dapat dikatakan sangat unik. Krisis di Indonesia benar-benar tidak terduga datangnya bahkan banyak pakar yang menjelaskan bahwa di antara negara-negara yang bermasalah akibat krisis, Indonesia adalah negara yang paling tidak diperkirakan akan terkena krisis bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Ketika Thailand mulai menunjukkan gejala krisis, orang umumnya percaya bahwa Indonesia tidak akan bernasib sama. Fundamental ekonomi Indonesia dipercaya cukup kuat untuk menahan kejut eksternal (external shock) akibat kejatuhan ekonomi Thailand. Namun, fakta menunjukkan lain bahwa akibat lemah dan keroposnya fundamental ekonomi Indonesia, telah dilindas tanpa ampun oleh krisis yang secara faktual telah melemahkan sendi-sendi kehidupan ekonomi Rakyat.
Sebagian besar ahli berkesimpulan bahwa krisis yang terjadi di Indonesia pada dasarnya terjadi bukan hanya karena adanya kepanikan keuangan dan merajalelanya kapitalisme kroni dan masalah struktur yang lain, tetapi timbulnya krisis tersebut adalah merupakan kombinasi antara kepanikan keuangan dan lemahnya ekonomi nasional baik sektor perbankan maupun sektor riil sehingga menyebabkan lemahnya daya tahan perekonomian nasional menghadapi gejolak krisis. Krisis yang terjadi di Indonesia pada dasarnya dipicu oleh efek ketularan (contagion effect) krisis Asia Timur yang dimulai dengan jatuhnya nilai rupiah terhadap dollar USA akibat dana jangka pendek yang ditarik keluar negeri. Ketidakpercayaan terhadap rupiah menjalar menjadi ketidak percayaan terhadap perbankan yang menimbulkan krisis perbankan. Dalam keadaan ini bank tidak hanya ditinggalkan deposan akan tetapi juga ditinggalkan bank lain, termasuk bank mitra usaha di luar negeri. Krisis keuangan ini pada akhirnya menjadi krisis sosial dan berlanjut pada krisis dalam kehidupan politik yang memuncak dengan terjadinya krisis kepemimpinan nasional yang ditandai dengan berakhirnya rezim Orde Baru.

Pemulihan Perekonomian Indonesia Pasca Krisis Ekonomi
Dalam rangka menyehatkan ekonomi Indonesia akibat krisis, Sri Adiningsih (2001) berpendapat bahwa Indonesia perlu menjalankan program restrukturisasi pada lima bidang yakni sektor keuangan, korporasi, hukum ekonomi, birokrasi, dan tenaga kerja. Restrukturisasi sektor keuangan diharapkan dapat mengembangkan pasar keuangan yang sehat dan efisien sehingga lembaga keuangan dapat menjalankan fungsi intermediasi dan dengan efisien dan memperlancar mekanisme pembayaran. Restrukturisasi korporasi dapat dilakukan dengan cara restrukturisasi hutang-hutang perusahaan sehingga dapat dihasilkan perusahaan yang sehat dan mampu menggerakkan sektor riil sebagai salah satu pilar perekonomian. Restrukturisasi hukum ekonomi diharapkan agar ada suatu kepastian hukum, perlindungan pada pihak-pihak yang melakukan transaksi dan law enforcement yang dapat menjamin dilaksanakannya peraturan dalam bidang ekonomi perlu agar supaya ada keamanan dalam berbisnis di Indonesia. Restrukturisasi birokrasi amat penting dilakukan dalam rangka menyehatkan ekonomi Indonesia agar supaya penyimpangan dalam pengelolaan ekonomi yang pernah terjadi di Indonesia tidak terulang lagi. Reformasi birokrasi diperlukan agar supaya birokrasi dapat bekerja dengan efisien, di mana good public governance dapat direalisasikan yang akan mendukung perkembangan bisnis. Restrukturisasi tenaga kerja perlu dilakukan agar supaya pasar tenaga kerja dapat berkembang lebih seimbang dan sehat. Selain itu lapangan pekerjaan dapat ditingkatkan sehingga pengangguran segera dikurangi.
Bagi J. Soedradjat Djiwandono, restrukturisasi perbankan dalam program stabilitas dan pemulihan ekonomi merupakan bagian penting dan mendesak dari restrukturisasi sistem keuangan. Pertama, karena kelemahan perbankan diidentifikasikan sebagai masalah pokok timbulnya krisis, baik oleh mereka yang menganggapnya sebagai panik keuangan dari unsur eksternal yang menjalar menjadi krisis maupun oleh mereka yang menganggap krisis berasal dari kelemahan struktural ekonomi dalam negeri. Kedua, karena peran perbankan dalam sistem pembayaran nasional sangat dominan, maka penularan masalah dari sektor keuangan ke sektor riil berjalan melalui perbankan. Gejolak moneter menjalar ke sektor riil melalui perbankan yang juga menderita masalah struktural sebelumnya.
Dengan demikian, restrukturisasi ekonomi ini diharapkan selain dapat memulihkan ekonomi juga dapat mencapai cita-cita bangsa Indonesia diantaranya dengan membangun perekonomian yang memiliki daya tahan yang kuat (sehat) dan memiliki daya saing tinggi pada tingkat internasional. Untuk itu, Sri Adiningsih berpendapat bahwa ada beberapa agenda penting yang perlu dilakukan oleh Indonesia. Pertama, membangun ekonomi daerah yang kuat sehingga pertumbuhan ekonomi akan lebih merata antar kawasan. Kedua, memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam dengan baik agar supaya sumber kekayaan yang lestari tersebut dapat dimanfaatkan dengan optimal dan berkelanjutan. Ketiga, mengembangkan pasar keuangan yang sehat dan efisien. Untuk itu selain perlu mengembangkan industri perbankan, juga mengembangkan lembaga keuangan non-bank yang sehat dan efisien agar supaya perekonomian tidak terlalu tergantung pada perbankan. Keempat, perlu pengembangan dunia usaha baik sektor primer, sekunder, dan tersier yang lebih berbasis pada input lokal dan berdaya saing tinggi. Kelima, Pemerintah dan Bank Indonesia diharapkan dapat mengelola kebijakan ekonomi yang prudent yang dapat menciptakan iklim ekonomi yang sehat dan efisien. Juga dapat menciptakan iklim pasar yang sehat melalui regulasi, pengawasan, dan law enforcement yang dapat meminilisasi distorsi mekanisme pasar dan menjaga kepentingan nasional. Keenam, perlu adanya pengelolaan aset dan kewajiban negara yang baik agar supaya tidak terjebak ke dalam debt trap dan aset negara dapat dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkelanjutan.
Faisal Basri (2002) menegaskan bahwa bagi pemerintah dengan adanya krisis ini perlu dilakukan beberapa hal. Pertama, perlu pembenahan manajemen pembangunan dan pemerintahan. Kedua, melakukan reformasi pengambilan keputusan. Ketiga, diperlukan pengembangan kelembagaan yang menopang peningkatan dinamika perekonomian yang semakin sehat sehingga bisa menekan biaya transaksi (transaction cost). Keberhasilan menekan biaya transaksi akan memperkokoh keunggulan komparatif bangsa yang pada gilirannya mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Lebih jauh, diungkapkannya pula bahwa dari sisi ekonomi teknis, momentum bagi pemulihan yang berkelanjutan sangat bergantung pada ; pertama, keberhasilan dalam restrukturisasi perbankan untuk menghasilkan struktur perbankan yang sehat dan tangguh, sehingga bisa menjalankan perannya sebagai perantara finansial yang efisien. Kedua, keberhasilan dalam penyelesaian utang swasta yang dikaitkan dengan penyehatan struktur usaha. Ketiga, kelancaran masuknya arus modal dari luar negeri, baik dalam bentuk portfolio maupun penanaman modal langsung. Dalam hal ini peranan BPPN dan kementerian BUMN sangatlah strategis.

Epilog
Krisis ekonomi dan kepercayaan yang melanda Indonesia telah membuka jalan bagi munculnya reformasi ekonomi, karena hanya dengan adanya program reformasi ekonomi ini pada akhirnya akan dapat memacu membangun ekonomi yang memiliki daya tahan yang tinggi baik dari pengaruh eksternal maupun internal sehingga pemulihan ekonomi dapat segera dicapai oleh Indonesia. Selain itu restrukturisasi ekonomi dalam kerangka pemulihan ekonomi ini penting untuk meletakkan dasar-dasar yang diperlukan agar bangsa Indonesia siap menghadapi era pasar bebas dan dapat meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia secara berkelanjutan untuk mencapai cita-cita bangsa pada saat mendeklarasikan kemerdekaannya yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945.

Rujukan :
Anwar Adnan Saleh, dkk. (ed), Pemulihan Ekonomi dan Otonomi Daerah (Refleksi Pemikiran Partai Golkar), LASPI, Jakarta, 2001.
Faisal Basri, Perekonomian Indonesia-Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Indonesia, Erlangga, Jakarta, 2002.
I Putu Gede Ary Suta dan Soebowo Musa, Membedah Krisis Perbankan: Anatomi Krisis dan Penyehatan Perbankan, Sad Satria Bhakti, Jakarta, 2003.
J. Soedradjat Djiwandono, Bergulat Dengan Krisis dan Pemulihan Ekonomi Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001.
---------------------------------, Mengelola Bank Indonesia Dalam Masa Krisis, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2001.

Minggu, 17 Mei 2009

Posted by Picasa

Sabtu, 16 Mei 2009

MEWUJUDKAN PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN MELALUI LEMBAGA MEDIASI

Pendahuluan
Tanah mempunyai posisi yang strategis dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang bersifat agraris. Sedemikian istimewanya tanah dalam kehidupan masyarakat Indonesia telihat dan tercermin dalam sikap bangsa Indonesia sendiri yang juga memberikan penghormatan kepada kata tanah, dengan penyebutan istilah seperti Tanah air, Tanah tumpah darah, Tanah pusaka dan sebagainya. Bahkan dalam UUPA juga dinyatakan adanya hubungan abadi antara bangsa Indonesi dengan tanah (Pasal 1 ayat (3) UUPA).[1]
Namun dalam kenyataannya, bagi bangsa Indonesia salah satu masalah pokok hingga kini belum mendapat pengaturan yang tuntas adalah masalah tanah.[2] Permasalahan tanah yang dari segi empiris sangat lekat dengan peristiwa sehari-hari, tampak semakin kompleks dengan terbitnya berbagai kebijakan deregulasi dan debirokratisasi di bidang pertanahan menyongsong era perdagangan bebas.[3]
Munculnya berbagai kasus pertanahan tersebut tidak dapat dilepaskan dari konteks kebijakan pemerintah yang banyak bersifat ad hoc, inkonsisten dan ambivalen antara satu kebijakan dengan yang lain. Struktur hukum tanah menjadi tumpang tindih. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 yang awalnya merupakan payung hukum bagi kebijakan pertanahan di Indonesia, menjadi tidak berfungsi dan bahkan secara substansial terdapat pertentangan dengan diterbitkannya berbagai peraturan perundangan sektoral[4] Keseluruhan undang-undang yang bersifat sektoral itu mempunyai posisi yang sama dan menjadikan tanah sebagai objek yang sama. Akibatnya benturan di lapangan tidak dapat dihindarkan, antara penggunaan dan penafsiran undang-undang yang berbeda oleh pejabat-pejabat pemerintahan sektoral yang berbeda-beda terjadi atas konflik penguasaan yang sama. Perbedaan antara undang-undang itu tidak hanya dapat memberikan peluang pada perbedaan interpretasi para birokrat, tetapi juga secara substansial undang-undang tersebut tidak integratif.[5]
Kesadaran akan arti pentingnya reformasi di berbagai bidang dalam upaya untuk mencari jalan keluar dari kemelut politik dan ekonomi Indonesia, telah mendorong pemikiran ke arah reformasi kebijakan di bidang pertanahan. Perkembangan yang dinamis tersebut, dikehendaki atau tidak, mendorong ke arah perlunya pemikiran yang konseptual dalam rangka mengisi dan mengantisipasi perkembangan hukum tanah secara bertanggung jawab, termasuk didalamnya menyangkut solusi hukum penyelesaian sengketa tanah.
Pada satu sisi, tidak dapat dipungkiri bahwa masalah tanah dilihat dari segi yuridisnya saja merupakan hal yang tidak sederhana pemecahannya dan dalam suatu kasus, tidak jarang terlibat beberapa instansi yang langsung atau tidak langsung berkaitan dengan masalah/sengketa yang diajukan di pengadilan baik dalam lingkup peradilan umum maupun peradilan tata usaha negara.[6] Namun pada sisi lain dalam perkembangan selanjutnya, penyelesaian sengketa tanah melalui lembaga pengadilan oleh masyarakat dirasakan kurang efektif disamping itu memakan waktu dan biaya yang cukup besar, juga adanya potensi campur tangan pihak ketiga dengan motivasi apa pun yang berakibat negatif terhadap keputusan pengadilan. Bahkan di kalangan masyarakat telah merebak isu bahwa di Mahkamah Agung (MA) tanpa solusi yang jelas, sehingga sedikit banyak menambah keraguan masyarakat/pencari keadilan terhadap efektivitas penyelesaian sengketa di pengadilan yang merupakan benteng terakhir untuk menemukan keadilan.
Oleh karena itu, masalah penyelesaian sengketa pertanahan yang efektif dan efisien merupakan hal yang sangat penting untuk dicapai dalam upaya mendukung proses akselerasi pembanguan yang kondusif serta lebih memberikan jaminan dan kepastian hukum serta kepuasan bagi para pencari keadilan. Salah satu cara yang dapat dipakai untuk mengatasi berbagai sengketa tanah dengan sistem penyelesaian yang efektif, adil, tidak menyita waktu dan biaya yang murah serta terhindar dari campur tangan pihak ketiga adalah melalui mekanisme Alternative Dispute Resolution (ADR) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Salah satu mekanisme ADR yang paling banyak digunakan adalah melalui cara mediasi.
Potret Masalah Pertanahan Di Indonesia
Masalah pertanahan merupakan suatu permasalahan yang cukup rumit dan sensitif sekali sifatnya, karena menyangkut berbagai aspek kehidupan baik bersifat sosial, ekonomi, politis, psikologis dan lain sebagainya, sehingga dalam penyelesaian masalah pertanahan bukan hanya kasus memperhatikan aspek yuridis akan tetapi juga harus memperhatikan berbagai aspek kehidupan lainnya agar supaya penyelesaian persoalan tersebut tidak berkembang menjadi suatu keresahan yang dapat menggangu stabilitas masyarakat.
Munculnya berbagai masalah mengenai tanah menunjukkan bahwa penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah di negara kita ini belum tertib dan terarah. Masih banyak penggunaan tanah yang saling tumpang tindih dalam berbagai kepentingan yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Disamping itu, fakta juga menunjukkan bahwa penguasaan dan pemilikan tanah masih timpang. Ada sekelompok kecil masyarakat yang memiliki tanah secara liar dan berlebihan, dan ada juga sekelompok besar masyarakat yang hanya memiliki tanah dalam jumlah sangat terbatas. Bahkan banyak pula yang sama sekali tidak memiliki, sehingga terpaksa hidup sebagai penggarap. Tidak jarang pula, dan bukan barang aneh, timbul ihwal penguasaan tanah oleh oknum-oknum tertentu secara sepihak.[7]
Dalam pandangan Y.W. Sunindhia dan Ninik Widiyanti bahwa tentu saja, semua ini amat bertentangan dengan prinsip keadilan sosial dan juga bertentangan dengan fungsi sosial tanah. Apalagi di negara yang rakyatnya berkeinginan melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah untuk kemakmuran rakyat merupakan suatu conditio sine qua non.[8]
Menurut Maria S.W. Sumardjono secara garis besar, peta permasalahan tanah dapat dikelompokkan atas : [9]
  1. Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal kehutanan, perkebunan, proyek perumahan yang diterlantarkan, dan lain-lain.
  2. Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan tentang Landreform
  3. Ekses-ekses dalam penyediaan tanah untuk keperluan pembangunan.
  4. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah.
  5. Masalah yang berkenaan dengan hak ulayat masyarakat hukum adat.

Lebih lanjut beliau mengemukakan bahwa permasalahan yang pertama dan kedua penyelesaiannya lebih menitikberatkan pada pelaksanaan peraturan secara konsekuen dan konsisten. Bila masalah ini tidak dapat diselesaikan dengan baik, sengketa berkepanjangan akan selalu terbuka. Keresahan sosial yang timbul sebagai ekses penyediaan tanah untuk pembangunan pada umumnya berkisar pada penentuan ganti kerugian atau penentuan harga tanah yang wajar. Sengketa perdata masalah tanah pada umumnya diselesaikan melalui pengadilan, baik dalam lingkup peradilan umum maupun peradilan tata usaha negara.[10]

Dari segi yuridis praktis, Prof. Budi Harsono, sebagaimana dikutip dari Arie S. Hutagalung, lebih memperinci masalah tanah yang dapat disengketakan yakni sengketa-sengketa mengenai : 1) bidang tanah yang mana yang dimaksudkan; 2) batas-batas bidang tanah; 3) luas bidang tanah; 4) status tanahnya : tanah negara atau tanah hak; 5) pemegang haknya; 6) hak yang membebaninya; 7) pemindahan haknya; 8) penunjuk lokasi dan penetapan luasnya untuk suatu proyek pemerintah atau swasta; 9) pelepasan/pembebasan tanah; 10) pengosongan tanah; 11) pemberian ganti rugi, pesangon atau imbalan lainnya; 12) pembatalan haknya; 13) pencabutan haknya; 14) pemberian haknya; 15) penerbitan sertifikatnya; dan 16) alat-alat pembuktian adanya hak atau perbuatan hukum yang dilakukan dan sengketa-sengketa lainnya.[11]
Dengan memperhatikan fungsi ganda tanah sebagai social asset dan capital asset,[12] telah menyebabkan pengambilan keputusan dan penetapan kebijakan berkaitan dengan tanah dalam rangka mencari solusi hukum atas berbagai masalah pertanahan harus dilakukan secara hati-hati. Untuk kondisi sosial budaya dan hukum tanah pada masyarakat Indonesia yang beraneka ragam, kehati-hatian ini perlu dicermati untuk menjaga agar tidak menimbulkan disintegrasi pada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dilema yang dihadapi dalam kehidupan bernegara di Indonesia berkaitan dengan fungsi tanah ini adalah dalam menetapkan mana dari kedua fungsi ini yang akan lebih diutamakan, terutama dalam rangka mengatasi berbagai masalah hukum tanah. Penetapannya akan sangat ditentukan oleh politik hukum pertanahan yang ditetapkan bersama oleh masyarakat, dalam hal ini adalah representasi wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR.
Dalam kerangka demikian, perspektif berpikir yang diperlukan adalah terpenuhinya hal-hal yang bersifat formal dan substansial dalam mewujudkan penghormatan terhadap hak-hak dasar manusia, karena apabila hal tersebut tidak dilakukan, maka tujuan berupa kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan tidak akan tercapai. Oleh karena itu, tanpa bermaksud menggeneralisasi, analisis terhadap beberapa masalah tanah, memerlukan perhatian demi peningkatan kualitas problem solving terhadap masalah pertanahan di masa yang akan datang. Salah satu hal yang perlu ditingkatkan adalah pemahaman mengenai substansi permasalahan yang berkaitan dengan konsep yang mendasarinya.

Penyelesaian Sengketa Tanah: Perspektif Hukum Tanah Nasional
Masalah seputar tanah harus diakui merupakan masalah yang cukup rumit dan sensitif. Bukan hanya pada aspek yuridisnya, akan tetapi juga pada berbagai aspek kehidupan bermasyarakat lainnya. Penanganan yang kurang bijaksana terhadap masalah tanah akan berakibat fatal yang kadang kala dapat menjurus ke arah yang dapat mengganggu stabilitas masyarakat. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah, penyelesaian sengketa tanah harus disesuaikan dengan karidor hukum tanah nasional, yakni dengan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria (UUPA).
Penyelesaian sengketa tanah dalam perspektif Hukum Tanah Nasional menghendaki agar penyelesaian sengketa diusahakan pertama-tama melalui musyawarah. Dalam musyawarah itu kedudukan para pihak adalah sederajat, biarpun salah satu pihaknya adalah pemerintah. Kalau yang bersengketa meliputi jumlah yang besar, dapat dilaksanakan melalui perwakilan atau kuasa yang ditunjuk oleh yang bersangkutan.[13] Musyawarah pada hakikatnya adalah proses atau kegiatan saling mendengar dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan atas kesukarelaan antara pihak pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah, untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian.[14]
Secara konstitusional, negara mengakui dan melindungi hak-hak rakyat dan masyarakat-masyarakat hukum adat atas tanah. Tetapi kalau diperlukan untuk proyek yang mempunyai sifat kepentingan umum atau kepentingan nasional dan menyangkut hajat hidup orang banyak, tanah yang dipunyai itu wajib diserahkan, dengan ketentuan bahwa negara harus memperhatikan hak dan kepentingan mengenai bentuk dan jumlah ganti kerugian yang wajib diberikan kepada pemegang hak atas tanah tersebut. Dalam Penjelasan Umum UUPA dinyatakan bahwa kepada masyarakat-masyarakat hukum adat yang tanah ulayatnya diperlukan bagi pembangunan wajib diberikan recognitie atau kompensasi dalam bentuk pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bermanfaat bagi masyarakat setempat.
Dalam hal musyawarah tidak dapat menghasilkan kesepakatan mengenai penyerahan bidang tanah yang diperlukan dan/atau mengenai bentuk jumlah imbalannya, sengketa dapat diselesaikan dengan menggunakan lembaga pencabutan hak yang diatur dalam UU No. 20/1961 dan peraturan-peraturan pelaksanaannya, jika tidak dapat digunakan bidang tanah yang lain dan proyeknya mempunyai sifat kepentingan umum. Pencabutan hanya dapat dilakukan dengan Keputusan Presiden dan tanah yang bersangkutan baru boleh dikuasai setelah ganti ruginya diterimakan. Namun cara ini dinilai memakan waktu dan kurang memadai terutama terhadap proyek-proyek yang harus segera diselesaikan.
Untuk penyelesaian sengketa bagi tanah-tanah yang dikuasai secara illegal, jika tidak dapat diselesaikan melalui musyawarah, disediakan ketentuannya dalam UU No. 51/Prp/1960 tentang Larangan Pemakaian tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya. Dalam UU ini, para Bupati/Walikota diberikan kewenangan untuk secara arif dan bijaksana menyelesaikan sengketa tanah yang dikuasai secara illegal itu,[15] dengan memperhatikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penguasaan dan yang meliputi kasus yang dihadapi. Jika musyawarah tidak dapat menghasilkan kesepakatan, Bupati/Walikota atas nama undang-undang tersebut di atas, dapat secara sepihak memutuskan penyelesaiannya tanpa wajib mengajukan soalnya kepada pengadilan. Dalam hal ini tidak dilakukan pencabutan hak, karena penguasaan tanahnya tidak ada landasan haknya.
Bupati/Walikota dapat memerintahkan pengosongan atas tanah tanah yang dikuasai secara illegal tersebut, dengan atau tanpa pemberian uang pesangon. Apa yang diberikan itu bukan imbalan ataupun ganti kerugian, kecuali mengenai bengunan dan tanaman yang menurut hukum memang merupakan milik pihak yang menguasai tanah.23 Pengosongan dapat juga disertai penyediaan tempat hunian baru. Tetapi baik pesangon maupun penyediaan tempat hunian baru merupakan semata-mata putusan kebijaksanaan Bupati/Walikota dalam menyelesaikan kasus yang bersangkutan. Karenanya bukan hak okupan yang dapat dituntut pemberiannya. Terlepas dari hal di atas, mengenai penyelesaian sengketa itupun harus memperhatikan pertimbangan kemanusian, karena asas utama yang bersumber pada Pancasila juga berlaku dalam kasus-kasus tersebut.

Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa Tanah
Dari laporan hasil Dialog Reformasi Kebijakan Pertanahan di Indonesia tahun 2001 dan hasil Diskusi Pertanahan tahun 2002, telah memberikan suatu gambaran kepada semua pihak bahwa masalah konflik dan sengketa tanah adalah masalah yang utama dan sangat penting serta tidak dapat ditunda-tunda lagi untuk segera ditangani oleh pemerintah. Hal ini juga dipertegas dalam Pasal 5 ayat 1.d mengenai TAP MPR No. IX /MPR/2001 khususnya mengenai arahan kebijakan pembaharuan agraria sebagai suatu amanat dari seluruh rakyat Indonesia yang berbunyi :
“Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya Agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud pasal 4 ketetapan ini”.
Menurut Arie S. Hutagalung, pada prinsipnya secara garis besar, seperti halnya sengketa secara umum, maka sengketa tanah dapat diselesaikan melalui 3 (tiga cara) yaitu :[16]

  1. Penyelesaian secara langsung oleh para pihak dengan musyawarah. Dasar dari musyawarah untuk mufakat ini tersirat dalam Pancasila sebagai dasar kehidupan bermasyarakat Indonesia dan juga tersirat dalam UUD 1945.
  2. Penyelesaian melalui Badan Peradilan berdasarkan UU No. 14/1970 jo UU No. 35/1999 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman; umumnya penyelesaian ini diajukan ke peradilan umum yang diatur dalam UU No.2/1986 tentang Peradilan Umum atau apabila yang disengketakan adalah produk tata usaha negara atau yang digugat pejabat Tata Usaha Negara melalui Peradilan Tata Usaha Negara yang diatur dalam UU No. 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, atau apabila menyangkut tanah wakaf diajukan ke Pengadilan Agama.
  3. Melalui mekanisme Arbitrasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution); dengan telah diundangkannya UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka terdapat suatu kepastian hukum untuk mengakomodasi cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum.

Dalam praktik hukum di Indonesia, pada umumnya semua sengketa pertanahan dapat diajukan ke pengadilan baik dalam lingkup peradilan umum maupun peradilan tata usaha negara. Namun harus diakui, penggunaan lembaga peradilan untuk menyelesaikan suatu sengketa pertanahan kerapkali menyisakan banyak kekurangan/kelemahan, yang mana secara umum kekurangan/kelemahan ini apabila ditinjau dari aspek ekonomi merupakan salah satu komponen yang mengakibatkan munculnya ekonomi biaya tinggi.
Berperkara di pengadilan pada umumnya dirasakan sebagai proses yang memakan waktu, tidak sederhana, dan tidak murah biayanya. Hal ini sering diperparah dengan kendala yang bersifat organisatoris dan Kendala non-yuridis berupa campur tangan pihak-pihak di luar lembaga yudikatif dengan dampak keluarnya keputusan yang menyimpang dari arti hakiki pengadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan bagi pencari keadilan. Karena itu, dapat dipahami, penyelesaian sengketa di pengadilan merupakan pilihan terakhir.
Beberapa kritik yang sering kali dilontarkan terhadap lembaga peradilan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imamulhadi bahwa proses penyelesaian melalui jalur pengadilan (ligitasi) memiliki banyak kelemahan, seperti :[17]

  1. Ligitasi memaksa para pihak berada pada posisi yang ekstrim dan memerlukan pembelaan;
  2. Ligitasi mengangkat seluruh persoalan dalam suatu perkara, sehingga mendorong para pihak untuk melakukan penyelidikan terhadap kelemahan-kelemahan pihak lainnya;
  3. Proses ligitasi memakan waktu yang lama dan biaya yang mahal;
  4. Hakim seringkali bertindak tidak netral dan kurang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang mendasari penyelesaian suatu masalah hukum baru.

Dalam perkembangan sengketa pertanahan di Indonesia, pernah timbul gagasan untuk membentuk Pengadilan Pertanahan di dalam lingkup peradilan umum. Walaupun secara teoritis pembentukan Pengadilan Pertanahan dimungkinkan,[18] namun demikian masalah utamanya adalah : apakah dengan dibentuknya Pengadilan Pertanahan maka efektivitasnya dapat dijamin? Berdasarkan pengamatan berperkara di pengadilan sebagai di gambarkan di atas justru eksistensi penyelesaian sengketa melalui pengadilan terkadang diragukan sebagai benteng terakhir untuk menemukan keadilan. Olehnya itu, efektivitas Pengadilan Pertanahan yang diusulkan itu masih merupakan tanda tanya.
Selain Pengadilan Pertanahan, gagasan tentang Arbitrasi Pertanahan juga pernah dilontarkan. Maria S.W. Sumardjono berpandangan bahwa gagasan pembentukan lembaga Arbitrase Pertanahan masih memerlukan pemikiran yang seksama. Apabila semua unsur yang dipertimbangkan untuk terciptanya lembaga arbitrase itu sudah dapat dipenuhi, barangkali gagasan itu dapat terwujud. Namun dengan berfungsinya lembaga tersebut, tidak serta merta dapat diharapkan bahwa penyelesaian sengketa akan berjalan lebih cepat. Menurutnya tersedianya tenaga ahli yang profesional, tata kerja yang jelas, dan tersedianya dana pendukung yang diperlukan akan berdampak terhadap ketepatan waktu penyelesaian sengketa.[19] Namun demikain, gagasan tentang pembentukan lembaga Pengadilan Pertanahan maupun Arbitrase Pertanahan harus diakui, muncul sebagai reaksi atas penyelesaian sengketa tanah melalui pengadilan yang berjalan lamban, mahal, dan terkadang tidak dapat dieksekusi.
Menurut hemat Penulis, pembentukan lembaga peradilan tersebut di atas, seyogyanya untuk saat ini tidak diperlukan karena penyelesaian sengketa tanah sudah dalam sistem hukum pertanahan Indonesia telah memperoleh tempat penyelesaian melalui peradilan umum, peradilan tata usaha negara dan peradilan agama. Yang harus dilakukan adalah bagaimana mengupayakan agar lembaga pengadilan dapat berfungsi secara optimal. Eksistensi pengadilan sebagai tempat bagi para pencari keadilan, harus senantiasa secara terencana dan sistematis ditingkatkan kualitasnya. Hal itu dilakukan dalam rangka menghasilkan berbagai produk keputusan yang berkualitas, sehingga pada akhirnya diharapkan dapat memposisikan citra pengadilan sebagai benteng terakhir para pencari keadilan.

Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Pertanahan
Berbagai kekurangan lembaga peradilan dalam menyelesaikan suatu sengketa sangat dirasakan oleh para pihak yang bersengketa terutama dalam rangka memberikan kepuasan hukum, sehingga kondisi ini semakin meyakinkan perlunya ditemukan cara penyelesaian lain yang dapat memuaskan para pihak yang bersengketa, sehingga pencari keadilan beralih pada Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution) untuk menyelesaikan setiap persoalan yang timbul terkait dengan sengketa tanah.
Mengingat penyelesaian sengketa melalui pengadilan umum maupun pengadilan tata usaha negara sering dirasakan kurang efektif, dan bahwa pengadilan itu merupakan upaya terakhir bila upaya lain menemui jalan buntu, maka gagasan untuk memanfaatkan cara penyelesaian sengketa alternatif di luar jalur pengadilan, misalnya melalui lembaga mediasi, nampaknya sudah saatnya untuk diwujudkan.
Barangkali untuk Indonesia, dimana cara-cara musyawarah untuk mencapai mufakat merupakan hal yang lazim, untuk kasus-kasus pertanahan yang bersifat perdata dalam arti luas, yakni yang tidak menyangkut aspek administrasi dan pidana, sepanjang para pihak menghendaki cara-cara mediasi, maka hal itu dapat ditempuh.[20] Apalagi dalam Pasal 14 UU no. 14/1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan kehakiman disebutkan bahwa walaupun hakim harus mengadili perkara yang diajukan, namun tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.
Mediasi sebagai mekanisme ADR/APS menawarkan cara penyelesaian sengketa yang khas dengan ciri–ciri : waktunya singkat, terstruktur, berorientasi pada tugas, dan merupakan cara intervensi yang melibatkan peran serta para pihak secara aktif.[21] Menurut Maria S.W. Sumardjono, penyelesaian sengketa tanah melalui lembaga mediasi memiliki segi positif dan negatif. Segi positifnya adalah bahwa waktunya singkat, biayanya ringan dan prosedurnya sederhana. Pihak yang bersengketa akan merasa lebih “berdaya” dibandingkan dalam proses pengadilan karena mereka sendirilah yang menentukan hasilnya. Di samping itu, dalam mediasi para pihak akan lebih terbuka terhadap adanya nilai-nilai lain di samping faktor yuridis. Segi negatifnya adalah bahwa hasil mediasi tidak dapat dimintakan penguatan kepada pengadilan, karena itu efektivitasnya tergantung kepada ketaatan para pihak untuk menepati kesepakatan bersama tersebut.[22]
Lebih lanjut beliau menyatakan pula bahwa, segi positif mediasi sekaligus dapat menjadi segi negatifnya, dalam arti keberhasilan mediasi semata-mata tergantung pada itikad baik para pihak untuk menaati kesepakatan bersama tersebut karena hasil akhir mediasi tidak dapat dimintakan penguatan kepada pengadilan. Untuk sengketa dalam bidang bisnis, supaya kesepakatan dapat dilaksanakan (final and binding), seyogianya para pihak mencantumkan kesepakatan (klausula ADR/APS) itu dalam bentuk perjanjian tertulis yang tunduk pada prinsip-prinsip umum perjanjian.[23]

Dalam mediasi, para pihak sendirilah yang berperan aktif untuk menjajaki berbagai alternatif untuk menetapkan hasil akhir dengan bantuan seorang mediator yang tidak memihak dan berperan untuk membantu tercapainya hal-hal yang disepakati bersama. Fungsi mediator dalam penyelesaian sengketa melalui lembaga mediasi, oleh Suyud Margono dijelaskan adalah sebagai berikut :[24]

  1. Sebagai “katalisator”, berarti kehadiran mediator dalam proses perundingan mampu mendorong lahirnya suasana yang konstruktif bagi jalannya diskusi.
  2. Sebagai “pendidik”, berarti seseorang harus berusaha memahami aspirasi, prosedur kerja, keterbatasan politis, dan kendala usaha dari para pihak. Oleh sebab itu, mediator harus berusaha melibatkan diri dalam dinamika perbedaan diantara para pihak.
  3. Sebagai “penerjemah”, berarti mediator harus berusaha menyampaikan dan merumuskan usulan para pihak melalui bahasa atau ungkapan yang baik dengan tanpa mengurangi sasaran yang dicapai oleh pengusul.
  4. Sebagai “nara sumber”, berarti seorang mediator harus mendayagunakan sumber-sumber informasi yang tersedia.
  5. Sebagai “penyandang berita jelek” berarti bahwa mediator harus menyadari bahwa para pihak dalam proses perundingan dapat bersikap emosional. Untuk itu mediator harus mengadakan pertemuan terpisah dengan pihak-pihak terkait untuk menampung berbagai usulan.
  6. Sebagai “agen realitas”, berarti mediator harus berusaha memberi pengertian secara jelas kepada salah satu pihak bahwa sasarannya tidak mungkin/tidak masuk akal tercapai melalui perundingan.
  7. Sebagai “kambing hitam”, berarti seorang mediator harus siap dipersalahkan misalnya dalam membuat kesepakatan hasil perundingan.

Dalam hal prosedur/proses yang harus ditempuh dalam mediasi, terdapat beberapa pendapat ahli. Di sini akan dikemukakan proses tahapan mediasi menurut pendapat Riskin dan Westbrook sebagaimana dikutip oleh E. Saefullah Wiradipradja, meliputi lima tahapan sebagai berikut : 1) Sepakat untuk menempuh proses mediasi; 2) Memahami masalah-masalah; 3) Membangkitkan pilihan-pilihan pemecahan masalah; 4) Mencapai kesepakatan; dan 5) Melaksanakan kesepakatan. [25]
Dalam praktik mediasi di Amerika Serikat atau Inggris, walaupun ada pihak yang beranggapan bahwa yang menentukan mediasi itu adalah sikap para pihak yang menginginkan untuk menyelesaikan sengketanya, namun pada umumnya mediasi lebih cocok untuk digunakan, misalnya dalam kasus di mana hubungan antara para pihak diharapkan terus berlanjut, kasus-kasus dimana ada keseimbangan antara kekuatan kedua belah pihak, sengketanya berjangka waktu singkat dan tidak ada kepastian tentang hasil akhirnya bila dibawa ke pengadilan. Dalam konteks Indonesia, kasus-kasus yang lebih sesuai adalah kasus-kasus yang segi hukumnya kurang mengemuka dibandingkan dengan segi kepentingan (interest) para pihak.[26]
Penyelesaian sengketa melalui cara-cara mediasi yang modern bagi bangsa Indonesia masih merupakan hal yang relatif baru. Dalam beberapa kasus tanah, penyelesaian sengketa melalui lembaga mediasi pernah dilakukan oleh Komnas HAM dengan hasil yang positif. Oleh karena itu, mengingat bahwa pada masa yang akan datang akan lebih banyak diperlukan cara-cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, maka dalam rangka pemikiran ke arah realisasi lembaga mediasi, perlu dipersiapkan hal-hal yakni : Pertama, menyiapkan sumber daya manusianya. Seorang mediator haruslah menguasai materi yang akan disengketakan. Latar belakang sebagai sarjana hokum memiliki nilai tambah, tetapi bukan merupakan keharusan. Kualifikasi pokok lainnya adalah mempunyai integritas yang tinggi dan sifat tidak memihak yang ditunjang dengan kemampuan untuk mendengar, mengajukan pertanyaan, mengamati, mewawancarai, konseling dan negosiasi; Kedua, diperlukan pelatihan, jangka waktunya, serta fasilitatornya; dan Ketiga, diperlukan adanya suatu lembaga/badan yang berwenang untuk memberikan pelatihan dan sertifikasi bagi mediator, serta menyusun kode etik mediator, di samping berkewajiban memberikan bimbingan yang berkesinambungan dan menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran kode etik. Karena salah satu faktor penentu seseorang memilih mediasi adalah sifatnya yang tidak memihak, maka lembaga mediasi yang tepat seyogianya bersifat independen, di luar pemerintah, atau tidak berafiliasi dengan pemerintah.[27]

Penutup
Memperhatikan semakin banyaknya masalah-masalah sengketa tanah yang berkepanjangan dan penggunaan lembaga peradilan kerapkali menyisakan banyak kekurangan/kelemahan, serta adanya kebutuhan untuk memperoleh penyelesaian sengketa yang efektif, efisien dan tidak memihak, maka penerapan mekanisme ADR/APS nampaknya merupakan solusi alternatif dalam mengatasi sengketa pertanahan sekaligus sebagai salah satu bentuk jaminan kepastian dan perlindungan hukum.
Mengingat bahwa bangsa Indonesia terkenal dengan penyelesaian masalah melalui musyawarah untuk mencapai mufakat, kiranya pemanfaatan lembaga mediasi sebagai ADP/APS dapat merupakan alternatif yang berdampak positif untuk penyelesaian sengketa pertanahan dalam perspektif hukum tanah nasional. Untuk itu, gagasan pembentukan lembaga mediasi sudah saatnya diwujudkan.

Catatan/End Note
[1] Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 81.
[2] Hal ini terbukti dengan banyaknya masalah tanah yang muncul dimana-mana, baik sengketa tanah, penggusuran tanah, pembebasan tanah yang tidak tuntas, pendudukan secara liar tanah milik orang lain maupun milik pemerintah, dan pemilikan tnah secara berlebihan dan sebagainya. Sehingga ada kesan bahwa peraturan-peraturan hukum pertanahan itu mengalami kemacetan dan belum dapat dilaksanakan sebagaimana diharapkan semula sedang jika dapat dilaksanakan hanya untuk daerah tertentu saja, Lihat, Y.W. Sunindhia & Ninik Widiyanti, Pembaharuan Hukum Agraria (Beberapa Pemikiran), Bina Aksara, Jakarta, 1988, hlm. v.
[3] Bagi Indonesia yang memiliki perekonomian bersifat terbuka akan terpengaruh oleh prinsip perekonomian global dan prinsip liberalisasi perdagangan. Perekonomian Indonesia akan berhadapan dengan perekonomian negara lain atau mitra dagang Indonesia seperti ekspor-impor; investasi, baik yang bersifat investasi langsung maupun tidak langsung; serta pinjam-meminjam. Pengaruh perekonomian ini menjadi tantangan bagi perumusan kebijaksanaan nasional, dunia ekonomi, dan pelaku ekonomi.
[4] Perundangan sektoral terkait dengan tanah sebagai objeknya adalah : UU Pokok Kehutanan No.5/1967 yang kemudian diperbaharui dengan UU Kehutanan No. 41/1999, UU Pokok Pertambangan No. 11/1967, UU Pertambangan Minyak dan Gas Bumi No. 44/1960, UU Transmigrasi No. 3/1972 kemudian diperbaharui dengan UU No. 15/1997, UU Pengairan no. 11/1974, UU Pemerintahan Desa No. 5/1975, UU Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 4/1982 diperbaharui kembali menjadi UU No. 23/1997, UU Rumah Susun No. 16/1985, UU Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem No. 5/1990, UU Penataan Ruang No. 24/1992 dan yang terakhir adalah pasangan UU Pemerintah Daerah (otonomi) No. 22/1999 dan UU Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah No. 25/1999.
[5] Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia (LPHI), Jakarta, 2005, hlm. 370.
[6] Untuk Indonesia, sengketa perdata berkenaan dengan tanah sudah memperoleh tempat penyelesaian melalui peradilan umum dalam hal pihak yang bersengketa adalah orang atau badan hukum atau antara orang atau badan hukum dengan pemerintah; dan untuk sengketa mengenai pertanahan antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, maka diselesaikan dalam lingkup peradilan tata usaha negara. Lihat Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Edisi Revisi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta 2006, hlm. 193.
[7] Abdurrahman, Beberapa Aspek Tentang Hukum Agraria, Seri Hukum Agraria V, Alumni, Bandung, 1983, hlm. 1.
[8] Y.W. Sunindhia & Ninik Widiyanti, op.cit., hlm. 20
[9] Maria S.W. Sumardjono, op.cit., hlm. 189. Lihat juga Arie S. Hutagalung, loc.cit.
[10] Ibid., hlm. 190.
[11] Arie S. Hutagalung, loc.cit.
[12] Sebagai social asset, tanah di kalangan masyarakat (masyarakat hukum adat) Indonesia merupakan sarana pengikat kesatuan sosial untuk hidup dan berkehidupan di atas tanah. Sebagai capital asset, tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan ekonomi. Hermayulis, Aspek-Aspek Hukum Hak Pakai Atas tanah Negara Sebagai Objek Jaminan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 10/2000, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis (YPHB), Jakarta, 2000, hlm. 49.
[13] Lihat dalam bagian Berpendapat huruf c UUPA
[14] Penjelasan Keppress No. 55/1993.
[15] Pengusaan tanah secara illegal biasanya merupakan tanah yang dikuasai oleh masyarakat yang tidak disadari yang diperolehnya melalui pembayaran kepada pihak yang menguasai tanah yang bersangkutan sebelumnya. Mereka merasa mengoper hak garap secara legal. Karena tidak jarang perolehannya dilakukan secara tertulis, yang diketahui oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat.
[16] Dalam hukum adat dan UUPA menganut asas pemisahan horisontal. Berdasarkan asas pemisahan horisontal itu pemilikan atas tanah dan benda atau segala sesuatu yang berada di atas tanah itu adalah terpisah. Asas pemisahan horisontal memisahkan hak atas tanah dari segala sesuatu yang melekat padanya. Lihat Djuhaendah Hasan, op.cit., hlm. 76.
[17] Arie S. Hutagalung, op.cit., hlm. 372.
[18] Imamulhadi, Penyelesaian Sengketa dalam Perdagangan Secara Elektronik, artikel dalam Cyber Law; Suatu Pengantar, ELIPS Project, Jakarta, 2002, hlm. 80. Bandingkan dengan Suyud Margono, op.cit., hlm. 65.
[19] Secara teoritis hal itu dapat dimungkinkan dengan melihat yurisprudensi di mana di masa yang lalu pernah dibentuk Pengadilan Ekonomi sebagai konsekuensi diterbitkannya UU No. 7/Drt/Tahun 1995 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pengadilan Tindak Pidana Ekonomi (ditetapkan menjadi undang-undang dengan UU No. 1 Tahun 1961). Lihat Maria S.W. Sumardjono, op.cit., hlm. 194.
[20] Ibid., hlm. 193.
[21] Arie S. Hutagalung, op.cit., hlm. 376.
[22] Lihat Suyud Margono, op.cit., hlm. 59.
[23] Maria S.W. Sumardjono, op.cit., hlm. 196.
[24] Ibid., hlm. 199.
[25] Suyud Margono, op.cit., hlm. 60. Lihat juga E. Saefullah Wiradipradja, op.cit., hlm. 6
[26] E. Saefullah Wiradipradja, loc.cit. bandingkan dengan pendapat Astor & Chinkin dalam Maria S.W. Sumardjono. loc.cit
[27] Maria S.W. Sumardjono, Ibid.
[28] Ibid., hlm 200.

Daftar Pustaka
Abdurrahman, Beberapa Aspek Tentang Hukum Agraria, Seri Hukum Agraria V, Alumni, Bandung, 1983.
Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia (LPHI), Jakarta, 2005.
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah Nasional, Edisi Revisi, Djambatan, Jakarta, 2005.
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.
E. Saefullah Wiradipradja, Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase Sebagai Cara Penyelesaian Sengketa Dalam Bisnis Nasional dan Internasional, Jurnal Hukum Internasional Unpad, Vol. 2 No. 1, April 2003, Bandung, 2003.
Hermayulis, Aspek-Aspek Hukum Hak Pakai Atas tanah Negara Sebagai Objek Jaminan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 10/2000, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis (YPHB), Jakarta, 2000.
Imamulhadi, Penyelesaian Sengketa dalam Perdagangan Secara Elektronik, Artikel dalam Cyber Law; Suatu Pengantar, ELIPS Project, Jakarta, 2002.
Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Edisi Revisi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta 2006.
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa : Suatu Pengantar, Fikahati Aneska kerja sama dengan BANI, Jakarta, 2002.
Suyud Margono, ADR & Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000.
Y.W. Sunindhia & Ninik Widiyanti, Pembaharuan Hukum Agraria (Beberapa Pemikiran), Bina Aksara, Jakarta, 1988.

MEMBANGUN PERPAJAKAN YANG DEMOKRATIS

Pendahuluan
Negara Indonesia merupakan bagian dari negara besar di dunia yang struktur ekonominya bisa dikatakan sangat timpang. Hal ini disebabkan basis ekonomi Indonesia yang strategis dimonopoli oleh kalangan feodalistik-tradisional dan masyarakat modern kapitalis yang menerapkan prinsip ekonomi konvensional.[1] Kondisi ini telah menciptakan suatu kesenjangan yang teramat dasyhat dimana sebagian orang membumbung di atas dengan hasil kekayaan yang dikuasainya, sementara sebagian yang lain justru terperosok ke dalam kubang kemelaratan yang dideritanya. Selain itu, munculnya masyarakat modern yang diuntungkan oleh sistem ekonomi dan perbankan, telah menyebabkan ketimpangan persaingan ekonomi semakin menajam. Dalam hal ini, pihak-pihak yang memiliki sumber daya manusia dan modal yang kuat akan sangat diuntungkan, sedangkan rakyat kecil dengan sumber daya manusia yang lemah dan modal serta akses yang sangat minim yang menjadi korbannya dan atau hanya bisa jadi penonton di negerinya sendiri.
Selama lebih setengah abad bangsa Indonesia menerapkan kebijakan ekonomi yang jauh dari semangat kerakyatan. Hal itu dapat dilihat dari kebijakan pemerintah Orde Baru yang terlalu mengutamakan dan mengistimewakan segelintir kelompok pengusaha besar yang diberi kesempatan seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya untuk mengembangkan usahanya. Pertumbuhan ekonomi pun digenjot. Mereka diberi kemudahan dan fasilitas untuk melakukan ekspansi bisnis. Kredit-kredit milyaran bahkan triliunan rupiah dikucurkan pada mereka tanpa agunan. Di samping itu, para konglomerat memonopoli komoditas-komoditas tertentu yang dibutuhkan orang banyak. Namun sejalan dengan fakta kesejarahan, strategi pembangunan ekonomi Rostow yang dianut oleh Indonesia dengan paradigma trickle down effect ternyata hanya membuahkan kegagalan
Sungguh merupakan suatu fenomena yang tragis ditengah hiruk pikuknya perkembangan ekonomi yang saat ini telah masuk dalam suatu gejala mondial di mana saat ini dunia berada dalam posisi tanpa tapal batas. Padahal untuk memperbaiki kondisi perekonomian yang timpang ini, tidak hanya sekedar mendorong segelintir pelaku usaha untuk terus melakukan pemupukan terhadap kekayaannya, akan tetapi yang terpenting adalah bagaimana mendistribusikannya secara optimal. Dengan kata lain, pendistribusian pendapatan secara adil dan merata adalah cara yang paling efektif untuk mencapai peningkatan pendapatan secara simultan di kalangan lapisan masyarakat. Sebab, produksi kekayaan yang meningkat tidak akan bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi masyarakat jika tidak diimbangi dengan pendistribusiannya.
Dari sinilah, pajak dipandang memiliki potensi strategis sebagai salah satu instrumen penting dalam upaya pemerataan pendapatan yang berkeadilan pada semua level komponen bangsa, sehingga dapat memperkuat basis ekonomi nasional khususnya ekonomi rakyat. Pajak sebagai bentuk kontrak sosial antara rakyat dengan negara, menempati posisi sentral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai wahana untuk menyeimbangkan simpul-simpul politik, ekonomi, dan sosial yang berserakan dalam masyarakat. Dengan pajak yang dipungut dari rakyat yang memiliki kewajiban membayar pajak, negara kemudian membuat proyek kemaslahatan umum yang bernuansa sosial, ekonomi, politik, dan budaya dalam rangka peningkatan kesejahteraan bangsa.
Memang pajak merupakan hal penting dalam urusan bernegara, sebab dengan pajak itulah distribusi keadilan sosial dapat dilakukan. Negara dengan pajak akan dapat mengurangi tingkat kecemburuan sosial warga negara yang tidak memiliki sumber-sumber ekonomi yang memadai. Oleh karena itu, negara dalam konteks yang lebih luas harus memainkan peran-peran penting dalam rangka mengangkat keterpurukan bangsa untuk memberikan substansi kemerdekaan baru bagi kemanusiaan yang berprespektif keadilan, memperbaiki infrastruktur sosial yang saat ini telah carut marut akibat tsunami ekonomi dan memperbaiki ekonomi masyarakat yang pada tataran kekinian telah diambang yang cukup memprihatinkan akibat adanya ketimpangan kekuatan struktur ekonomi masyarakat.
Dalam konteks ketata-negaraan, suatu proses perubahan yang terjadi baru bermanfaat secara sosial, ekonomi, politik dan budaya bagi rakyat kebanyakan, kalau negara memberikan pelayanan dan pembangunan yang merata tanpa pilih kasih. Walaupun pendekatan prioritas kerap selektif untuk suatu kebijakan politik tetap diperhitungkan, namun kebijakan dimaksud tetap berorientasi kemanusiaan secara menyeluruh, sehingga dengan begitu akan memberikan dampak sosial yang positif bagi akomodasi simpul-simpul kultural dan daya kohesi dan agregasi sosial menjadi kuat.
Reformasi yang telah berlangsung mestinya memberikan arah yang jelas bagi pembangunan kembali simpul-simpul sosial kultural. Reformasi itu sendiri belum memberikan kontribusi realnya atas bangunan sosial yang dimaksud, bahkan reformasi yang telah berumur sewindu ini mengukuhkan praktek politik kaum elite yang cenderung korup, manipulatif dan jauh dari semangat demokratis yang menjadi cita-cita dasar reformasi. Justru eforia reformasi yang hampir didengungkan dan cukup menguras energi berpikir pada semua level kehidupan demokrasi, saat ini dianggap telah kehilangan kendali, kebablasan dan jauh dari oerientasi serta semangat yang melatar belakangi reformasi tersebut digulirkan oleh elemen kritis bangsa.
Di tengah kondisi politik demikian, praktik perpajakan yang agak “krodit” harus menyadari akan adanya impact dari perubahan yang saat ini terus berlangsung. Kalau pajak masih dikelola dengan cara-cara lama, maka akan memperoleh berbagai tekanan dari kalangan sosial politik. Oleh karena itu, dalam rangka pendistribusian kekayaan dalam perspektif keadilan, pajak harus dikelola menurut standar dan aturan yang lebih terbuka dan demokratis.
Agenda bangsa yang menyangkut reorientasi pajak agar menjadi demokratis yang merupakan keinginan banyak orang menjadi penting untuk segera dilakukan. Tanpa melakukan perbaikan dalam konteks perubahan tersebut, pajak dengan berbagai dinamikanya akan dirombak oleh mesin perubahan yang siap sedia untuk memperbaikinya.
Cara-cara pengelolaan pajak yang penuh bias dan cenderung menyimpang harus segera ditinggalkan dengan melakukan perbaikan internal pajak menuju good governance. Sungguh pun begitu, kalangan pajak sendiri harus ditekan oleh kekuatan negara agar mereka yang diberi tugas mengelola sumber keuangan negara tersebut dapat menunjukkan perilaku yang demokratis.
Pajak Dan Potret Ekonomi Indonesia
Pada saat ini, bangsa Indonesia sedang menjalankan reformasi ekonomi sebagai bentuk usaha pemulihan akibat tsunami ekonomi yang secara riil telah mengganggu sedemikian hebatnya terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Walaupun telah berjalan dalam kurun waktu yang cukup lama dan juga sejalan dengan silih bergantinya rezim kekuasaan, namun kelihatannya, pelaksanaan dan hasilnya masih jauh dari harapan.
Dalam pandangan Sri Adiningsih, faktor non ekonomi baik sosial, politik dan keamanan yang mulai memanas akhir-akhir ini membuat masalah dan tantangan yang harus dihadapi dalam melaksanakan restrukturisasi ekonomi meningkat. Demikian juga sektor eksternal (internasional) yang negatif sebagai akibat pertumbuhan ekonomi dunia yang menurun yang diindikasikan dengan semakin tingginya harga minyak dunia, dikhawatirkan akan membuat proses pemulihan ekonomi yang pada saat ini menunjukkan grafik peningkatan yang cukup baik nampaknya menjadi agak tergangu. Meskipun benar bahwa ekonomi dan ekspor tumbuh secara signifikan, namun demikian belum dapat mampu membangun fondasi ekonomi yang kuat, sehingga memanasnya perkembangan non ekonomi telah membuat ekonomi mudah terperosok. Sementara itu lemahnya koordinasi dan tidak adanya konsistensi dalam pengambilan kebijakan ekonomi telah membuat kepercayaan pada perekonomian Indonesia agak menurun. [2]
Meski pemerintah yang berkuasa saat ini memiliki legitimasi yang kuat dari rakyat, namun merosotnya kepercayaan masyarakat dan pasar terhadap otoritas ekonomi Indonesia membuat sulit bagi Indonesia untuk menarik investor yang diharapkan dapat menggairahkan kembali kinerja ekonomi. Apalagi pada saat ini masalah penegakan hukum dan good governance masih merupakan isu penting yang belum dapat terselesaikan. Persoalan hutang negara baik domestik maupun internasional yang semakin meningkat dengan signifikan telah membuat struktur APBN menjadi agak timpang akibat defisit anggaran yang dari tahun ke tahun tak kunjung terselesaikan.
Dalam kaitannya dengan invetasi, Umar Juaro sebagai seorang pakar ekonomi memberikan pendapatnya bahwa pertumbuhan investasi sekalipun kelihatannya tinggi, namun ini disebabkan karena mulai dengan dasar yang sangat rendah dan secara absolut tingkat investasi masih jauh dibandingkan dengan masa sebelum krisis melanda Indonesia. Perusahaan yang melakukan investasi pada umumnya melakukannya dengan mengandalkan sumber dana internal, atau mereka menunda pembayaran hutang dan dananya digunakan untuk investasi.[3] Pada sisi lain, menurut Bomer Pasaribu, faktor non ekonomi banyak mempengaruhi proses keberlanjutan “loss of market confidance”. Ketidakamanan dalam berinvestasi dan lemahnya supremasi hukum serta parahnya praktek kolusi, korupsi dan nepotisme membuat ketidakpercayaan pihak luar negeri untuk berinvestasi di Indonesia. [4]
Akumulasi keadaan tersebut telah menyebabkan Indonesia dilanda oleh berkembangnya black economy yang meliputi kolusi, korupsi, kronisme, dan nepotisme, penyelundupan ke dalam dan luar negeri, maraknya kriminalisasi, berkembangnya bisnis narkoba dan money laundering, meningkatnya pemalsuan dan pembajakan, pungutan liar, pelacuran, maraknya pronografi dan pornoaksi, dan timbulnya “geng-geng mafia” yang di luar kontrol pemerintah. Kegiatan black economy di Indonesia diperkirakan secara kasar di atas 35%. Hal ini menyebabkan rendahnya rasio penerimaan pajak di Indonesia.[5]
Lebih lanjut, Endin AJ. Soefihara mengingatkan bahwa disadari atau tidak, beban fiskal (anggaran) pemerintah dalam beberapa tahun mendatang akan semakin berat, yang diakibatkan oleh menumpuknya utang luar negari (tahun 2004, 71.64 triliun) dan utang domestik (tahun 2004, 102.38 triliun) yang nilainya sudah sangat besar. Beban utang ini bahkan telah menyita sebagian besar pengeluaran pemerintah.[6]
Pos pengeluaran yang akan mengalami perubahan setidaknya meliputi empat hal yakni, pos pembayaran utang luar negeri, pembayaran obligasi rekapitulasi dan pos pengeluaran subsudi BBM serta pos dana tanggap darurat untuk penanganan bencana alam. Sementara itu dari sisi penerimaan, baik pos penerimaan migas maupun diluar penerimaan migas diperkirakan juga mengalami perubahan. Penerimaan dari pajak juga akan dipengaruhi oleh kebijakan seputar restrukturisasi perusahaan yang meminta insentif pajak.[7] Dengan kondisi ruang gerak fiskal pemerintah yang semakin terbatas, tidak ada jalan lain kecuali antara lain melakukan inovasi pada penerimaan dari sektor pajak.
Meski disadari bahwa masalah dan tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah amat berat, namun demikian bangsa Indonesia sebenarnya memiliki modal besar0 yang dapat digunakan untuk membangun Indonesia dan menggapai tujuan kemerdekaan bangsa Indonesia yakni mencapai masyarakat adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia yang tentunya merupakan amanat bagi kita untuk menjalankannya.
Dalam konteks ini, agenda penting yang harus segera dilakukan oleh bangsa Indonesia adalah melakukan reorientasi penguatan perpajakan yang demokratis dan berkeadilan. Pengelolaan perpajakan yang berwajah demokratis dan berkeadilan ini dilakukan dalam rangka menyokong penguatan ekonomi agar supaya ekonomi Indonesia tidak terjebak ke dalam debt trap dan juga asset dan kewajiban negara dapat dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkelanjutan dan berkeadilan sosial. Dengan demikian, gendering reformasi ekonomi yang telah digulirkan bangsa ini, diharapkan selain dapat memulihkan ekonomi juga dapat mencapai cita-cita bangsa Indonesia tersebut diantaranya dengan membangun perekonomian yang memiliki daya tahan yang kuat (sehat) dan memiliki daya saing yang tinggi pada tingkat internasional.
Apa yang disinyalir Bomer Pasaribu dengan berkembangnya black market meliputi kolusi, korupsi, kronisme, dan nepotisme, penyelundupan ke dalam dan luar negeri, maraknya kriminalisasi, berkembangnya bisnis narkoba dan money laundering, meningkatnya pemalsuan dan pembajakan, pungutan liar, pelacuran, maraknya pronografi dan pornoaksi, dan timbulnya “geng-geng mafia” yang di luar kontrol pemerintah,[7] yang diduga sebagai penyebab rendahnya rasio penerimaan pajak di Indonesia, oleh pemerintah perlu segera diantisipasi dengan serius. Produk regulasi yang menyangkut perang melawan kejahatan black market harus segera dan secara konsisten diterapkan. Jika tidak, reformasi ekonomi yang sedang kita lakukan hingga saat ini tidak akan tercapai secara optimal, yang pada akhirnya juga akan sangat menggangu struktur penerimaan negara dalam melakukan pembiayaan proyek-proyek sosial kemasyarakat sebagai bentuk komitmen kontrak sosial antara negara dan rakyat.
Berangkat dari fenomena ekonomi dan krisis fiskal yang dialami bangsa Indonesia saat ini, tepatlah jika keputusan pemerintah untuk mengubah kebijakan anggaran dari yang berbasis resources ke anggaran yang berbasis pajak. Sebab sumber daya alam yang kita miliki seperti migas, selain dipengaruhi oleh faktor persediaan yang nilainya semakin menipis juga sangat tergantung kepada pembentukan harga pasar internasional yang sangat fluktuatif. Artinya, situasi tersebut sangat sulit untuk dijadikan referensi ketika kita berketetapan membangun anggaran yang stabil dan dinamis. Untuk itu, sudah saatnya sekarang praktik perpajakan Indonesia dikelola sesuai dengan konteks tuntutan perubahan yang mencerminkan semangat berbangsa dan bernegara yang berjiwa demokratis.
Potret Perpajakan Yang Demokratis
Dalam suatu negara, pajak merupakan sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya. Salah satu pembiayaan negara yang penting dalam hal ini adalah pembangunan sosial kemanusiaan, selain pembiayaan lainnya. Oleh karena itu, pemerintah dengan kekuasaan yang dimilikinya akan berusaha untuk memaksimalkan penerimaan dari sektor pajak. Dalam teori negara, bahwa negara melakukan fungsinya untuk melayani kebutuhan masyarakat, tidak untuk kepentingan pribadi. Maka kepentingan umum didahulukan atas kepentingan pribadi dan golongan. Dengan luasnya medan tanggung jawab negara, maka negara membutuhkan dukungan finansial dari rakyat. Untuk itu, negara dituntut membuat ketentuan yang akan dijadikan pijakan untuk mengimbangi ketimpangan sosial dalam masyarakat dengan pajak.
Tegasnya, negara punya beban sosial kemanusiaan dan untuk memenuhinya negara membuat ketentuan untuk mewajibkan warga negara atas dasar kedaulatan menanggung pembiayaan pembangunan tersebut sesuai dengan kemampuan. Kerelaan rakyat membayar pajak sesungguhnya bagian dari komitmen rakyat untuk menciptakan keseimbangan dan keadilan sosial dalam masyarakat, itulah yang menjadi inti dari makna sosial pajak. Dalam hal ini, negara membatasi yang kuat dengan diwajibkan membayar pajak dan melindungi yang lemah dengan mendistribusikan uang pajak kepada mereka yang lemah ini secara merata dan berkeadilan.
Hal ini bertitik tolak dari dasar pemikiran bahwa penentu kebijakan publik berusaha untuk memaksimalkan penerimaan pajak yang dapat ditarik dari sektor swasta. Akan tetapi, menurut Buchanan dan Milton Friedmen sebagaimana dikutip oleh Philippe Vitu menyatakan bahwa dalam suatu negara yang demokratis dan berasaskan hukum, kekuasaan untuk mengenakan pajak tidak boleh bersifat tidak terbatas, atau dengan kata lain kekuasaan untuk mengenakan pajak harus dibatasi (limits on the taxing power) melalui undang-undang.[9]
Secara umum, pembatasan tersebut mengacu kepada prinsip-prinsip ajaran Adam Smith yaitu dikenakan sesuai dengan kemampuan membayar (equality); harus mempunyai kepastian hukum (certainty); dikenakan pada saat yang tidak menyulitkan (convenience); dan biaya pemungutan pajak dan pemenuhan kewajiban pajak seminimal mungkin (economy). Lebih lanjut Mansury menjelaskan, prinsip certainty (kepastian) tersebut harus dihubungkan dengan empat hal yakni : 1) harus pasti “siapa-siapa” yang harus dikenakan pajak; 2) harus pasti “apa” yang menjadi dasar untuk mengenakan pajak; 3) harus pasti “berapa” jumlah pajak yang harus dibayar; dan 4) harus pasti “bagaimana” cara membayarnya.[10] Frans Vanistendael juga menyatakan bahwa kekuasaan untuk mengenakan pajak harus dibatasi, antara lain dengan prinsip keadilan, kesetaraan antara aparat pajak dan Wajib Pajak, pajak harus dikenakan atas dasar kemampuan Wajib Pajak (ability to pay) dan ketentuan pajak tidak boleh berlaku surut.[11]
Selain itu, pajak juga harus dikelola oleh negara dengan jelas dan pasti, tidak boleh ada keraguan dalam pengelolaan pajak, sebab tanpa kepastian tentulah akan mengganggu jalannya pemerintahan terutama fungsi negara untuk menjamin keadilan dan kesejahteraan warga melalui distribusi pajak. Melalui distribusi pajak yang meratalah akan dapat mengurangi kesenjangan sosial dalam masyarakat, dengan begitu pajak akan meningkatkan taraf hidup rakyat ekonomi lemah.
Karena pajak merupakan kontak sosial antara rakyat dan negara, maka pajak menjelma sebagai sarana komunikasi antara rakyat yang memiliki sejumlah kelebihan harta dengan komponen masyarakat lain yang akan memperoleh keadilan ekonomi melalui lembaga negara. Dalam beberapa segmen, rakyat selalu menjadi bagian dari pengelolaan negara, artinya negara dapat tegak oleh karena adanya rakyat dan rakyat membutuhkan negara untuk mengatur dan mengelola kehidupan menjadi lebih bermoral dan beradab.
Dalam beberapa literatur pajak terdapat adagium yang mengatakan “no tax representation” yang maksudnya tiada perwakilan (di perlemen dalam kegiatan politik) tanpa membayar pajak. Adagium ini mencoba mencari benang merah antara kegiatan demokrasi dengan hak untuk membayar pajak. Kalau masyarakat ingin berdemokrasi dengan baik dan melaksanakan hak-hak politiknya, biaya demokrasi yang terjadi karena kegiatan dimaksud harus dapat ditutupi dari pembayaran pajak para anggota masyarakat. Adagium ini dapat dijelaskan dengan suatu persepsi bahwa negara mempunyai kewenangan memungut pajak dari rakyat yang dijalankan menurut aturan dan norma yang telah ditentukan secara bersama melalui proses politik oleh wakil rakyat dan pemerintah.
Dalam perspektif teori negara, bahwa pemerintah yang sah adalah pemerintah yang memperoleh legitimasi politik dari rakyat, artinya rakyat telah memberikan persetujuan politik kepada rezim yang berkuasa. Atas persetujuan atau legitimasi yang telah diberikan rakyat, maka negara harus menunaikan kewajibannya untuk memberikan jaminan sosial yang adil kepada rakyat, dapat melindungi yang lemah dan membatasi yang kuat sebagai upaya untuk mewujudkan suatu keteraturan sosial.
Untuk mewujudkan keseimbangan sosial yang adil tersebut, pemerintah dengan perangkat hukum yang tersedia berhak memungut pajak kepada rakyat dalam rangka melindungi yang lemah dan membatasi dominasi yang kuat. Pajak menjadi alat bagi negara untuk menciptakan keseimbangan sosial yang merata, sekalipun kadar pemerataan itu bersifat relatif dan temporal.
Upaya untuk memberikan warna demokrasi dalam sistem perpajakan nasional telah dilakukan oleh pemerintah dengan dikeluarkannya peraturan tentang pajak dan desentralisasi fiskal, dimana publik wajib pajak memiliki ruang untuk terlibat dalam proses pemanfaatan pajak. Keterlibatan masyarakat dalam proses kebijakan perpajakan menjadi sangat penting, karena selain dapat mengeliminasi potensi konflik[12] juga dapat meningkatkan kepatuhan sukarela masyarakat secara kolektif. Masyarakat mempunyai hak politik dalam setiap proses politik yang diselenggarakan negara terutama yang menyangkut masyarakat itu sendiri, karena pada dasarnya setiap individu mempunyai hak kebebasan dan mempunyai kedudukan setara dalam hal hak dan kewajiban.
Secara substansi, demokrasi mengandung makna kesetaraan dan partisipasi. Oleh karena itu, demokrasi perpajakan dapat dimaknai sebagai terbangunnya sistem perpajakan yang menggambarkan adanya kesetaraan antara pemerintah dan masyarakat pembayar pajak, sehingga memungkinkan munculnya partisipasi masyarakat, sejak dari proses pembuatan kebijakan pajak, pengumpulan pajak dan pemanfaatan uang pajak. Membangun wajah perpajakan yang demokratis dan berkeadilan mengandung makna adanya proses akuntabilitas atas pemungutan pajak oleh negara kepada rakyat yang telah merelakan untuk membayar pajak. Di samping itu juga, harus mencerminkan prinsip keterbukaan dalam pengelolaan uang rakyat, yang diatur dalam karidor hukum pajak yang resposif terhadap tumbuh kembangnya demokrasi perpajakan.
Pada tataran yang demikian, perwujudan demokratisasi dalam pengelolaan pajak harus mencakup hal-hal sebagai berikut :[13]
  1. Terdapatnya mekanisme perpajakan yang dapat mengatasi konflik kepentingan antara wajib pajak dan pemerintah;
  2. Adanya ruang yang memadai bagi partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan perpajakan;
  3. Terdapatnya perundang-undangan perpajakan yang mencerminkan adanya kesetaraan hukum antara wajib pajak dan pemerintah; dan
  4. Terdapatnya perubahan pemusatan kekuasaan dari penguasa kepada rakyat yang ditandai oleh adanya akses masyarakat terhadap pengawasan pengelolaan uang pajak.

Menurut Edi Slamet Irianto, demokratisasi perpajakan akan sangat ditentukan oleh tersedianya produk hukum yang mengaturnya serta adanya political will dari pemerintah untuk menjalankan aturan hukum yang tersedia. Produk hukum yang mendukung demokrasi fiskal sudah tersedia, meskipun belum memadai untuk mendorong demokratisasi fiskal yang selama ini terpusat pada pemerintah, namun aturan hukum yang sudah ada mestinya dijalankan sesuai semangat demokrasi, transparansi dan efisien.[14]
Dengan menggunakan standar demokrasi, mestinya rakyat yang berdaulat, artinya rakyat diasumsikan paling sedikit atau sama kuat dari negara (Pemerintah). Pajak umpamanya, harus diposisikan sebagai dimensi dimana rakyat berkuasa dan pemerintah “ditugaskan” oleh rakyat untuk memungut uang pajak dalam kerangka peningkatan demokrasi. Demokrasi perpajakan didasarkan kepada kekuatan politik nyata antara pemerintah dengan rakyat,hal ini memiliki akar demokrasi pada pada struktur masyarakat bangsa. sekalipun rakyat sama atau lebih kuat dari pemrintah, tetap tidak selalu melahirkan sikap mencerminkan semagat demokrasi yang dimaksud, tetapi syarat utamanya sudah menampakkan wajahnya yakni demokrasi politik.
Demokrasi perpajakan akan sangat mungkin berkembang dimasa depan, apabila didukung oleh demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Asumsi yang dapat digunakan dalam melihat hal ini adalah, pajak merupakan salah satu bagian dari sistem ekonomi nasional berhubungan erat dengan demokrasi politik. Demokrasi biasa dipahami sebagai hasil dari perkembangan pasar bebas (liberalisasi) yang dijalankan oleh sistem ekonomi kapitalis. Dengan begitu, kalau mau terjadi proses demokrasi perpajakan berlangsung, maka syaratnya adalah mendorong kelembagaan politik dan birokrasi agar memenuhi kaedah-kaedah dan prinsip-prinsip demokrasi yang berkembang dalam pasar politik, mengikat demokrasi yang modern mengikuti perkembangan pasar global.
Dalam perspektif yang demikian, maka pengelolaan pajak harus mencerminkan prinsip-prinsip good governance, sebagai sebuah sikap demokratisasi yang inheran dengan tuntutan global. Setelah perekonomian Indonesia mengalami “meltdown” dibakar krisis moneter, isu-isu yang menyangkut Good Corporate and Public Governance yang telah lama terpendam, akhirnya naik kepermukaan dan makin santer didengungkan oleh masyarakat luas, baik yang tersurat maupun tersirat.
Masyarakat merasa bahwa selama organisasi privat dan publik tidak distrukturkan, dioperasikan dan dikendalikan sesuai dengan prinsip-prinsip Good Corporate and Public Governance, sehingga setelah gagal total untuk mencapai sasaran strategis jangka panjang sebagaimana semestinya, karena tidak mampu menciptakan hubungan-hubungan yang serasi dan selaras di antara kelompok-kelompok kepentingan (stakeholders) dalam masyarakat.
Tidaklah mengherankan jika dalam laporan tentang Corporate Governance oleh CLSA tahun 2003 menempatkan Indonesia di urutan terbawah dengan skor 1,5 untuk masalah penegakan hukum; 2,5 untuk mekanisme institusional dan budaya Corporate Governance; dengan total skor 3,2. Meski Indonesia dengan skor 4 di tahun 2004 lebih baik dibanding 2003 dan terus membaik pada tahun selanjutnya, namun kenyataan masih tetap berada di urutan terbawah di antara negara-negara Asia. Faktor penyebab rendahnya kinerja Indonesia adalah penegakan hukum dan budaya Corporate Governance masih berada di titik paling rendah di antara negara-negara lain yang sedang tumbuh di Asia.
Menurut pandangan Wahjudi Prakarsa, sesungguhnya tuntutan tersebut bukan merupakan monopoli Indonesia, tapi telah meluas secara universal ke seluruh dunia setelah berakhirnya perang dingin. Tuntutan yang makin eksplosif tersebut timbul sebagai akibat dari : pertama, perubahan konstelasi perpolitikan global dari era geopolitik menuju era geoekonomi; kedua, akselerasi peningkatan peran sektor privat dalam era globalisasi; ketiga, interdependensi antar perusahaan maupun antar negara yang semakin meluas dalam era revolusi informasi; dan keempat, lingkungan persaingan yang makin turbulen.[15]
Kegagalan dalam soal demokratisasi perpajakan lebih banyak dipengaruhi persoalan pengelolaan pajak yang tidak mencerminkan nilai-nilai demokrasi. Hal itu dapat ditengok dari produk hukum perpajakan yang kurang mencerminkan semangat transparansi dan demokratis. Undang-undang yang dihasilkan sanagt ambigu, tidak tegas dan jelas, akibatnya pengelolaan pajak masih bersifat parsial dan temporal. Pajak hanya dilekatkan kepada kewajiban rakyat sebagai pembayar pajak, sementara negara dengan otoritas yang dilegitimasi oleh idiologi (UU dan berbagai peraturan lainnya) masih menyisakan berbagai persoalan yang berkenaan dengan kepentingan rakyat.
Dalam perspektif demokrasi, rakyat memiliki posisi strategis karena dalam sistem demokrasi rakyatlah pemegang kekuasaan tertinggi. Oleh karena itu, sewajarnya bila rakyat ikut terlibat dalam berbagai tingkatan proses pengelolaan pajak. Tentu dalam hal ini rakyat harus ditempatkan pada posisi, bahwa kontrol rakyat atas keuangan perpajakan dimaknai sebagai hak yang perlu diakomodasi oleh negara. Memang pajak merupakan salah satu sumber keuangan negara yang mesti dikelola secara maksimal dan menurut prinsip-prinsip keadilan, kejujuran, akuntabel dan transparan.
Kontrol rakyat terhadap pengelolaan negara merupakan salah satu syarat lain dari proses menuju pada demokratisasi bangsa. Dengan begitu akan dapat mengurangi penyimpangan dan distorsi penggunaan keuangan negara yang bersumber dari pajak. Kontrol rakyat sebagai upaya untuk mengubah perilaku disfungsional atau penyimpangan, bukan untuk memberikan semacam sanksi sosial atau hukuman, tetapi untuk membantu dalam kerangka memperbaiki para pengelola negara agar menuju jalan yang lurus yakni jalan yang diridhoi oleh rakyat sebagai pemegang mandat politik tertinggi dan sekaligus sebagai sumber pembiayaan proyek-proyek sosial kemanusiaan.

Penutup
Produk regulasi yang menyangkut perang melawan kejahatan black market di Indonesia diperkirakan secara kasar di atas 35%, sehingga menyebabkan rendahnya rasio penerimaan pajak di Indonesia, harus segera dan konsisten diterapkan. Agenda penting yang harus segera dilakukan oleh bangsa Indonesia adalah melakukan reorientasi penguatan perpajakan yang demokratis dan berkeadilan. Usaha ini dilakukan dalam rangka menyokong penguatan ekonomi agar supaya ekonomi Indonesia tidak terjebak ke dalam debt trap dan juga asset dan kewajiban negara dapat dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkelanjutan dan berkeadilan sosial.
Dalam perspektif demokrasi, rakyat memiliki posisi strategis karena dalam sistem demokrasi rakyatlah pemegang kekuasaan tertinggi. Oleh karena itu, sewajarnya bila rakyat ikut terlibat dalam berbagai tingkatan proses pengelolaan pajak menurut prinsip-prinsip keadilan, kejujuran, akuntabel dan transparan (good governance). Demokratisasi perpajakan akan sangat ditentukan oleh tersedianya produk hukum yang mengaturnya serta adanya political will dari pemerintah untuk menjalankan aturan hukum yang tersedia.
Sumber daya alam yang kita miliki seperti migas, selain dipengaruhi oleh faktor persediaan yang nilainya semakin menipis juga sangat tergantung kepada pembentukan harga pasar internasional yang sangat fluktuatif. Oleh karena itu, keputusan pemerintah untuk mengubah kebijakan anggaran dari yang berbasis resources ke anggaran yang berbasis pajak, sangatlah tepat.

Catatan/End Fote
[1] Hamzah Haz, Pengatar dalam buku Membangun Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Zakat Harta, Nuansa Madani, Jakarta, 2001.
[2] Sri Adiningsih, Restrukturisasi Ekonomi Dalam Pemulihan Ekonomi Indonesia, Pemulihan Ekonomi dan Otonomi Daerah (Refleksi Pemikiran Partai Golkar), LASPI, Jakarta, 2001. hlm. 54
[3] Umar Juoro, Pemulihan Ekonomi Lambat dan Rentan Terhadap Gejolak Politik, Pemulihan Ekonomi dan Otonomi Daerah (Refleksi Pemikiran Partai Golkar), LASPI, Jakarta, 2001. hlm. 56
[4] Bomer Pasaribu, Perspektif Krisis Indonesia 2001-2003 Menuju Pemulihan Atau Lingkaran Setan, Pemulihan Ekonomi dan Otonomi Daerah (Refleksi Pemikiran Partai Golkar), LASPI, Jakarta, 2001. hlm. 74
[5] Ibid, hal. 75
[6] Endin AJ. Sofihara, Rekonstruksi Masa Depan Indonesia: Perspektif Politik dan Ekonomi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002. hal. 149
[7] Ibid, hal. 156-158
[0] Beberapa modal dasar yang kita miliki untuk membangun Indonesia adalah cukup menyakinkan untuk dapat mencapai cita-cita itu. Fakta bahwa bangsa Indonesia pada dasarnya adalah bangsa besar yang telah terbukti dari sejarah perkembangannya yang sejak dulu kala. Selain itu bangsa Indonesia memiliki tanah air yang luas dan kaya yang tentunya jika dikelola dengan baik dan profesional akan dapat digunakan sebagai modal dalam membangun. Lihat uraian ini dalam tulisan Sri Adiningsih, op.cit., hlm. 53.
[8] Bomer Pasaribu, loc.cit
[9] Darussalam & Danny Septriadi, Membatasi Kekuasaan Untuk Mengenakan Pajak, Grasindo, Jakarta, 2006. hal. 1-2
[10] Mansury, Pajak Penghasilan Lanjutan: Pascareformasi 2000, YP4, Jakarta, 2002, hal. 12
[11] Frans Vanistendael, Legal Framework for Taxation, dalam Thuronyi (ed.), Tax Law Design and Drafting, IMF, 1996, hal. 19-27, dikutip dari Darussalam & Danny Septriadi, Membatasi Kekuasaan Untuk Mengenakan Pajak, Grasindo, Jakarta, 2006. hal. 4
[12] Edi Slamet Irianto & Syarifuddin Jurdi, Politik Perpajakan Membangun Demokrasi Negara, UII Press, Yogjakarta, 2005, hal. 93
[13] Ibid, hal. 94-95
[14] Wahjudi Prakarsa, Corporate Governance: Suatu Keniscayaan, Jurnal Reformasi Ekonomi Vol. 1-No. 2, LSPEU Indonesia, Jakarta, 2000, hal. 20
[15] Ibid, hal. 126

Rujukan :

Bomer Pasaribu, Perspektif Krisis Indonesia 2001-2003 Menuju Pemulihan Atau Lingkaran Setan, Pemulihan Ekonomi dan Otonomi Daerah (Refleksi Pemikiran Partai Golkar), LASPI, Jakarta, 2001
Darussalam & Danny Septriadi, Membatasi Kekuasaan Untuk Mengenakan Pajak, Grasindo, Jakarta, 2006
Edi Slamet Irianto & Syarifuddin Jurdi, Politik Perpajakan Membangun Demokrasi Negara, UII Press, Yogjakarta, 2005
Endin AJ. Sofihara, Rekonstruksi Masa Depan Indonesia: Perspektif Politik dan Ekonomi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002
Mansury, Pajak Penghasilan Lanjutan: Pascareformasi 2000, YP4, Jakarta, 2002
Wahjudi Prakarsa, Corporate Governance: Suatu Keniscayaan, Jurnal Reformasi Ekonomi Vol. 1-No. 2, LSPEU Indonesia, Jakarta, 2000