Senin, 08 Juni 2009

MENGGUGAT EKSISTENSI BUMN DI INDONESIA MENUJU BUMN YANG HANDAL DAN MANDIRI

Pendahuluan
Dalam era reformasi ini, salah satu tantangan mewujudkan pemerintahan yang baik adalah menyangkut masalah pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tuntutan ini adalah wajar, karena berangkat dari pengalaman kesejarahan bangsa Indonesia bahwa selama ini BUMN dikelola secara tidak transparan, kurang profesional, sarat KKN dan jauh dari prinsip good corporate governance (GCG). Kinerja BUMN masih lebih banyak salah urus dari pada yang benar dan secara ekonomi tidak sebanding dengan besar aset yang dimilikinya.
Suatu kenyataan bahwa ternyata BUMN yang diharapkan sebagai motor penggerak pembangunan ekonomi dengan harapan keuntungan besar yang dapat meningkatkan penerimaan negara hanya menghasilkan laba yang rendah bahkan banyak yang merugi. Hal ini disebabkan karena kinerja BUMN belum optimal dan dalam pengelolaannya belum diterapkan secara tegas tentang tata kelola yang baik. Selain itu, pengelolaan BUMN pada umumnya sangat birokratis sehingga ruang gerak BUMN tidak lugas dan kaku, terlalu banyak aturan yang membatasi segala gerak pengembangan, perlu persetujuan menteri dsb,. Keterkaitan BUMN dengan departemen atau instansi sering merupakan kendala dalam pelaksanaan dan efisiensi keuangan serta kinerjanya.[1]
Sebagai entitas bisnis, peran BUMN dapat dikatakan cukup dominan, jumlahnya mencapai ratusan perusahaan dan asetnya secara total mencapai ratusan triliun rupiah dengan ruang lingkup usaha yang rata-rata cukup strategis. Dengan skala usaha seperti itu, tidak heran jika tindak tanduk yang dilakukan BUMN selalu mendapat sorotan tajam masyarakat. Sorotan ini berkaitan dengan timpangnya atau terjadinya gap antara fasilitas yang disandang BUMN dengan harapan masyarakat. Di satu sisi BUMN bergerak dengan dukungan fasilitas penuh baik dari segi modal, perlakuan maupun sektoral, tapi di pihak lain harapan masyarakat untuk memperoleh manfaat besar dari keberadaan BUMN belum dapat diwujudkan secara optimal. Malah tidak jarang yang terjadi justru yang sebaliknya, beberapa BUMN justru menjadi beban masyarakat karena senantiasa menggerogoti anggaran pemerintah.[2]
Di Indonesia peranan BUMN tidak hanya sebatas pengelolaan sumber daya dan produksi barang yang meliputi hajat hidup orang banyak, tetapi juga berbagai kegiatan produksi dan pelayanan yang merupakan porsi swasta. Untuk menjaga stabilitas ekonomi, monopoli atas sumber daya dan kegiatan ekonomi tertentu yang berada di tangan negara. Implikasi dari dominannya peran negara menurut pendapat Ary Suta, menjadikan BUMN terjebak dalam satu kekuasaan birokrasi, yang merupakan kepanjangan tangan dari penguasa baik langsung maupun tidak langsung dan sarat dengan kepentingan politik. Hal ini, salah satu unsur yang membuat BUMN tidak dapat berkembang secara leluasa layaknya badan usaha.[3]
Menurut pendapat Ibrahim bahwa karena berkaitan dengan politik, BUMN merupakan bagian dari birokrasi yang absurditas, yang sering berakibat kepada kepentingan status quo kekuasaan politik, celakanya seperti Indonesia masih bermental “monarki absolut kapiten” yang kebal dari segala kritik, membuat BUMN maju mundur dan tidak mampu bersaing.[4]
Sementara itu, globalisasi dunia telah membawa dampak yang dahsyat dan signifikan bagi kelangsungan hidup (survivalitas) BUMN. Globalisasi yang ditandai dengan adanya perapatan dunia (compression of the world) telah mengubah data perekonomian, politik dan budaya. Pergerakan arus barang dan jasa semakin cepat. Modal dari suatu negara beralih ke negara lain dalam hitungan detik akibat pemanfaatan teknologi informasi. Persaingan menjadi semakin tinggi, bahkan kita sulit mengidentifikasi siapa pesaing sesungguhnya. Oleh karena itu, setiap BUMN harus mampu memperkuat dirinya sendiri terhadap berbagai peluang dan resiko yang akan dihadapinya dengan cara memperbaiki daya saingnya serta memastikan dirinya untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidup dan perkembangannya (sustainable growth). BUMN-BUMN yang mampu memanfaatkan momentum globalisasi-lah yang akan eksis dan berpeluang mendapatkan keuntungan besar bagi kelangsungan usahanya.
Berangkat dari berbagai kenyataan di atas, kebutuhan untuk mereformasi BUMN nampaknya merupakan suatu keharusan dan hal yang tidak dapat ditawar lagi. Kebutuhan ini tidak terlepas dari apa yang oleh Man Suparman Sastrawidjaja kemukakan sebagai upaya untuk menjadikan BUMN berperan benar-benar sebagai perusahaan kelas dunia dan memberikan manfaat sesuai isi jiwa Pasal 33 UUD 1945.[5] Fokus pengelolaan BUMN perlu diarahkan pada peningkatan daya saing, pengembangan usaha dan penciptaan peluang-peluang baru melalui manajemen yang dinamis profesional untuk memasuki dan berkompetisi dalam era globalisasi, serta keleluasaan perusahaan dalam upaya mencapai tujuannya.
Dalam kerangka inilah, upaya implementasi prinsip-prinsip good corporate governance (GCG) dalam pengelolaan BUMN merupakan kata kunci dan langkah yang rasional. Praktik-praktik kurang terpuji akibat belum adanya standar etika bisnis dapat membuat situasi ekonomi semakin memburuk. Oleh karena itu, praktik-praktik bisnis dengan standar etika dan transparansi, independensi, akuntabilitas, responsibilitas dan fairness serta profesionalisme dalam pengelolaan perusahaan perlu terus didorong agar perkembangan BUMN senantiasa diikuti dengan perangkat praktik-praktik GCG yang memadai.
Tinjauan Historis-Yuridis BUMN
Secara historis, tidak ada data pasti perihal asal muasal kemunculan BUMN dalam tata ekonomi nasional. Dalam pandangan Martiono Hadianto, hal ini dipengaruhi oleh situasi dan kondisi pada masa persiapan kemerdekaan, bahkan pasca kemerdekaan, di mana persoalan stabilitas politik terus menghadapi ujian. Dengan adanya gangguan tersebut, sistem administrasi pemerintahan juga terpengaruh. Walaupun tidak ada rujukan pasti, benih-benih kegiatan ekonomi yang dilakukan negara – maupun badan usaha yang dibentuk – telah tampak sejak Indonesia merdeka. Hal ini terlihat dengan berdirinya BNI pada tahun 1946 yang segera diikuti dengan pendirian bank-bank lain seperti Bank Industri tahun 1952 yang selanjutnya diubah menjadi Bapindo. Beberapa bank tersebut selain dua bank di atas yakni BRI, BBD, Bank Exim dan BTN, selanjutnya dikukuhkan menjadi Perusahaan Negara melalui undang-undang yang mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Pengganti UU No. 19 Tahun 1960.[6]
Meskipun demikian, berdasarkan karakteristiknya dapat dijelaskan bagaimana sepak terjang dan perjalanan BUMN selama ini, sejak kemerdekaan hingga sekarang, yang menurut pendapat Ibrahim, dapat dilihat dalam beberapa periode dan generasi dari BUMN itu sendiri yakni :[7] Generasi Pertama 1945-1959, BUMN dipakai untuk mengembangkan usaha public utilities dan hajat hidup orang banyak, bersifat strategis, dan penguasaan oleh negara dimaksudkan untuk mewujudkan kepentingan negara dan kesejahteraan masyarakat. Generasi Kedua 1959-1974, pengambilalihan semua perusahaan Belanda melalui UU No. 86 Tahun 1958, sehingga peranan negara semakin dominan atau disebut masa etatisme. Jumlah perusahaan yang dinasionalisasikan sekitar 557 buah yang selanjutnya menjadi 644 buah pada masa orde baru. Sistem ekonomi etatisme mulai bergeser ke arah pasar bebas dengan lahirnya UU No. 1 Tahun 1967 tentang PMA dan UU No. 6 Tahun 1968 tentang PMDN. Generasi Ketiga 1974-1982, ketika oil boom terjadi tahun 1973 yang mengakibatkan pemerintah melakukan ekspansi besar-besaran mendirikan BUMN, hingga harga minyak merosot tahun 1983. Dalam situasi yang demikian, pemerintah melakukan pengetatan anggaran dan kebijakan tax reform. Pada periode ini, sisa-sisa sektor public utilities yang dicanangkan untuk BUMN mengalami transformasi menuju privatisasi. Generasi Keempat 1982-2020, pada periode ini, BUMN diperhadapkan dengan era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan Iptek, dunia tanpa tapal batas dan intensinya persaingan usaha. Untuk menjadikan BUMN kelas dunia, pemerintah tahun 1999 mengelompokkan 144 BUMN menjadi sepuluh holding company. Dasar pertimbangan UU No. 19 Tahun 2003 adalah bahwa BUMN merupakan salah satu pelaku ekonomi nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pasal 1 UU ini membedakan BUMN menjadi tiga bentuk yakni perusahaan perseroan, perusahaan perseroan terbuka, dan perusahaan umum.
Sementara itu, untuk memahami keberadaan BUMN, perlu ditinjau secara sekilas latar belakang filosofis-historis dari keterlibatan langsung pemerintah dalam kegiatan produksi yang dimanifestasikan dalam wujud BUMN. Faisal Basri mengemukakan bahwa paling tidak ada lima faktor yang melatarbelakangi keberadaan BUMN, yaitu : 1) pelopor atau perintis karena swasta tidak tertarik untuk menggelutinya; 2) pengelola bidang-bidang usaha yang “strategis” dan pelaksana pelayanan publik; 3) penyeimbang kekuatan-kekuatan swasta besar; 4) sumber pendapatan negara; dan 5) hasil dari nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda.[8]
Menurut Faisal Basri, jika dikaji lebih lanjut, maka faktor keempat cenderung makin tidak relevan, sedangkan faktor kelima agaknya semakin dapat diabaikan. Maka tinggal tiga faktor pertama yang patut dijadikan pembenaran bagi keberadaan BUMN. Namun, ketiga faktor tersebut tidak bersifat mutlak. Keabsahan ketiga faktor tersebut tergantung pada berbagai keadaan. Yang terpenting, apakah mekanisme pasar berfungsi secara optimal serta dilengkapi dengan perangkat-perangkat pengamannya, seperti pengaturan tentang praktik monopoli dan oligopoli; peraturan tentang praktik kolusi, penegakan kaidah-kaidah praktik bisnis yang sehat; perlindungan terhadap usaha kecil; serta perlindungan kepada konsumen. Bagi Indonesia, kelengkapan perangkat-perangkat pengaman tersebut masih sangat langka sehingga keberadaan BUMN masih tetap diperlukan.[9]
Memahami Eksistensi BUMN di Indonesia
Negara pada hakikatnya adalah suatu lembaga politik. Dalam kedudukannya yang demikian, negara tunduk pada tatanan hukum publik. Melalui kegiatan berbagai lembaga pemerintah, negara berkewajiban menyediakan kebutuhan publik dalam rangka memberikan jaminan kesejahteraan kepada rakyat (public welfare provision). Untuk itu, sebagai badan usaha yang sahamnya dimiliki oleh negara, BUMN mempunyai peran penting sebagai salah satu pilar perekonomian nasional, sehingga kinerja BUMN mempunyai dampak signifikan bukan hanya untuk BUMN itu sendiri namun juga untuk sektor ekonomi secara keseluruhan.
Peran penting BUMN pada hakikatnya merupakan pengejewantahan amanat konstitusional yang tertuang pada Pasal 33 UUD 1945. Pasal ini merupakan entry point yang diambil para founding fathers dalam merumuskan strategi nasional di bidang ekonomi, yang diarahkan menuju cita-cita luhur yaitu kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. Makna yang terkandung dalam pasal ini khususnya pada ayat (2) dan ayat (3) menekankan bahwa penguasaan negara atas sumber daya alam dan cabang-cabang produksi yang memiliki nilai strategis mutlak adanya dan dipergunakan sepenuhnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Hal ini mengindikasikan secara eksplisit bahwa negara akan mengambil peran dalam kegiatan ekonomi, yang mana dalam tataran praktiknya BUMN memiliki tugas tidak hanya semata-mata mengejar keuntungan tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.[10]
Namun demikian, harus diakui bahwa pengaturan hukum pada Pasal 33 UUD 1945 ini justru memberikan ruang interpretasi karena kata “penting” dan “menguasai hajat hidup orang banyak” tidak pernah didefinisikan dan dioperasionalkan secara tuntas. Penting menyangkut sektor apa saja, dalam praktiknya diserahkan kepada kebijakan masing-masing departemen. Hajat hidup orang banyak juga tidak lebih hanya sebatas slogan. Kandungan penting dan menguasai hajat hidup orang banyak tidak pernah dievaluasi secara tuntas. Semestinya semua komponen kritis bangsa melakukan redefinisi tentang kedua term tersebut, sehingga tidak menimbulkan dualisme dalam pengelolaan BUMN.
Pada sisi lain, secara definitif nama BUMN sebagai badan usaha milik negara menimbulkan penafsiran bahwa negara berkuasa penuh terhadap hitam putihnya BUMN. Dominasi peran negara merupakan suatu hal yang tidak dapat dibantah. Padahal, di pihak lain konsep negara mengandung pengertian yang abstrak, tidak riil. Akibatnya, wajah BUMN akhirnya sangat tergantung pada siapa yang memerintah dan siapa orang-orang yang menjalankan.[11] Semestinya, pemahaman atas kata penguasaan negara[12] tersebut diarahkan dalam rangka sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Hal ini sejalan dengan teori negara, di mana negara melakukan fungsi dan perannya untuk melayani kebutuhan masyarakat, tidak untuk kepentingan pribadi atau golongan.
Sementara itu, jika ditelaah lebih jauh, dapat dikatakan bahwa secara umum wajah BUMN di Indonesia lebih menampakkan citra birokrasi pemerintahan dari pada sebuah unit usaha. Sekedar contoh, pada saat rupiah anjlok dihantam badai krisis, pemerintah dapat meminta BUMN yang memiliki cadangan dolar untuk melepaskannya ke pasar. Dengan kata lain, BUMN ibarat jaringan birokrasi itu sendiri. Contoh lain betapa tidak berdayanya BUMN menghadapi birokrasi pemerintahan terlihat pada kasus bocornya fotocopy surat dari sekretariat Presiden RI No. R128/seper3/2001 yang ditujukan kepada general manager sebuah BUMN yang isinya meminta bantuan untuk mengirimkan uang tunai sebesar US$300.000 untuk biaya perjalanan. Kejadian ini, oleh orang awam sekalipun, dapat diartikan adanya intervensi yang terlalu jauh dari pemerintah terhadap BUMN. [13]
Walaupun pemerintah telah menunjukkan komitmennya dalam menata pengelolaan BUMN dengan mendirikan Kementerian Negara BUMN, namun sekali lagi fakta membuktikan ternyata tidak serta merta mengatasi simpang siur pengelolaan BUMN. Dalam pandangan Ibrahim, selama ini sinergi BUMN tidak terjadi, sehingga selalu merugi dan misinya tidak sampai, apalagi BUMN di bawah masing-masing departemen dan banyak dipengaruhi oleh faktor politik, seperti sering terjadi kelangkaan produk secara bergiliran di beberapa sektor, misalnya BBM, kelangkaan pupuk, kelangkaan semen, listrik yang nyala-mati, tabrakan kereta api, busung lapar, dan lumpuh layu. Yang ada kita masih bergelut pada tataran tarik menarik kepentingan.[14]
Di satu sisi, pengelolaan BUMN sepenuhnya tanggung jawab Meneg BUMN, tetapi di sisi lain, pelepasan aset, pinjaman luar negeri, penambahan dan pengurangan modal harus mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan. Tidak heran apabila pengelolaan dan pembinaan BUMN mengalami pasang surut.[15] Apalagi dengan kekuasaan yang dimiliki Kementerian BUMN dapat melakukan penunjukkan dewan direksi dan dewan komisaris, sehingga walaupun harus dengan persetujuan rakyat yang direpresentasikan oleh DPR, tidak jarang posisi ini dijadikan sebagai aset politik kelompok tertentu, karena dengan menguasai BUMN – terutama yang gemuk – dapat membantu pembiayaan melalui penyalahgunaan jabatan.[16]
Selanjutnya, jika dilihat secara sektoral, pada umumnya BUMN memiliki posisi strategis sejalan dengan misi negara dan pemerintah. Dari sudut pandang tersebut maka kekuatan BUMN sebenarnya dalam banyak hal bersifat eksklusif. Menurut Ary Suta, hal-hal yang mengandung eksklusifitas meliputi : 1) jumlah dan nilai aset yang besar; 2) posisi dan bidang usaha yang strategis; 3) akses ke kekuasaan lebih besar; 4) akses ke sumber pendanaan, khususnya bank-bank pemerintah lebih besar; 5) perlakuan birokrasi berbeda dengan swasta, di mana terdapat privilege dari birokrasi terhadap BUMN; dan 6) definisi negara sebagai pemilik dan pemerintah sebagai regulator sulit untuk dipisahkan dan melekat pada BUMN itu sendiri.[17]
Namun, jika dilihat dari hasil akhir, kekuatan tersebut sekaligus merupakan kelemahan dan BUMN itu sendiri. Kelemahan paling mendasar yang ditimbulkan oleh eksklusifitas terutama menyangkut keterlibatan birokrasi dengan kepentingan tertentu yang akan melahirkan penyimpangan melalui penerapan policy direction yang pada akhirnya merugikan BUMN sendiri. Policy direction yang menyesatkan ini dapat lahir dari adanya kepentingan elite BUMN dengan cara membungkus kepentingan melalui formal policy, yang kalau dilihat dari kacamata hukum rasanya benar namun dari sudut pandang kewajaran sering jauh berbeda. Sebagai ilustrasi menyangkut tender-tender proyek, yang secara formal tampak legal tetapi dari sudut kewajaran tidak dapat diterima.[18]
Dengan keadaan seperti ini, tidaklah mengherankan jika hingga saat ini kinerja BUMN dirasakan belum optimal. Kegiatan operasional BUMN yang masih terfragmentasi dan budaya usaha yang birokratis menyebabkan BUMN kurang berorientasi pada pasar, kualitas dan kinerja usaha sehingga produktivitas dan utilitas aset juga sangat rendah. Sebagian BUMN masih memiliki sistem pemasaran dan distribusi kurang terkoordinir dengan baik, khususnya untuk produk ekspor yang terfokus pada komoditas atau industri primer.[19]
Kacaunya pengelolaan BUMN di Indonesia dan dampaknya terhadap kinerja BUMN itu sendiri sebagaimana digambarkan di atas hendaknya segera diselesaikan mengingat peran strategis yang di emban oleh BUMN dalam rangka kesejahteraan rakyat. Problem yang selama ini dialami BUMN sehingga tidak efisien harus diselesaikan paling tidak dengan cara : Pertama, karena kegiatan BUMN tidak dapat dilepaskan dari sistem dan budaya politik masa lalu, maka perlu diupayakan rekonstruksi pembinaan BUMN dan meminimalkan keterlibatan birokrasi di BUMN. Hendaknya posisi-posisi strategis di dalam BUMN dijabat oleh orang-orang profesional, mandiri, bebas dari intervensi politik dan memiliki kredibilitas yang tinggi. Kedua, melakukan redefinisi dan evaluasi status BUMN secara eksistensial sehingga lebih dapat memperjelas status kepemilikan usaha dari BUMN dan juga memperjelas apakah sebagai unit usaha yang profit oriented atau mengutamakan kepentingan masyarakat. Hal ini penting, karena menyangkut akuntabilitas BUMN terutama kepada rakyat. Ketiga, melalukan reformasi organisasi BUMN melalui restrukturisasi baik pada aspek modal, tenaga kerja dan budaya organisasi. Privatisasi harus tetap dilanjutkan dengan tujuan utama untuk meningkatkan kapasitas permodalan dan kinerja perusahaan. Penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) harus dilakukan secara konsisten dan memadai. Terakhir, untuk memberikan arah bagi terlaksananya ketiga cara di atas, maka jaminan kepastian dan penegakan hukum menjadi kata kunci yang dapat menjamin terlaksananya proses reformasi BUMN. Pada sisi lain, pemerintah sebagai regulator, secara proaktif bersama perlemen menyediakan legal framework yang memberikan landasan hukum bagi BUMN dalam menjalankan fungsi dan perannya, sehingga dapat memberikan manfaat sesuai isi jiwa Pasal 33 UUD 1945. Peraturan perundang-undangan yang telah ada menyangkut BUMN seperti UU Nomor 19 tahun 2003 Tentang BUMN, menurut hemat penulis perlu dikaji ulang atau diselaraskan, terutama dengan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan tumbuh kembangnya BUMN.
Tuntutan Mereformasi BUMN
Tidak dapat disangkal bahwa selama beberapa dasawarsa BUMN telah berperan dalam perekonomian nasional, mendukung dan mendorong gerak pembangunan bangsa Indonesia. Namun demikian, tidak dapat disangkal pula bahwa hingga saat ini kekacauan dalam pengelolaan BUMN masih mengemuka, sehingga dibutuhkan energi lebih untuk melakukan pembenahan dan koreksi atas pengelolaan BUMN. Kinerja dan kondisi BUMN harus di reformasi dalam rangka untuk meningkatkan peranannya dalam perekonomian dengan melepaskan diri dari intervensi politik dan ketergantungan pada keuangan negara.
Untuk menata kembali BUMN, dalam pandangan Faisal Basri bahwa terdapat dua faktor yang menjadi kriteria yaitu eksternalitas dan efisiensi. Eksternalitas adalah manfaat ekonomi dari keberadaan BUMN yang dinikmati oleh pihak-pihak di luar BUMN yang bersangkutan, meliputi perusahaan-perusahaan lain dan masyarakat pada umumnya. Sedangkan efisiensi di sini lebih dititikberatkan pada efisiensi teknis dalam lingkup internal perusahaan.[20]
Dalam konteks yang demikian, maka kebijakan untuk melakukan pembenahan BUMN harus lebih mempertimbangkan kedua kriteria di atas dengan berbagai pertimbangan matang, sehingga jangan sampai nantinya justru hanya sekedar memindahkan inefisiensi dari sektor publik/pemerintah ke sektor swasta atau justru meningkatkan biaya transaksi (transaction cost). Apalagi, jika hal ini mengakibatkan semakin buruknya struktur pasar dan iklim persaingan sehat.
Selain itu, kebutuhan untuk mereformasi BUMN tidak terlepas dari perubahan iklim usaha yang sedemikian cepat dalam era globalisasi di mana kegiatan perusahaan tidak lagi dibatasi oleh batas-batas antar negara dan adanya saling ketergantungan antar bangsa, pasar dan perusahaan-perusahaan. Fokus pengelolaan BUMN perlu diarahkan pada peningkatan daya saing, pengembangan usaha dan penciptaan peluang-peluang baru melalui manajemen yang dinamis dan profesional untuk dapat memasuki dan berkompetisi dalam era globalisasi, serta keleluasaan perusahaan dalam upaya mencapai tujuannya.[21]
Kebutuhan untuk mereformasi BUMN dapat dilakukan paling tidak dengan strategi implementasi praktik-praktik Good Corporate Governance (GCG) dalam pengelolaan BUMN. Disadari bahwa penerapan nilai-nilai GCG merupakan salah satu solusi dalam memberdayakan BUMN terutama dalam rangka menjalankan fungsi dan perannya. Penerapan GCG perlu mendapat perhatian besar sehingga upaya reformasi BUMN melalui kebijakan restrukturisasi (revitalisasi) dapat dilaksanakan secara konsisten dan terencana.
Menciptakan sebuah BUMN yang modern tidak cukup hanya didukung oleh penggunaan perangkat teknologi yang canggih berupa komputerisasi sistem manajemennya atau SDM yang handal, tetapi yang dibutuhkan adalah adanya kerangka hukum yang kokoh sebagai landasan hukum, baik berupa undang-undang maupun peraturan pelaksanaannya yang mengatur segala aspek kegiatan perusahaan itu sendiri. Perangkat hukum ini disusun melalui mekanisme rule-making rule sehingga mampu mengakomodasi aspirasi stakeholders dan kebutuhan pasar.
Hal ini berarti bahwa proses implementasi GCG hanya akan terlaksana secara fektif jika tersedia kerangka hukum (legal framework) yang memadai. Kerangka hukum ini pada akhirnya dijadikan sebagai sarana untuk mendorong ditaatinya nilai-nilai yang dikandung GCG. Hal ini merupakan suatu upaya dalam rangka penegakan hukum prinsip-prinsip GCG, yang akhirnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum bagi dunia bisnis.
Dalam perspektif yang demikian, prinsip-prinsip GCG hanya akan efektif dalam praktiknya jika memberikan kepastian hukum bagi dunia bisnis. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu komitmen yang kuat dari stakeholders untuk secara bersama-sama melakukan penegakan hukum prinsip-prinsip GCG sehingga proses implementasi prinsip-prinsip GCG pada BUMN sesuai dengan kerangka hukum dan perundang-undangan yang ada dapat berjalan efektif dan memberikan suasana yang kondusif bagi tumbuh kembangnya BUMN, yang pada akhirnya juga berdampak positif bagi upaya akselerasi pembangunan ekonomi di Indonesia.
Urgensi Good Corporate Governance Pada BUMN
Setelah perekonomian Indonesia mengalami “meltdown” dibakar krisis, isu-isu yang menyangkut Good Corporate Governance (GCG) yang telah lama terpendam, akhirnya naik kepermukaan dan makin santer didengungkan oleh masyarakat luas, baik yang tersurat maupun tersirat. Masyarakat merasa bahwa selama organisasi privat dan publik tidak distrukturkan, dioperasikan dan dikendalikan sesuai dengan prinsip-prinsip Corporate Governance, sehingga setelah gagal total untuk mencapai sasaran strategis jangka panjang sebagaimana semestinya, karena tidak mampu menciptakan hubungan-hubungan yang serasi dan selaras di antara kelompok kepentingan (stakeholders) dalam masyarakat.[22]
GCG sendiri sebenarnya bukan isu baru. Jauh sebelumnya, upaya ke arah ini telah dirintis dengan keluarnya Surat Keputusan Meneg Pendayagunaan BUMN No. 23 Tahun 1998 yang mewajibkan transparansi di kalangan manajemen BUMN. Selanjutnya, disusul dengan keluarnya Surat Keputusan No. 117 Tahun 2002 tentang penerapan GCG pada BUMN. Ada empat jenis BUMN yang mendapat sorotan dalam implementasi GCG tersebut yakni : BUMN yang bergerak dalam bidang asuransi dan jasa keuangan, BUMN yang menjadi PT terbuka, BUMN yang sedang dalam tahap privatisasi, dan BUMN yang mempunyai aset minimal Rp 1 triliun.
Dasar hukum terbitnya kebijakan GCG adalah terbitnya The Basel Committee on Banking Supervision tentang standar penerapan GCG untuk perbankan, serta Surat Keputusan Menko EKUIN RI No. Kep-10/M.EKUIN/08/ 1999 tanggal 19 Agustus 1999 tentang pembentukan lembaga non pemerintah berupa Komite Nasional Corporate Governance. Keputusan tersebut ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Surat Keputusan Meneg BUMN No. 23/M-PM.BUMN/2000 tentang pengembangan praktik GCG dalam perusahaan perseroan. Komite tersebut selanjutnya mengeluarkan Pedoman GCG. Pedoman GCG menetapkan bahwa maksud dari penyusunan pedoman tersebut diantaranya adalah : pertama, memaksimalkan nilai perseroan dan nilai perseroan bagi pemegang saham dengan cara meningkatkan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dapat dipercaya, bertanggung jawab, dan adil agar perusahaan memiliki daya saing yang kuat; kedua, mendorong pengelolaan perusahaan perseroan secara professional, transparan, dan efisein; serta ketiga, mendorong agar pemegang saham, anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan serta bertanggung jawab terhadap pihak-pihak lain yang berkepentingan
Lebih lanjut, Menteri BUMN mengeluarkan SK Meneg BUMN No. KEP-117/M-MBU/2002 tentang Praktik Good Corporate Governance pada BUMN, yang diantaranya memuat hal-hal berikut : pertama, GCG adalah proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan untuk mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan dan nilai-nilai etika; kedua, BUMN wajib menerapkan GCG secara konsisten dan/atau menjadikan GCG sebagai landasan operasionalnya; dan terakhir, prinsip-prinsip GCG meliputi transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggung jawaban, dan kewajaran.
Terkait dengan agenda Indonesia dalam penerapan GCG ada tiga aras aktivitas yang sedang dilakukan yakni menetapkan kebijakan nasional, menyempurnakan kerangka regulasi, dan membangun inisiatif sektor swasta.[23] Sementara itu, pelaksanaan praktik GCG dalam pengelolaan BUMN hampir tidak dapat dilepaskan dari urgensi pengurangan, bahkan menghilangkan kontrol dan intervensi pemerintah. Oleh karena itu, melalui pelaksanaan GCG, intervensi politik ke dalam dunia usaha bisa dicegah dan pada saat yang sama, kesamaan visi antara pelaku domestik dan asing akan mengalami kristalisasi. Ini artinya, kepercayaan internasional terhadap BUMN melalui pelaksanaan GCG yang standar tidak lagi bersifat changeable seperti di masa lalu.
GCG pada dasarnya merupakan suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berdasarkan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika. Setidaknya ada beberapa hal penting yang perlu mendapatkan perhatian dan dukungan dalam penerapan GCG, diantaranya adalah transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggung-jawaban dan kewajaran (fairness). Inilah lima prinsip bisnis sehat yang di masa lalu dan juga sekarang justru banyak dilanggar.[24]
Bagi BUMN, saat ini, persoalan yang menyangkut kredibilitas internal sudah seharusnya dibangun secara konsisten dan berkelanjutan. Dalam arti bahwa kepercayaan pihak asing atau domestik harus dipulihkan kembali setelah sektor usaha terpuruk dilanda krisis finansial. Dorongan pelaksanaan GCG ini merupakan salah satu jalan efektif untuk menumbuhkan kepercayaan tersebut. Kendati pun memang pelaksanaan GCG hanya merupakan salah satu faktor keberhasilan membangun kembali BUMN, namun hasil yang diharapkan dengan pelaksanaan GCG akan memberikan performa baru bagi BUMN yang handal, profesional dan mandiri.
Meluasnya kebutuhan terhadap GCG, menurut Ary Suta, dilatarbelakangi oleh : pertama, berkembangnya equity market terutama di negara-negara maju mengharuskan bagi perusahaan dan pelaku pasar lainnya untuk lebih transparan, fair dan terbuka dalam pembuatan keputusan perusahaan; kedua, adanya kompetisi yang semakin tajam terhadap sumber-sumber keuangan yang dikelola oleh dana pension, asuransi, mutual funds, dan institusi-institusi keuangan lainnya; ketiga, semakin meningkatnya keterlibatan masyarakat (stakeholders) baik langsung maupun tidak langsung, dalam kaitannya dengan lingkungan hidup, tenaga kerja, penggunaan dana masyarakat, pajak dan lain-lain, akan mengharuskan perusahaan untuk mengembangkan GCG; dan keempat, adanya keharusan pemerintah terutama yang terkait dengan regulated industry seperti pasar modal, perbankan, dan industri-industri penting lainnya.[25]
Penciptaan dan penerapan GCG itu sendiri memerlukan perencanaan dan penerapan kebijakan penting dan mendasar yang mengatur kehidupan BUMN. Lebih lanjut Ary Suta mengemukakan bahwa setidaknya ada empat syarat utama yang dibutuhkan yakni : Pertama, GCG mengharuskan adanya accountability yang jelas bagi pengelola perusahaan. Amanat yang diterima melalui RUPS oleh direksi dan komisaris harus dipertanggungjawabkan baik yang mencakup operasi perusahaan maupun pertanggungjawaban keuangan. Hal ini memerlukan adanya aturan main yang jelas mengatur hak dan kewajiban setiap pengelola perusahaan. Kedua, GCG membutuhkan adanya direksi yang memiliki tingkat independensi yang memadai terutama dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan perusahaan secara keseluruhan. Harus dapat dipastikan bahwa direksi yang bekerja semata-mata untuk perusahaan dan bukan untuk kepentingan pribadinya. Esensi untuk terciptanya independensi ini adalah menghindari terjadinya conflict of interests. Ketiga, GCG memerlukan adanya penyebaran informasi yang diperlukan (full disclosure). Informasi yang diperlukan oleh stakeholders meliputi informasi penting dan relevan termasuk informasi tentang operasi perusahaan dan informasi keuangan. Informasi ini akan membantu dalam penciptaan kondisi pertama dan kedua di atas. Keempat, GCG memerlukan adanya audit committe untuk meningkatkan kualitas laporan dan objektifitas penilaian kinerja perusahaan. Audit ini harus dilakukan oleh pihak independen.[26]
Oleh karena itu, dalam kehidupan saat ini, menurut pandangan Jusuf Anwar bahwa GCG harus merupakan suatu komitmen dan komitmen ini membutuhkan investasi. Kultur Governance harus ditumbuhkan termasuk aspek pengambilan keputusan dalam suatu manajemen. Daftar manfaat dari kepatuhan terhadap GCG sudah cukup panjang, yang semuanya bermuara pada naiknya nilai tambah pemegang saham (increasing shareholder value).[27]
Manfaat sudah banyak terbukti, bahwa GCG menaikkan nilai tambah para pemegang saham perusahaan. Namun, perubahan kultur dan etos kerja tidak pula mudah, termasuk sulitnya memperbaiki cara pengambilan keputusan dan merubah perilaku manajemen. Dalam banyak segi, penerapan GCG baru sampai pada tahap retorika. Keengganan menerapkan GCG lebih banyak disebabkan karena sikap yang menilai bahwa GCG sebagai beban dan bukan sebagai asset perusahaan, dan juga tidak perlu dilaksanakan karena tidak adanya sanksi dan insentif. Namun di sisi lain, banyak juga perusahaan-perusahaan yang sudah merasakan nilai tambah dari penerapan GCG, seperti lebih mudahnya akses ke pasar modal internasional serta banyaknya investor yang bersedia membayar premi yang lebih tinggi bagi saham perusahaan yang sudah menerapkan GCG. Perusahaan yang sudah menerapkan GCG akan membawa bendera bonafiditas. Efek positif lainnya adalah mampu merekrut tenaga yang terbaik yang ada di pasar tenaga kerja.[28] Hasil survey yang dilakukan McKinsey pada tahun 2002 membuktikan, bahwa semakin rendahnya tingkat budaya GCG pada suatu negara maka premium yang akan diberikan akan lebih tinggi kepada perusahaan yang menerapkan GCG.[29]
Penutup
Kekacauan dalam pengelolaan BUMN masih kerap ditemui terutama pada aspek pengaturan hukum BUMN. Kekacauan ini berakar pada Pasal 33 UUD 1945 yang sesungguhnya memberikan ruang interpretasi karena kata “penting” dan “menguasai hajat hidup orang banyak” tidak pernah didefinisikan dan dioperasionalkan secara tuntas. Agar tidak menimbulkan dualisme dalam pengelolaan BUMN, perlu segera dilakukan redefinisi tentang kedua term tersebut. Hal ini dilakukan dalam rangka mewujudkan cita-cita ideal untuk menjadikan BUMN sebagai perusahaan kelas dunia dan memberikan manfaat sesuai isi jiwa Pasal 33 UUD 1945 dapat diwujudkan.
Kepastian dan penegakan hukum menjadi kata kunci yang dapat menjamin terlaksananya proses reformasi BUMN. Karena itu, Pemerintah bersama DPR secara proaktif menyediakan legal framework yang memberikan landasan hukum bagi BUMN dalam menjalankan fungsi dan perannya, sehingga dapat lebih memberikan manfaat sesuai isi jiwa Pasal 33 UUD 1945. Peraturan perundang-undangan yang telah ada menyangkut BUMN seperti UU Nomor 19 tahun 2003 Tentang BUMN, perlu dikaji ulang atau diselaraskan, terutama dengan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan tumbuh kembangnya BUMN.
Dalam rangka menata BUMN menuju perusahaan yang handal dan mandiri, maka kebutuhan akan penerapan prinsip-prinsip GCG merupakan strategi yang tepat dan mendesak untuk dilaksanakan dengan pendekatan yang lebih komprehensif dan holistik. GCG dapat menjadi way of live atau kultur perusahaan yang dimanfaatkan dalam proses pengambilan keputusan serta menjadi pedoman perilaku manajemen. Dengan adanya GCG sebagai rule of the game yang mengatur interaksi administratif di antara berbagai kelompok kepentingan (stakeholders).


Catatan Kaki :
[1] Lihat tulisan Djuhaendah Hasan, Pengelolaan Kekayaan BUMN dan Permasalahannya, Makalah dalam Seminar Nasional Implikasi Berlakunya Ketentuan Keuangan Negara Terhadap Pengelolaan Aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kelompok Studi Hukum Bisnis FH-UNPAD, Jakarta, 5 Juli 2007, hlm. 10-11.
[2] Lihat lebih lanjut masalah ini dalam buku I Putu Gede Ary Suta, Menuju Pasar Modal Modern, Sad Satria Bhakti, Jakarta, 2002, hlm. 347.
[3] Ibid., hlm. 348.
[4] Ibrahim R., Landasan Filosofis dan Yuridis Keberadaan BUMN: Sebuah Tinjauan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 26-No.1-Tahun 2007, hlm. 12.
[5] Lihat Man Suparman Sastrawidjaja, Eksistensi BUMN Sebagai Perusahaan, Makalah dalam Seminar Nasional Implikasi Berlakunya Ketentuan Keuangan Negara Terhadap Pengelolaan Aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kelompok Studi Hukum Bisnis FH-UNPAD, Jakarta, 5 Juli 2007, hlm. 10.
[6] Lihat lebih lanjut masalah ini dalam tulisan Martiono Hadianto, Eksistensi BUMN di Tengah Sistem Ekonomi Pasar, dalam buku Badan Analisis Fiskal Depkeu, “Kebijakan Fiskal : Pemikiran, Konsep, dan Implementasi”, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2004, hlm. 600-601.
[7] Lihat tulisan Ibrahim R., op.cit., hlm. 10-11.
[8] Faisal Basri, Perekonomian Indonesia Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Indonesia, Erlangga, Jakarta, 2002, hlm. 268.
[9] Ibid., hlm. 268-269.
[10] Suatu perusahaan apalagi yang namanya perusahaan/BUMN dalam mengejar keuntungan tidak semena-mena tetapi mengkaji, memaknai dan melaksanakan misi yang dibebankan kepadanya menurut isi jiwa Pasal 33 UUD 1945 tersebut. Hal ini dikemukakan oleh Man Suparman Sastrawidjaja, op.cit., hlm. 8-9.
[11] I Putu Gede Ary Suta, loc.cit.
[12] Pengertian “dikuasai” oleh negara yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 tidak menutup kemungkinan negara menjadi pemilik. Hal ini mengemuka pada suatu seminar tentang BUMN dalam makalah yang ditulis oleh Man Suparman Sastrawidjaja, op.cit., hlm. 3.
[13] Lihat lebih lanjut tulisan Martiono Hadianto, op.cit., hlm. 607.
[14] Ibrahim R., op.cit., hlm. 12.
[15] Martiono Hadianto, op.cit., hlm. 612.
[16] Ada kesan bahwa BUMN yang ada sangatlah kaya dan berkelimpahan harta sehingga dapat diandalkan sebagai “sapi perah” untuk kepentingan politik. Justru inilah yang menjadi salah satu penyebab keroposnya BUMN karena digerogoti oleh praktik-praktik suap dan koncoisme dan KKN.
[17] Lihat I Putu Gede Ary Suta., op.cit., hlm. 349.
[18] Ibid., hlm. 350.
[19] Republik Indonesia, Master Plan Badan Usaha Milik Negara Tahun 2005-2009, Kementerian Negara BUMN, Jakarta, 2005, hlm. 349.
[20] Faisal Basri, op.cit., hlm. 270.
[21] Republik Indonesia, op.cit., hlm. 2.
[22] Pada umumnya negara-negara yang terkena krisis terparah adalah negara-negara yang sistem tata kelolanya masih lemah, antara lain dalam bidang akuntansi yang implementasinya sering tidak sesuai dengan standar akuntansi yang ditentukan di negara tersebut, sistem manajemen yang masih berdasarkan koneksi atau nepotisme tanpa memperhatikan kemampuan dan profesionalisme, tidak adanya keterbukaan informasi (transparansi), dan tidak adanya akuntabilitas yang jelas. Hal ini dikemukakan oleh I Putu Gede Ary Suta dan Soebowo Musa, Membedah Krisis Perbankan: Anatomi Krisis dan Penyehatan Perbankan, Sad Satria Bhakti, Jakarta, 2003, hlm. 32
[23] Lihat tulisan Mas Achmad Daniri, Reformasi Corporate Governance di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis Volume 24-No. 3, YPHB, Jakarta, 2005, hlm. 20.
[24] Faisal Baasir, Pembangunan dan Krisis Kritik dan Solusi Menuju Kebangkitan Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2003, hlm. 235.
[25] I Putu Gede Ary Suta, op.cit., hlm. 435-436.
[26] Ibid., hlm. 436-437.
[27] Yusuf Anwar, Aspek-Aspek Keuangan dan Perbankan Suatu Tinjauan Praktis, Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tahun 2003, Jilid III/BPHN, Percetakan Negara RI, Jakarta, 2003, hlm. 412.
[28] Ibid., hlm. 414.
[29] Ratna Januarita, Penerapan Good Corporate Governance Pada Sektor Perbankan, Jurnal Ilmu Hukum Ligitasi, Vol. 4-No. 2, Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Bandung, 2003, hlm. 106.


Kamis, 04 Juni 2009

MEMAHAMI KRISIS EKONOMI DI INDONESIA

Prolog

Masih segar dalam ingatan seluruh rakyat Indonesia, setelah berpuluh-puluh tahun terbuai oleh pertumbuhan yang begitu mengagumkan, tahun 1998 ekonomi Indonesia mengalami kontraksi begitu hebat. Tsunami ekonomi menggelegar dengan dahsyat dan tragis memporak-porandakan tatanan ekonomi dan tercatat sebagai periode paling suram dalam sejarah perekonomian Indonesia. Dampak krisis pun mulai dirasakan secara nyata oleh masyarakat, dunia usaha. Hanya dalam waktu setahun, perubahan dramatis terjadi. Prestasi ekonomi yang dicapai dalam dua dekade, tenggelam begitu saja dan juga sekaligus membalikkan semua bayangan indah dan cerah di depan mata menyongsong milenium ketiga.
Tidak dapat dipungkiri bahwa krisis ekonomi yang berlanjut pada krisis kepercayaan telah menimbulkan dampak yang luar biasa terjadap tatanan kehidupan bangsa Indonesia pada berbagai bidang, baik di bidang ekonomi maupun sosial dan politik. Betapa tidak dalam waktu yang singkat telah menyebabkan meningkatnya jumlah orang miskin, pengangguran, meningkatnya anak putus sekolah, meningkatnya angka kriminalitas, menurunnya kualitas kesehatan masyarakat serta efek negatif lainnya yang sangat dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Krisis ini kemudian diperparah oleh lemahnya supremasi hukum, keamanan, stabilitas politik, dan maraknya praktik KKN yang telah begitu menggurita dalam kehidupan masyarakat.
Seperti efek bola salju, krisis yang semula hanya berawal dari krisis nilai tukar baht di Thailand 2 Juli 1997, dalam tahun 1998 dengan cepat berkembang menjadi krisis ekonomi, berlanjut lagi krisis sosial kemudian ke krisis politik. Akhirnya, berkembang menjadi krisis total yang melumpuhkan nyaris seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Katakan, sektor apa saja di negara ini yang tidak luput dari goncangan badai krisis. Bahkan tahta mantan Presiden Soeharto pun goyah, dan akhirnya harus lengser dan catatan sejarah kepemimpinan rezim orde baru pun harus tutup buku untuk selamanya.

Konsepsi Krisis Ekonomi
Dalam ekonomi, krisis adalah istilah lama dalam teori siklus bisnis, merujuk pada perubahan tajam menuju resesi. Sebagai contoh krisis ekonomi 1994 di Meksiko, krisis ekonomi Argentina (1999-2002), krisis ekonomi Amerika Selatan 2002, krisis ekonomi Kamerun. Krisis itu sendiri di dalam laporan IMF, World Economic Outlook 1998 digolongkan menjadi berbagai jenis, yaitu currency crisis, banking crisis, sistemic financial crisis dan foreign debt crisis.
Dari segi asal timbulnya krisis, J. Soedradjat Djiwandono (2001) menjelaskan bahwa pada dasarnya krisis merupakan akibat dari gejolak finansial atau ekonomi dalam perekonomian yang mengidap kerawanan. Kerawanan perekonomian bisa terjadi karena unsur-unsur yang pada dasarnya bersifat internal, seperti kebijakan makro yang tidak tepat, lemahnya atau hilangnya kepercayaan terhadap mata uang dan lembaga keuangan dan ketidak-stabilan politik. Kerawanan dapat pula berasal dari faktor eksternal, seperti kondisi keuangan global yang berubah, ketidak-seimbangan atau misalign-ment nilai tukar mata uang dunia (dollar dengan yen), atau perubahan cepat dari sentimen pasar yang meluas sebagai akibat dari perilaku ikut-ikutan atau herd instinct dari pelaku usaha.
Lebih lanjut, J. Soedradjat Djiwandono (2001) menjelaskan pula bahwa kalau dilihat dari prosesnya, krisis tersebut didahului oleh suatu euphoria, adanya pertumbuhan yang tinggi dalam kurun waktu yang lama yang digambarkan sebagai suatu economic miracle antara lain oleh Bank Dunia, timbul perkembangan yang menampakkan tanda-tanda adanya bubbles seperti ekspansi real estates yang kelewat besar dan pertumbuhan pasar saham yang luar biasa bersamaan dengan masuknya dana luar negeri berjangka pendek secara berlebihan. Dalam keadaan tersebut kemudian timbul gejolak yang menyebabkan suatu distress dan melalui dampak penularan yang sistemik (contagion effects) menjadi krisis. Krisis tersebut semula terjadi di sektor keuangan-perbankan, kemudian melebar menjadi krisis ekonomi yang secara sistemik melebar menjadi krisis sosial, politik dan akhimya krisis kepemimpinan nasional.
Pada dasarnya pendapat para ahli ekonomi mengenai krisis terpecah menjadi dua kelompok besar. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa krisis sebagai suatu kepanikan finansial yang melanda banyak negara di dunia melalui suatu proses penularan. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa krisis sebagai akibat dari kelemahan fundamental ekonomi nasional karena pelaksanaan kapitalisme kroni yang mengandung banyak kelemahan struktural. Oleh Prof. Stephan Haggard kelompok pertama dinamakan sebagai internationalists, sedangkan kelompok kedua sebagai fundamentalists.

Penyebab Terjadinya Krisis Ekonomi di Indonesia
Jika ditelaah lebih dalam, krisis yang terjadi di Indonesia dapat dikatakan sangat unik. Krisis di Indonesia benar-benar tidak terduga datangnya bahkan banyak pakar yang menjelaskan bahwa di antara negara-negara yang bermasalah akibat krisis, Indonesia adalah negara yang paling tidak diperkirakan akan terkena krisis bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Ketika Thailand mulai menunjukkan gejala krisis, orang umumnya percaya bahwa Indonesia tidak akan bernasib sama. Fundamental ekonomi Indonesia dipercaya cukup kuat untuk menahan kejut eksternal (external shock) akibat kejatuhan ekonomi Thailand. Namun, fakta menunjukkan lain bahwa akibat lemah dan keroposnya fundamental ekonomi Indonesia, telah dilindas tanpa ampun oleh krisis yang secara faktual telah melemahkan sendi-sendi kehidupan ekonomi Rakyat.
Sebagian besar ahli berkesimpulan bahwa krisis yang terjadi di Indonesia pada dasarnya terjadi bukan hanya karena adanya kepanikan keuangan dan merajalelanya kapitalisme kroni dan masalah struktur yang lain, tetapi timbulnya krisis tersebut adalah merupakan kombinasi antara kepanikan keuangan dan lemahnya ekonomi nasional baik sektor perbankan maupun sektor riil sehingga menyebabkan lemahnya daya tahan perekonomian nasional menghadapi gejolak krisis. Krisis yang terjadi di Indonesia pada dasarnya dipicu oleh efek ketularan (contagion effect) krisis Asia Timur yang dimulai dengan jatuhnya nilai rupiah terhadap dollar USA akibat dana jangka pendek yang ditarik keluar negeri. Ketidakpercayaan terhadap rupiah menjalar menjadi ketidak percayaan terhadap perbankan yang menimbulkan krisis perbankan. Dalam keadaan ini bank tidak hanya ditinggalkan deposan akan tetapi juga ditinggalkan bank lain, termasuk bank mitra usaha di luar negeri. Krisis keuangan ini pada akhirnya menjadi krisis sosial dan berlanjut pada krisis dalam kehidupan politik yang memuncak dengan terjadinya krisis kepemimpinan nasional yang ditandai dengan berakhirnya rezim Orde Baru.

Pemulihan Perekonomian Indonesia Pasca Krisis Ekonomi
Dalam rangka menyehatkan ekonomi Indonesia akibat krisis, Sri Adiningsih (2001) berpendapat bahwa Indonesia perlu menjalankan program restrukturisasi pada lima bidang yakni sektor keuangan, korporasi, hukum ekonomi, birokrasi, dan tenaga kerja. Restrukturisasi sektor keuangan diharapkan dapat mengembangkan pasar keuangan yang sehat dan efisien sehingga lembaga keuangan dapat menjalankan fungsi intermediasi dan dengan efisien dan memperlancar mekanisme pembayaran. Restrukturisasi korporasi dapat dilakukan dengan cara restrukturisasi hutang-hutang perusahaan sehingga dapat dihasilkan perusahaan yang sehat dan mampu menggerakkan sektor riil sebagai salah satu pilar perekonomian. Restrukturisasi hukum ekonomi diharapkan agar ada suatu kepastian hukum, perlindungan pada pihak-pihak yang melakukan transaksi dan law enforcement yang dapat menjamin dilaksanakannya peraturan dalam bidang ekonomi perlu agar supaya ada keamanan dalam berbisnis di Indonesia. Restrukturisasi birokrasi amat penting dilakukan dalam rangka menyehatkan ekonomi Indonesia agar supaya penyimpangan dalam pengelolaan ekonomi yang pernah terjadi di Indonesia tidak terulang lagi. Reformasi birokrasi diperlukan agar supaya birokrasi dapat bekerja dengan efisien, di mana good public governance dapat direalisasikan yang akan mendukung perkembangan bisnis. Restrukturisasi tenaga kerja perlu dilakukan agar supaya pasar tenaga kerja dapat berkembang lebih seimbang dan sehat. Selain itu lapangan pekerjaan dapat ditingkatkan sehingga pengangguran segera dikurangi.
Bagi J. Soedradjat Djiwandono, restrukturisasi perbankan dalam program stabilitas dan pemulihan ekonomi merupakan bagian penting dan mendesak dari restrukturisasi sistem keuangan. Pertama, karena kelemahan perbankan diidentifikasikan sebagai masalah pokok timbulnya krisis, baik oleh mereka yang menganggapnya sebagai panik keuangan dari unsur eksternal yang menjalar menjadi krisis maupun oleh mereka yang menganggap krisis berasal dari kelemahan struktural ekonomi dalam negeri. Kedua, karena peran perbankan dalam sistem pembayaran nasional sangat dominan, maka penularan masalah dari sektor keuangan ke sektor riil berjalan melalui perbankan. Gejolak moneter menjalar ke sektor riil melalui perbankan yang juga menderita masalah struktural sebelumnya.
Dengan demikian, restrukturisasi ekonomi ini diharapkan selain dapat memulihkan ekonomi juga dapat mencapai cita-cita bangsa Indonesia diantaranya dengan membangun perekonomian yang memiliki daya tahan yang kuat (sehat) dan memiliki daya saing tinggi pada tingkat internasional. Untuk itu, Sri Adiningsih berpendapat bahwa ada beberapa agenda penting yang perlu dilakukan oleh Indonesia. Pertama, membangun ekonomi daerah yang kuat sehingga pertumbuhan ekonomi akan lebih merata antar kawasan. Kedua, memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam dengan baik agar supaya sumber kekayaan yang lestari tersebut dapat dimanfaatkan dengan optimal dan berkelanjutan. Ketiga, mengembangkan pasar keuangan yang sehat dan efisien. Untuk itu selain perlu mengembangkan industri perbankan, juga mengembangkan lembaga keuangan non-bank yang sehat dan efisien agar supaya perekonomian tidak terlalu tergantung pada perbankan. Keempat, perlu pengembangan dunia usaha baik sektor primer, sekunder, dan tersier yang lebih berbasis pada input lokal dan berdaya saing tinggi. Kelima, Pemerintah dan Bank Indonesia diharapkan dapat mengelola kebijakan ekonomi yang prudent yang dapat menciptakan iklim ekonomi yang sehat dan efisien. Juga dapat menciptakan iklim pasar yang sehat melalui regulasi, pengawasan, dan law enforcement yang dapat meminilisasi distorsi mekanisme pasar dan menjaga kepentingan nasional. Keenam, perlu adanya pengelolaan aset dan kewajiban negara yang baik agar supaya tidak terjebak ke dalam debt trap dan aset negara dapat dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkelanjutan.
Faisal Basri (2002) menegaskan bahwa bagi pemerintah dengan adanya krisis ini perlu dilakukan beberapa hal. Pertama, perlu pembenahan manajemen pembangunan dan pemerintahan. Kedua, melakukan reformasi pengambilan keputusan. Ketiga, diperlukan pengembangan kelembagaan yang menopang peningkatan dinamika perekonomian yang semakin sehat sehingga bisa menekan biaya transaksi (transaction cost). Keberhasilan menekan biaya transaksi akan memperkokoh keunggulan komparatif bangsa yang pada gilirannya mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Lebih jauh, diungkapkannya pula bahwa dari sisi ekonomi teknis, momentum bagi pemulihan yang berkelanjutan sangat bergantung pada ; pertama, keberhasilan dalam restrukturisasi perbankan untuk menghasilkan struktur perbankan yang sehat dan tangguh, sehingga bisa menjalankan perannya sebagai perantara finansial yang efisien. Kedua, keberhasilan dalam penyelesaian utang swasta yang dikaitkan dengan penyehatan struktur usaha. Ketiga, kelancaran masuknya arus modal dari luar negeri, baik dalam bentuk portfolio maupun penanaman modal langsung. Dalam hal ini peranan BPPN dan kementerian BUMN sangatlah strategis.

Epilog
Krisis ekonomi dan kepercayaan yang melanda Indonesia telah membuka jalan bagi munculnya reformasi ekonomi, karena hanya dengan adanya program reformasi ekonomi ini pada akhirnya akan dapat memacu membangun ekonomi yang memiliki daya tahan yang tinggi baik dari pengaruh eksternal maupun internal sehingga pemulihan ekonomi dapat segera dicapai oleh Indonesia. Selain itu restrukturisasi ekonomi dalam kerangka pemulihan ekonomi ini penting untuk meletakkan dasar-dasar yang diperlukan agar bangsa Indonesia siap menghadapi era pasar bebas dan dapat meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia secara berkelanjutan untuk mencapai cita-cita bangsa pada saat mendeklarasikan kemerdekaannya yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945.

Rujukan :
Anwar Adnan Saleh, dkk. (ed), Pemulihan Ekonomi dan Otonomi Daerah (Refleksi Pemikiran Partai Golkar), LASPI, Jakarta, 2001.
Faisal Basri, Perekonomian Indonesia-Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Indonesia, Erlangga, Jakarta, 2002.
I Putu Gede Ary Suta dan Soebowo Musa, Membedah Krisis Perbankan: Anatomi Krisis dan Penyehatan Perbankan, Sad Satria Bhakti, Jakarta, 2003.
J. Soedradjat Djiwandono, Bergulat Dengan Krisis dan Pemulihan Ekonomi Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001.
---------------------------------, Mengelola Bank Indonesia Dalam Masa Krisis, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2001.