Sabtu, 16 Mei 2009

EKSISTENSI LEMBAGA KEUANGAN MIKRO (LKM) SEBAGAI ALTERNATIF STRATEGI PENGUATAN EKONOMI RAKYAT

Pendahuluan

Fakta membuktikan bahwa ketika krisis[1] melanda bangsa Indonesia, kegiatan ekonomi rakyat kecil dalam bentuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang merupakan bagian terbesar dalam kegiatan ekonomi masyarakat, justru lebih dapat bertahan. Sektor UMKM seolah menjadi pahlawan penyelamat perekonomian bangsa, sehingga berbagai kelangan juga terus mendukung upaya penguatan sektor ini, bahkan tidak jarang disebutkan bahwa masa depan perekonomian Indonesia ada pada sektor UMKM.
Walaupun demikian, disadari bahwa potensi UMKM yang belum dapat tersentuh oleh praktik perbankan formal (unbankable market) adalah sangat besar. Di satu sisi, UMKM menjadi pilar perekonomian rakyat, lebih-lebih pada masa mengatasi dampak krisis ekonomi, tetapi di sisi lain UMKM tidak cukup memperoleh layanan permodalan secara proporsional. UMKM mengharapkan terpenuhinya kebutuhan modal dalam waktu yang tepat, dengan persyaratan yang mudah serta dengan biaya murah, tidak menjadi masalah lembaga keuangan apapun (formal atau informal) asal dapat memenuhi harapan tersebut, akan tetapi harapan ini tidak selalu terpenuhi dengan baik sehingga selalu muncul permasalahan pembiayaan. Sedangkan lembaga keuangan (bank) mengharapkan dapat memberikan layanan keuangan sesuai persyaratan dan prosedur tertentu sebagai parameter baku yang harus dipenuhi, tetapi kembali pada sisi ini UMKM tidak selalu dapat memenuhi ketentuan ini. Pandangan bahwa UMKM tergolong unbankable dan berisiko tinggi dengan tingkat pengembalian yang rendah masih sangat kuat melekat pada lembaga permodalan.
Untuk mendorong ekonomi rakyat ini memang disadari bahwa modal bukan satu-satunya pemecahan, tetapi tetap saja bahwa ketersediaan permodalan yang secara mudah dapat dijangkau pelaku usaha kecil sangat vital, karena pada dasarnya kelompok inilah yang selalu menjadi korban eksploitasi oleh pelepas uang (renteiner atau money lender). Salah satu penyebabnya adalah ketiadaan pasar keuangan yang sehat bagi masyarakat lapisan bawah ini, sehingga setiap upaya untuk mendorong produktivitas oleh kelompok ini, nilai tambahnya terbang dan dinikmati para pelepas uang. Adanya pasar keuangan yang sehat tentu tidak terlepas dari keberadaan lembaga keuangan yang hadir di tengah masyarakat.
Mengingat sebagian besar UMKM adalah usaha skala mikro dan kecil dan di sisi lain banyak yang belum tergarap oleh pembiayaan perbankan komersial akibat kendala bank teknis, maka sudah sepatutnya sektor ini menjadi perhatian sekaligus pasar sasaran (target market) yang potensial bagi bisnis Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Hal ini dikarenakan pertama, usaha ekonomi rakyat skala mikro dan kecil belum seluruhnya dapat dilayani atau dijangkau oleh LKM yang ada; kedua, LKM beradad di tengah masyarakat; ketiga, ada potensi menabung oleh masyarakat karena rendahnya penyerapan investasi di daerah, terutama di pedesaan; dan terakhir, adanya dukungan dari lembaga dalam negeri dan internasional cukup kuat.
Hal ini membuktikan bahwa LKM telah menjadi sarana yang efektif untuk mengembangkan ekonomi rakyat dan memberdayakan rakyat kecil. Keberadaan LKM tersebut ditujukan untuk memenuhi kebutuhan modal dan kebutuhan pelayanan keuangan lain. Oleh karena itu perlu difikirkan cara-cara yang dapat mendorong LKM dapat berkembang secara lebih baik, terutama dalam rangka pemberdayaan dan penguatan usaha ekonomi rakyat.[2]
Lembaga Keuangan Mikro Di Indonesia

Indonesia memiliki reputasi internasional sebagai negara yang telah mengembangkan berbagai bentuk lembaga dengan berbagai bentuk jasa keuangan mikro. Indonesia merupakan laboratorium pasar keuangan mikro terbesar dunia, yaitu dengan indikator tumbuh dan berkembangnya Lembaga Keuangan Mikro mengikuti kebutuhan masyarakat setempat dan sesuai dengan kultur.[3]
Secara historis, LKM telah tumbuh jauh sebelum Republik ini berdiri. LKM terutama yang informal, tumbuh mengakar bersama perkembangan masyarakatnya. Sejak zaman sebelum kemerdekaan, LKM menjadi alternatif bagi kelompok berpenghasilan rendah dalam memenuhi kebutuhan dana mereka. Pada saat itu, LKM tumbuh dan berkembang dalam berbagai variasinya sesuai dengan yang dibutuhkan masyarakat saat itu dengan tanpa adanya intervensi dari pemerintah. Pada perkembangan setelah zaman kemerdekaan, LKM tetap survive di tengah kondisi yang tidak kondusif karena kebijakan pembangunan lebih menyokong pertumbuhan ekonomi yang pro pengusaha besar.[4] Fakta ini cukup menggambarkan bahwa LKM tetap diperlukan dan memiliki daya lentur yang luar biasa mengikuti kebutuhan konstituennya.[5]
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang ada saat ini sangat banyak dan bervariasi, baik ditinjau dari sisi kelembagaan, tujuan pendirian, budaya masyarakat, kebijakan pemerintah maupun sasaran lainnya. Menurut Endang S. Thohari, secara umum LKM di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) jenis yaitu yang bersifat formal dan Informal. LKM formal dalam bentuk Bank terdiri dari BKD, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan BRI Unit, sementara LKM formal non Bank mencakup Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP) dan Koperasi (KSP & KUD). Adapun LKM informal terdiri dari berbagai kelompok dan lembaga swadaya masyarakat (KSM & LSM), Baitul Maal wat Tanwil (BMT), Lembaga Ekonomi Produktif Masyarakat Mandiri (LEPM), Unit Ekonomi Desa - Simpan Pinjam (UED-SP), dan bentuk kelompok lainnya.[6]
Lembaga Keuangan Mikro (LKM), baik formal, semi formal maupun informal merupakan lembaga yang melakukan kegiatan jasa keuangan/ pembiayaan untuk pengusaha mikro dan masyarakat berpendapatan rendah. Jasa keuangan mikro memiliki lingkup yang luas, seperti simpanan, pinjaman, jasa pembayaran, bahkan asuransi, biasanya dalam bentuk yang sederhana. Sebagai lembaga keuangan, LKM berfungsi sebagai lembaga yang menyediakan berbagai jasa keuangan, baik untuk kegiatan produktif yang dilakukan oleh berbagai kegiatan usaha mikro, maupun untuk kegiatan konsumtif keluarga masyarakat miskin.[7]
Sehubungan dengan hal di atas, Faisal Baasir mengemukakan bahwa pada dasarnya Lembaga Keuangan Mikro (LKM) mempunyai karakter khusus yang sesuai dengan konstituennya, seperti :
1. Terdiri dari berbagai bentuk pelayanan keuangan, terutama simpanan dan pinjaman;
2. Diarahkan untuk melayani masyarakat berpenghasilan rendah; dan
3. Menggunakan sistem serta prosedur yang sederhana.
Karakter ini tentu tidak dapat dipenuhi lembaga perbankan.[8]
Keunggulan di atas menyebabkan LKM sangat penting dalam pengembangan usaha ekonomi rakyat karena merupakan sumber pembiayaan yang mudah diakses oleh usaha mikro dan kecil. Posisi LKM dalam pemberdayaan ekonomi rakyat sangat strategis karena 97% usaha ekonomi rakyat adalah usaha mikro yang belum terjangkau pelayanan perbankan. Pada sisi ini LKM dapat didudukkan sebagai energi pemberdayaan ekonomi rakyat, terutama untuk pembentukan proses nilai tambah dan peningkatan taraf hidup lapisan masyarakat bawah.
Pandangan bahwa usaha mikro dan kecil tergolong unbankable dan berisiko tinggi dengan tingkat pengembalian yang rendah masih sangat kuat melekat pada lembaga permodalan. Pada sisi inilah, eksistensi LKM sebagai motor penggerak ekonomi rakyat sangat dibutuhkan, dimana target dan tujuan akhir yang hendak dicapai adalah membuka akses seluas-luasnya bagi kelompok usaha mikro dan kecil agar dapat meningkatkan aktivitasnya dalam hal pembiayaan pengembangan usaha, baik dalam bentuk modal kerja maupun investasi, serta menumbuhkan dan memupuk jiwa kewirausahaan.
Sistem Pembiayaan Mikro Sebagai Alternatif Pembiayaan UMK
Permasalahan klasik yang selalu muncul dalam rangka pemberdayaan ekonomi rakyat yang sebagian besar merupakan usaha mikro dan usaha kecil (UMK), salah satunya adalah masalah permodalan, yang umumnya disebabkan karena keterbatasan akses ke sumber-sumber permodalan, terutama akses ke lembaga keuangan formal seperti bank, disamping keterbatasan pengetahuan atau kemampuan dalam mencukupi kebutuhan prosedur/persyaratan perbankan. Sementara itu skim kredit yang disalurkan secara teknis belum dapat menjangkau bisnis segmen mikro yang sesungguhnya. Di sisi lain lembaga penyalur kredit belum dapat menyediakan fasilitas layanan yang sesuai dengan dinamika usaha mikro. Pandangan bahwa usaha mikro dan kecil tergolong unbankable dan berisiko tinggi dengan tingkat pengembalian yang rendah masih sangat kuat melekat pada lembaga permodalan.
Melihat kenyataan di atas, maka pemberdayaan usaha ekonomi mikro menjadi suatu keharusan, karena hal itu mencakup sekelompok warga negara Indonesia yang selama ini belum diuntungkan dalam proses pembangunan, tetapi juga bagaimana mewujudkan kemakmuran yang berkeadilan bagi seluruh warga masyarakat, bukan orang per orang. Untuk menuju ke arah ini, Faisal Baasir berpendapat bahwa LKM jelas butuh dukungan pemerintah dari sisi kebijakan yang dapat mendorong lebih aktif penguatan LKM, terutama yang informal. LKM memerlukan “ruang” agar dapat bergerak leluasa. Dalam konteks ini, pemerintah yang ideal adalah menjadi fasilitator dan promotor pembiayaan mikro dan menjadi pihak yang mampu menghentikan capital flow dari desa.[9]
Dalam tataran kebijakan, salah satu bentuk keberpihakan yang perlu dilakukan adalah merancang skim pembiayaan mikro yang sesuai dengan karakteristik usaha mikro. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa dengan akses pada sumber keuangan (modal) dalam bentuk kredit/pinjaman, maka kelompok usaha mikro akan dapat mengoptimalkan sumberdaya yang ada pada dirinya, yang pada gilirannya dapat meningkatkan produktifitas, volume usaha dan pendapatan. Dengan demikian perataan akses pada permodalan merupakan salah satu cara untuk perataan pendapatan. Bahkan akses pada permodalan dalam bentuk kredit/pinjaman merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana hak-hak asasi lainnya.[10]
Dewasa ini industri keuangan telah berkembang pesat, bukan hanya ragam dan jumlah lembaga keuangan tetapi juga instrumen dan infrastruktur keuangan. Semua ini merupakan aset untuk dapat dimanfaatkan oleh usaha mikro dan kecil. Hal ini menunjukkan keberpihakan dukungan lembaga pembiayaan untuk penuhi kebutuhan modal usaha. Meskipun demikian, yang utama dan terpenting adalah bahwa bukan hanya dalam rangka memenuhi kebutuhan modal usaha dalam arti kuantitas, akan tetapi membangun sistem pembiayaan yang melembaga dan cocok bagi usaha mikro dan usaha kecil. Dalam membangun sistem pembiayaan yang cocok bagi usaha mikro dan usaha kecil diperlukan dasar pertimbangan yang objektif dan proporsional. Dasar pertimbangan ini mencakup kepentingan usaha mikro dan usaha kecil maupun lembaga keuangan sehingga sistem pembiayaan yang tepat adalah suatu yang memang dibutuhkan dan bukan suatu eksklusifisme.
Muhammad Taufiq berpendapat bahwa perkembangan sistem pembiayaan mikro secara garis besar ada 2 (dua) jalur. Pertama, sistem ini lahir dan merupakan bagian dari sistem sosial-kultural masyarakat. Sistem ini bersifat mandiri dan mengakar kuat di tengah-tengah masyarakat. Bentuk konkrit penerapan sistem ini diantaranya pola arisan dan gotong royong. Kedua, sistem pembiayaan mikro yang tumbuhnya diprakarsai melalui program pemerintah. Ada kaitan kepentingan antara motif dan kepentingan pembangunan dengan pendirian lembaga keuangan mikro. Walaupun latar belakang pendiriannya berbeda, keduanya memiliki muara sama, yaitu melayani kebutuhan permodalan usaha mikro dan usaha kecil yang tidak memenuhi syarat dan akses dengan lembaga keuangan formal.[11]
Pengalaman menunjukkan bahwa sistem pembiayaan mikro dengan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) sebagai lokomotifnya merupakan pendekatan terbaik dalam upaya pemberdayaan dan pengembangan usaha ekonomi rakyat khususnya usaha mikro. Fakta sejarah telah membuktikan bahwa LKM sebagai garda terdepan dalam penguatan ekonomi rakyat kecil melalui sistem pembiayaan dengan pola pembiayaan mikro, telah memberikan kontribusi positif dan pola ini diyakini sebagai suatu sistem pembiayaan yang “tepat” bagi usaha mikro.
Sistem pembiayaan mikro yang pada umumnya dimotori oleh LKM secara sepintas terkesan kurang profesional, memiliki cakupan sempit dan hanya berpusar pada layanan dalam skala sangat sempit. Menurut Muhammad Taufiq, kesan seperti ini tidak keliru, keberadaan sistem pembiayaan mikro justru ditopang oleh faktor sosial-kultural yang berintegrasi dengan pertimbangan komersial, menciptakan bangun sistem pembiayaan yang mengakar dan memiliki daya tahan kuat yang tidak selalu ditemukan pada sistem pembiayaan formal.[12]
Dengan mendasarkan fakta bahwa sebagian besar ekonomi rakyat adalah usaha skala mikro dan kecil (UMK) maka sistem pembiayaan mikro yang digerakkan oleh LKM merupakan kebutuhan dan pilihan pembiayaan bagi pelaku ekonomi rakyat. Belajar dari pengalaman dan ketangguhan sistem pembiayaan mikro, maka dapat diidentifikasi beberapa nilai kunci. Pertama, sistem pembiayaan mikro tumbuh di atas nilai kemandirian. Kedua, sistem pembiayaan mikro menempatkan aspek sosial-kultural sebagai pilarnya, disamping juga pertimbangan komersial. Ketiga, dilihat dari segi proses penumbuhan, sering sistem pembiayaan mikro pada mulanya sebagai instrumen pembangunan pedesaan atau wilayah.[13]
Memang disadari bahwa pengertian pembiayaan mikro dapat diartikan bermacam-macam, karena memang produk pembiayaan mikro sendiri tidak homogen dan lembaga pelaksanaannya juga bermacam-macam ditinjau dari segi sifat dan status legalnya. Perbedaan-perbedaan ini juga merupakan ciri segmentasi pasar yang perlu dipahami dan bahkan dapat dilihat sebagai mekanisme fungsional dalam pembagian pasar dan target sasaran. Pemahaman ini diperlukan bagi penetapan kebijakan sesuai kelompok sasaran yang hendak dituju. Meskipun program pengenalannya juga sangat terkait dengan munculnya tantangan yang dihadapi masyarakat, namun demikian pembiayaan mikro dengan gerbong lokomotifnya LKM diyakini tetap mempunyai universalitas sebagai penyedia jasa keuangan bagi usaha mikro dan usaha kecil.
Perlunya Legal Framework : Strategi Menuju Penguatan LKM
Keberhasilan sistem pembiayaan mikro tercermin pada tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga keuangan mikro (LKM) yang dimiliki dan dikelola oleh anggotanya (masyarakat), yang mampu memberikan layanan keuangan secara profesional dan maju. LKM merupakan kelembagaan yang diharapkan mempunyai profile yaitu sebagai lembaga “sosial” yang berpihak kepada usaha mikro dan kecil (UMK), tanpa harus memandang apakah bersifat bankable atau tidak, akan tetapi sekaligus sebagai lembaga komersial yang harus tetap survive dan berkembang secara konsisten, sehingga dituntut efisien dan efektifitas dalam kegiatan operasinya.
Sesuai dengan visi LKM untuk menyediakan jasa layanan keuangan kepada masyarakat berpenghasilan rendah dan usaha mikro, maka misi pengembangan LKM adalah menciptakan industri keuangan mikro yang sehat dan berkelanjutan (sustainable) dengan tetap berorientasi pasar. Strategi untuk mencapai struktur keuangan mikro tersebut perlu didukung oleh tersedianya kelembagaan yang memadai. Minimal kelembagaan tersebut mencakup penguatan aspek regulasi (payung hukum) dan penguatan institusional kelembagaan (capacity building). Berpijak pada pemahaman bahwa pengelompokan LKM ke dalam tiga kategori yaitu dananya tergantung pada pihak lain; dananya berasal dari anggotanya; dan memanfaatkan dana tersebut untuk membiayai usaha mikro, maka penguatan LKM ditujukan untuk menjawab isu pengaturan yang mempengaruhi operasionalisasi dan pengembangan institusi LKM.
Indonesia memiliki puluhan ribu Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang berperan sebagai motor ekonomi kerakyatan. Walaupun demikian, LKM beroperasi tanpa kerangka hukum nasional.[14] Untuk mendanai pelayanan kredit kepada nasabahnya, banyak LKM berhasil menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya. Pada sisi ini LKM telah melakukan fungsi intermediasi keuangan seperti halnya yang dilakukan perbankan. Padahal menurut ketentuan Undang-Undang Perbankan, fungsi intermediasi yang dijalankan LKM jelas-jelas melanggar aturan tersebut. Fungsi intermediasi hanya boleh dilakukan oleh bank atau kegiatan itu telah diatur dengan undang-undang yang lain.
Siti Sundari N. mengemukakan bahwa lembaga intermediasi yang ada dibedakan dalam 3 (tiga) kategori yakni ; pertama, berbentuk bank tunduk pada Undang-Undang Pokok Perbankan; kedua, berbentuk Koperasi Simpan Pinjam (KSP) tunduk pada Undang-Undang Koperasi; dan ketiga, Lembaga Keuangan Mikro (LKM) lainnya yang belum diatur dengan undang-undang.[15] Lembaga keuangan yang berbentuk bank16 diatur dengan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah disempurnakan dengan UU No. 10 Tahun 1998. Lembaga yang berbentuk koperasi diatur dengan UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil dan PP No. 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi. Sedangkan LKM lainnya yang bukan atau tidak termasuk bank maupun koperasi belum ada ketentuan atau UU yang mengaturnya. Oleh sebab itu, ribuan LKM yang tersebar di seluruh Indonesia secara eksistensial berada di daerah abu-abu atau dengan bahasa yang lebih ekstrim beroperasi secara gelap. Kenyataan ini sesunggunya merupakan sebuah ironi bahwa keberadaan LKM yang oleh masyarakat kecil dianggap sebagai dewa penyelamat, justru keberadaannya dimata hukum sangat lemah dan kurang diakui sebagai suatu lembaga pembiayaan ekonomi berbasis pada rakyat kecil berpenghasilan rendah.
Dengan menyadari kenyataan ini, maka salah satu bentuk apresiasi bagi LKM sebagai gerbong lokomotif bagi sebagaian besar pelaku ekonomi rakyat terutama usaha mikro dan kecil serta masyarakat yang berpenghasilan rendah, adalah dengan menyediakan suatu kerangka hukum (legal framework) sehingga akan lebih dapat memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi LKM dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga pembiayaan mikro. Legal framework ini diperlukan untuk menciptakan “level playing field” dalam pengaturan dan pengawasan bagi seluruh LKM yang tersebar di seluruh Indonesia.
Maulana Ibrahim dalam kapasitasnya sebagai seorang Deputi Gubernur BI berpendapat bahwa penyediaan legal framework ini setidaknya dilatar belakangi oleh 2 (dua) hal yakni : Pertama, UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah disempurnakan dengan UU No. 10 Tahun 1998, menyatakan bahwa setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau BPR dari Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri; Kedua, tidak adanya kejelasan aspek hukum bagi LKM mengakibatkan terhambatnya pengembangan LKM, misalnya dalam memenuhi persyaratan bank, apabila LKM bermaksud melakukan ekspansi kegiatan dengan meminjam dana dari bank.[17]
Sejalan dengan trend internasional18 yang memberikan perhatian penuh pada upaya penguatan LKM, secara simultan saat ini pemerintah Indonesia bersama DPR RI telah menggodok konsep Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Lembaga Keuangan Mikro dengan tujuan untuk memberikan payung kepastian hukum bagi industri LKM nasional khususnya LKM non bank, yang dalam perjalanan sejarahnya terbukti telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi tumbuh kembangnya usaha mikro dan kecil yang selama ini memiliki keterbatasan akses pada perbankan.
Konsep Rancangan Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro (RUU LKM) pada dasarnya disusun dengan pokok-pokok pikiran sebagai berikut : [19]
  1. RUU ini akan memberikan dasar hukum bagi LKM yang telah ada, mendukung pembentukan LKM baru, melindungi deposan dan mengatur perizinan (oleh Lembaga Pengawas) bagi LKM dengan mobilisasi dana publik sampai dengan jumlah tertentu, LKM tunduk pada ketentuan kehati-hatian yang ditetapkan oleh Lembaga Pengawas dan LKM wajib mengikuti program penjaminan yang akan diatur lebih lanjut oleh Lembaga Pengawas. Selain itu, diatur pula bahwa LKM yang memobilisasi dana di atas Rp 1 milyar wajib memperoleh izin sebagai BPR atau koperasi[20].
  2. Lembaga Pengawas berhak memberikan izin, mengatur dan mengawasi LKM, dapat mendelegasikan perizinan dan pengawasan kepada Pemda atau instansi lain yang dianggap mampu. Dalam hal Lembaga Pengawas belum terbentuk, instansi yang berwenang akan mengeluarkan pengaturan terkait.

Menurut pendapat kritis Faisal Baasir, setidaknya ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian berkaitan dengan rencana pemerintah mengeluarkan UU Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Pertama, RUU LKM harus mampu menjawab dengan jelas siapa pihak yang akan dilindung. Kedua, posisi LKM harus jelas, apakah berada di bawah dan tunduk kepada Bank Indonesia yang menjadi fasilitator, kepada Departemen Dalam Negeri yang memberikan perizinan, atau tengah menjadi rebutan instansi lain? Sementara sisi lain, pemerintah menyebut dirinya sebagai fasilitator, regulator, dan pengawas namun pada sisi lain menyebut dirinya sebagai pemilik. Sikap ini berpotensi memunculkan konflik kepentingan. Kalau sampai terjadi, bagaimana sebenarnya posisi LKM? Lebih jauh lagi, bagaimana dengan nasabahnya? Ketiga, siapa yang paling diuntungkan bila LKM diformalkan, apakah masih bisa seirama dengan kultur dan budaya masyarakat berpenghasilan rendah?[21]
Terkait masalah pengaturan LKM non bank dalam suatu undang-undang, terdapat aras pendapat yang berkembang bahwa LKM-LKM yang kecil dan menghimpun tabungan masyarakat dalam jumlah kecil tidak perlu diatur dan diawasi oleh pemerintah. Sedangkan, LKM-LKM yang telah menjalankan kegiatan intermediasi keuangan dan telah berhasil menghimpun tabungan masyarakat dalam jumlah berarti perlu diatur dan diawasi oleh pemerintah dengan alasan bahwa kredit tersebut juga bersumber dari lembaga keuangan lain sehingga perlu diatur mengenai kewajiban pencadangan terhadap kredit tersebut.
Pendapat ini sesungguhnya merupakan pendapat yang kurang bijaksana karena jika masih ada dikotomi dalam penyediaan regulasi antara LKM sebagaimana yang dikemukakan di atas, justru pada akhirnya secara substansial tidak akan mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang melingkupi LKM. Pendapat yang demikian harus dapat memahami bahwa kegagalan LKM dapat berdampak terhadap sistem keuangan secara keseluruhan sehingga kerangka pengaturan yang akan dirumuskan harus mendapat dukungan efisiensi usaha dan tingkat kesehatan LKM sesuai standar internasional serta mendukung pengelolaan usaha secara sehat.
Kalau boleh dikatakan bahwa sebenarnya Indonesia dikategorikan sebagai salah satu negara terkaya di dunia karena melimpahnya hasil sumber daya alamnya, justru kenyataan memperlihatkan bahwa Indonesia pun sampai saat ini sebagai salah satu negara yang masih sulit mengatasi masalah kemiskinan yang dialaminya. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya komitmen dan political will pemerintah dalam mengatasi masalah ini. Berbagai kebijakan telah dilaksanakan, namun tidak juga mampu menghasilkan perubahan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai program pembiayaan mikro yang dibuat silih berganti dalam rangka mengendalikan tingkat kemiskinan, yang tidak satu pun mampu menyelesaikan masalah ini secara substansial. Tetap saja masyarakat kecil yang menjadi korban atas penerapan kebijakan tersebut. Kebijakan yang ditelorkan cenderung ambivalen, cenderung populis, karitatif, service lips dan semu belaka. . Oleh karena itu, untuk memperoleh kepastian hukum yang jelas serta menghindari terjadinya pengaturan yang membingungkan pada tingkat implementasinya tentang LKM baik antara LKM formal berbentuk bank dan non bank (koperasi) yang tunduk pada UU Perbankan dan UU Perkoperasian dengan LKM informal yang akan tunduk pada UU LKM nantinya serta kebingungan akan lembaga yang mengawasinya, maka yang pertama-tama yang harus dilakukan adalah mengambil tindakan berani untuk memberikan “status darurat” bagi masalah penguatan ekonomi rakyat khususnya bagi sektor usaha ekonomi mikro yang sebagian besar dijalankan oleh rakyat Indonesia.
Hal ini dilakukan mengingat bahwa masalah kemiskinan dan keterbatasan akses yang melingkupi sebagian besar pelaku ekonomi rakyat sebagai salah satu masalah krusial pemerintah dan seluruh elemen masyarakat dunia saat ini secara realitas belum dapat teratasi, meskipun dengan berbagai strategi dan pendekatan program mumpuni telah diberikan. Kebijakan yang dianut pemerintah Orde Baru dengan pola trickle down efeck disatu sisi pembangunan ekonomi berhasil memacu pertumbuhan yang cukup tinggi, namun disisi lain “GAGAL” mewujudkan pemerataan dan keadilan serta memunculkan jurang kemiskinan yang semakin tajam dan kesenjangan yang terus melebar.
Secara teoritis, memang pemerintahan Orde Baru sangat mendukung upaya perlindungan bagi usaha ekonomi mikro. Namun dalam implementasinya masih sangat diskriminatif. Produk Orba, misalnya, telah ada UU No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil. Dalam Pasal 6 UU ini disebutkan bahwa pemerintah menumbuhkan iklim usaha bagi usaha kecil. Bahkan pemerintah pun membuat kebijaksanaan yang mewajibkan BUMN menyisihkan labanya 1 hingga 5 persen untuk membantu usaha kecil. Di kalangan konglomerat sendiri telah ada kelompok tersendiri yang bergerak membantu usaha kecil seperti kelompok Jimbaran yang memberikan bantuan dalam bentuk modal untuk pengembangan usaha kecil, tetapi kalau mau jujur bantuan kelompok Jimbaran ini hanya membantu kelompok usaha kecil yang mereka ciptakan sendiri dalam rangka untuk mengembangkan ekspansi bisnis mereka juga.
Dalam pandangan Azwir Dainy Tara, cara-cara seperti ini memperlihatkan bahwa upaya memberdayakan dan memperkuat skala usaha kecil hanyalah sebuah kepura-puraan. Semangatnya masih sekedar simbolisme. Padahal, dari segi substansialnya belum ada usaha-usaha yang runtut dan sistematis baik dari pemerintah maupun para konglomerat dalam mengembangkan usaha kecil. Inilah yang membuat terjadinya kesenjangan antara ekonomi rakyat dengan konglomerat pada masa lalu.[22] Karena itu, pemerintah harus memberi perlindungan kepada pelaku usaha ekonomi rakyat yang memungkinkan mereka untuk memperkuat kedudukan dan peran ekonomi secara nasional. Dengan demikian pelaku ekonomi rakyat mampu menikmati apa yang mereka hasilkan dan seterusnya mampu menghasilkan untuk dinikmati oleh sebagian besar rakyat secara berkesinambungan.
Pemberdayaan usaha ekonomi mikro dengan demikian menjadi suatu keharusan, karena hal ini mencakup sekelompok warga negara Indonesia yang selama ini belum diuntungkan dalam proses pembangunan, tetapi juga bagaimana mewujudkan kemakmuran yang berkeadilan bagi seluruh warga masyarakat, bukan orang per orang sebagaimana yang dipolakan pemerintahan terdahulu. Ekonomi rakyat terutama yang bersifat mikro harus terus menerus dikembangkan agar dapat menjadi kekuatan ekonomi yang berkembang dengan cepat. Untuk mendukung cita-cita ini yang juga sebagai wujud amanat konstitusi UUD 1945, tidak hanya diperlukan dukungan politis berupa kebijakan pemerintah yang tetap tetapi juga perlu mendapat dukungan dari segenap elemen kritis bangsa, melalui terobosan-terobosan berani, tepat, terarah dan sesuai.
Pada dasarnya pemberlakuan “status darurat” ini, merupakan wujud pengejewantahan amanat rakyat yang dihasilkan melalui Sidang Istimewa bulan Nopember 1998, MPR mengeluarkan TAP MPR No. XVI/MPR1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi dan pada Sidang Umum MPR 1998 dihasilkan TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN serta UU No. 25 Tahun 2000 tentang Propenas. Faisal Baasir mengemukakan bahwa TAP MPR No. XVI/MPR1998 yang disebut sebagai Tap Ekonomi Kerakyatan misalnya, menyebut ekonomi rakyat dua kali dan satu kali kata pertanian rakyat. Selanjutnya, kata sistem ekonomi kerakyatan mulai disebut dalam TAP MPR No.IV/1999 yaitu dalam misi dan arah kebijakan. Dalam Tap ini setidaknya disebutkan dua kali kata ekonomi kerakyatan.[23]
Disadari bahwa dalam dalam GBHN memang belum secara jelas memberikan pengertian dan ciri-ciri dasar dari sistem ekonomi kerakyatan. Meskipun demikian, pembangunan ekonomi rakyat khususnya usaha ekonomi mikro[24] telah menjadi amanat konstitusi yang harus dilaksanakan dan tidak boleh ditunda-tunda, karena bukan saja, upaya-upaya pemberdayaan ekonomi rakyat sebelum krisis belum sepenuhnya berhasil, tetapi telah keburu diterjang krisis, sehingga ekonomi rakyat ikut terpengaruh perkembangannya.
Dengan adanya “status darurat” ini, maka legal framework LKM yang dibuat dan digagas pemerintah “harus” mengatur secara “totalitas” seluruh aspek yang melingkupi pengelompokan LKM itu sendiri. Artinya bahwa, untuk menghindari dikotomi antara LKM yang telah dikemukakan di atas, yang justru dapat berpotensi membuat legal framework LKM itu menjadi rancu, tumpang tindih, sangat birokratis dan dapat dijadikan sebagai celah kelemahan hukum yang dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, maka hal mendesak harus dilakukan adalah membuat pengaturan semua LKM-LKM tersebut dalam satu produk undang-undang yang utuh.[25]
Teknisnya, tidak perlu lagi ada pembedaan LKM formal (bank dan non bank) dan informal yang tunduk pada produk perundang-undangan yang berbeda. Keberadaan UU ini merupakan suatu produk hukum yang khusus dan lahir dari keadaan yang khusus pula. Dengan demikian, semua yang masuk dalam kategori LKM idealnya harus tunduk hanya pada satu undang-undang yaitu UU LKM, sehingga muatan nilai-nilai dasar LKM yang tertuang dalam RUU LKM harus dikoreksi ulang dan disesuaikan dengan urgensi kepentingan LKM.
Dengan hadirnya UU LKM ini, paling tidak akan menyingkirkan berbagai hambatan yang masih membelenggu tumbuh kembangnya berbagai LKM formal. Sebagai contoh, eksistensi BPR sebagai suatu LKM formal berbentuk bank yang tunduk pada UU Perbankan, namun dalam praktiknya masih terdapat sejumlah perangkat hukum yang membelenggu operasionalisasi BPR. Setidaknya hingga saat ini ada beberapa perundangan yang menghambat BPR seperti UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan khususnya pada Pasal 12 A, UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (PT) pada Pasal 79 ayat (2).
Dalam UU LKM harus ditegaskan bahwa ada dua fungsi yang dilakukan LKM untuk mengembangkan UMK dari sisi pembiayaan, pertama, memberikan kredit atau pembiayaan secara langsung kepada UMK yang belum terjangkau oleh bank; dan kedua, memberikan bantuan teknis (technical assistance) kepada UKM di bidang usaha sesuai kebutuhan. Dengan fungsi LKM seperti ini, maka fungsi, kegiatan dan pemberdayaan UMK yang saat ini tersebar dapat konsolidasikan dan dikelola secara terpadu.
Pada sisi lain, untuk menjawab tentang urgensi Lembaga Pengawasan LKM, Lembaga Pengawasan LKM apapun namanya tetap diperlukan untuk menjamin jalannya fungsi LKM telah sesuai dengan karidor hukum an sich. Lembaga ini juga berfungsi sekaligus sebagai lembaga penjamin simpanan seperti halnya dalam LPS bagi perbankan. Lembaga Pengawasan LKM ini dibentuk berdasarkan usulan pemerintah yang selanjutnya mendapatkan pengesahan dari DPR dengan anggota yang berasal pemerintah, DPR, LSM dan komunitas LKM sendiri. Pembentukan lembaga ini bukan suatu eksklusifisme, tetapi sesungguhnya merupakan suatu komitmen dan moral hazard yang jelas dalam melakukan penguatan LKM.
Pengalaman di beberapa negara maju menunjukkan komitmen pemerintah setempat dengan mendirikan lembaga khusus yang menangani masalah pembiayaan mikro. Lembaga ini mendapat dukungan penuh dari pemerintah, baik dari segi politik maupun finansial. Di Amerika Serikat misalnya, ada lembaga yang disebut Small Business Administration (SBA), sedangkan di Jepang ada Japan Small Medium Business Corporation (JASMEC). Lembaga-lembaga ini dikelola secara profesional atas dasar kebijakan hukum yang ditetapkan pemerintah. Dalam konteks Indonesia, kondisi ini akan tercapai jika kebijakan hukum yang mengatur tentang LKM dibuat dalam suatu undang-undang yang jelas dan komprehensif.[26]
Dalam perspektif hukum, pengaturan hukum LKM secara khusus dalam satu UU yang secara komprehensif mengatur LKM tanpa adanya pengaturan khusus dari produk UU yang telah ada sebelumnya, sangat dimungkinkan dengan berlandaskan pada ketentuan mengenai lex specialis yaitu bahwa UU yang bersifat spesialis hanya ditujukan untuk suatu orang tertentu atau kelompok orang tertentu atau menurut waktu tertentu atau tempat dan keadaan tertentu. Dalam konteks ini, kajian tentang UU LKM sebagai suatu undang-undang yang utuh mengatur LKM secara keseluruhan harus dilihat sebagai suatu hukum yang bersifat normative-kontekstual, artinya kajian ini dilakukan dengan berdasarkan dan pertimbangan faktor implikasi terhadap sisi kondisi UMK dan kehidupan di sektor lembaga keuangan mikro itu sendiri.
Pendekatan pemikiran ini secara teoritis mengacu kepada teori sosiologi hukum yang secara khusus mempersoalkan efektivitas27 suatu perundangan di dalam kenyataan masyarakat. Sosiologi hukum mengedepankan keberhasilan tersebut dalam dan untuk kepentingan masyarakat yaitu sejauh manakah “pemberlakuan hukum” dapat diterima oleh para stakeholder, dan diakui sebagai suatu kewajiban bagi mereka yang menaatinya. Dalam konteks masalah-masalah yang menyangkut keuangan dan perbankan, pendekatan sosiologi hukum memang perlu diimbangi dengan pendekatan sosiologi politik yaitu seberapa jauh pengakuan stakeholder atas suatu UU memberikan dampak positif terhadap fungsi dan peranan hukum dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum yang sama di kemudian hari. Pendekatan ini merupakan pendekatan baru yaitu memelihara “keseimbangan” antara kepentingan stakeholder di satu sisi dan kepentingan “negara” di sisi lain dalam mengatasi kasus-kasus yang sama pada waktu dan tempat tertentu. Orientasi pendekatan ini ditujukan untuk membentuk ius constituendum dengan bertolak pada ius constitutum.
Seyogyanya kita tidak hanya melihat hukum dalam wujud sempit. Pemahaman tentang kepastian hukum pun hendaknya jangan sekedar dipahami sebagai kepastian undang-undang, melainkan kepastian bahwa rasa keadilan rakyat akan selalu tidak diabaikan dalam setiap kebijakan dan keputusan dalam pembuatan produk hukum.[28] Mungkin saja penulis keliru dalam memahami hukum yang sebenarnya, akan tetapi kerangka berpikir yang demikian nampaknya dibutuhkan paling tidak sebagai wujud pemikiran kritis dalam membongkar berbagai kebijakan yang selama ini dirasakan bias dan kurang menunjukkan berpihak pada penguatan ekonomi rakyat. Penulis meyakini pameo latin yang menyatakan bahwa “equum et bonum est lex legum” (apa yang adil dan baik, adalah hukumnya hukum).
Sementara itu, sejalan dengan semangat implementasi otonomi daerah sebagaimana yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999, menarik untuk mengkaji suatu gagasan bahwa RUU Lembaga Keuangan Mikro dijadikan payung bagi LKM di seluruh Indonesia yang mengatur pokok-pokok ketentuan LKM, sedangkan ketentuan mengenai operasional perlu didesentralisasikan kepada masing-masing Pemerintah Daerah yang lebih mengenal karakteristik masing-masing LKM diwilayahnya melalui suatu Peraturan Daerah (Perda).[29]
Gagasan tersebut perlu didukung sebab berangkat mainsteam pemikiran bahwa peningkatan aksesibilitas dan keterkaitan usaha mikro dan kecil saja tidak cukup untuk menjamin terwujudnya demokrasi ekonomi yang bertumpu pada penguatan ekonomi rakyat, tetapi diperlukan dukungan pranata hukum yang memadai, yang dijunjung tinggi oleh setiap orang, menjamin rasa keadilan dan mampu menjamin bahwa setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum. Oleh karena itu beberapa produk hukum yang saat ini sudah tidak sesuai dengan semangat dan jiwa pemberdayaan masyarakat handaknya segera dirubah.
Indonesia sebagai suatu unitary state menganut kombinasi antara unsur pengakuan kewenangan bagi daerah untuk mengelola segenap potensi yang dimilikinya secara mandiri dipadukan dengan unsur kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah pusat perlu menyadari bahwa penekanan yang berlebihan akan membawa ke arah resentralisasi diam-diam yang merupakan antitesis terhadap semangat desentralisasi. Dalam perspektif ini, seyogyianya berbagai produk hukum yang dihasilkan pemerintah pusat harus lebih mempertimbangkan kenyataan kemejemukan yang ada di daerah dengan tetap mengedepankan wawasan nusantara sebagai main spirit bangsa. Artinya bahwa produk hukum yang dihasilkan pemerintah bersama rakyat yang direpresentasikan oleh DPR sebagai suatu keputusan politik hukum mestinya lebih memahami kearifan-kearifan lokal sebagai ciri khas dari masyarakat daerah.
Dalam kerangka berpikir yang demikian, maka pengaturan LKM dalam bentuk undang-undang ini, perlu dilatarbelakangi oleh motivasi untuk mengembangkan keuangan mikro itu sendiri, memberikan landasan hukum dan memberikan kejelasan pengaturan bagi kepentingan publik berkaitan dengan kegiatan yang dilakukan LKM. Filosofi pengaturan LKM didasari pada pemahaman bahwa LKM tidak akan berkembang tanpa adanya kebijakan yang kondusif.30 Oleh karena itu, undang-undang LKM dipandang perlu mengatur keuangan mikro secara komprehensif dengan tujuan memberikan perlindungan bagi deposan kecil dan untuk meningkatkan kemampuan LKM dalam rangka menyediakan layanan keuangan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan miskin serta para pengusaha mikro. Disinilah critical point yang mesti menjadi landasan berpikir dalam rangka pengambilan politik hukum penguatan LKM.

Penutup

Terlepas dari segenap potensi perbedaan yang mengemuka seiring dengan rencana kehadiran legal framework LKM, keharusan akan hadirnya UU LKM sangat diperlukan segera terutama dalam rangka memberikan perlindungan bagi jutaan deposan kecil yang menggunakan jasa keuangan LKM. Di samping itu, juga akan lebih memberikan arah dan strategi yang jelas bagi upaya penguatan LKM sebagai motor penggerak ekonomi rakyat, melalui pola sistem pembiayaan mikro yang oleh pelaku usaha mikro dan kecil serta masyarakat berpenghasilan rendah, menilainya sebagai lembaga pembiayaan yang dapat diterima dan cocok sebagai alternatif pembiayaan usaha mereka.
Adanya kerangka hukum yang memadai bagi LKM, akan lebih menjamin iklim kondusif bagi tumbuh kembangnya usaha ekonomi rakyat, sehingga secara konsisten membantu pemerintah mengatasi masalah sosial ekonomi masyarakat kecil. Hal lain yang juga jadi penekanan bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian dari tatanan masyarakat dunia, maka kehadiran UU LKM ini justru akan lebih memberikan kepastian bagi mengalirnya dukungan pembiayaan dari para donor asing yang peduli dengan masalah-masalah ketidakberdayaan masyarakat kecil/ miskin. Para donor penyandang dana meyakini bahwa dengan tersedianya kerangka hukum yang memadai, telah memberikan kepastian akan bantuan yang diberikannya akan sesuai dengan tujuan-tujuan yang diinginkannya.

Catatan/End Note
[1] Krisis ekonomi di Indonesia pada dasarnya dipicu oleh efek ketularan (contagnion effect) krisis Asia Timur yang dimulai dengan jatuhnya nilai rupiah terhadap dollar USA akibat dana jangka pendek (shortime capital) yang ditarik keluar negeri. Krisis ekonomi dan moneter ini kemudian berlanjut menjadi krisis kepercayaan kepada pemerintah. Di samping itu, krisis ekonomi dan moneter tersebut berdampak pada krisis perbankan nasional, Anggito Abimanyu, Ekonomi Indonesia Baru : Kajian dan Alternatif Solusi Menuju Pemulihan, Alex Medio Komutindo, Jakarta, 2000, hlm. 1.
[2] Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa kegagalan mengembangkan ekonomi rakyat ini berakibat pada kegagalan mengembangkan ekonomi nasional secara menyeluruh. Sebaliknya, jika pemerintah dapat mengembangkan dan memajukan usaha kecil, maka secara keseluruhan perekonomian nasional juga akan dapat bengkit dan berkembang pula. Kenapa? Karena UKM merupakan napas perekonomian bangsa secara menyeluruh. Lihat uraian ini dalam buku Azwir Dainy Tara, Strategi Membangun Ekonomi Rakyat Masa Sulit Pasti Berlalu, Nuansa Madani, Jakarta, 2001, hlm. 111.
[3] Maulana Ibrahim, Kerangka Hukum Dalam Memperkuat Dan Mengembangkan Lembaga Keuangan Mikro Di Indonesia, Makalah disajikan dalam Diskusi Panel pada Acara Temu Nasional dan Bazaar Pengembangan Keuangan Mikro tanggal 23 Juli 2002, hlm. 2.
[4] Selama lebih setengah abad bangsa Indonesia menerapkan kebijakan ekonomi yang jauh dari semangat kerakyatan. Hal itu dapat dilihat dari kebijakan pemerintah Orde Baru yang terlalu mengutamakan dan mengistimewakan segelintir kelompok pengusaha besar yang diberi kesempatan seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya untuk mengembangkan usahanya. Pertumbuhan ekonomi pun digenjot. Mereka diberi kemudahan dan fasilitas untuk melakukan ekspansi bisnis. Kredit-kredit milyaran bahkan triliunan rupiah dikucurkan pada mereka tanpa agunan. Di samping itu, para konglomerat memonopoli komoditas-komoditas tertentu yang dibutuhkan orang banyak. Namun sejalan dengan fakta kesejarahan, strategi pembangunan ekonomi Rostow yang dianut oleh Indonesia dengan paradigma trickle down effect ternyata hanya membuahkan kegagalan. Lihat uraian ini dalam Azwir Dainy Tara, op.cit., hlm. 103-104.
[5] Lihat Faisal Baasir, Pembangunan dan Krisis : Kritik dan Solusi Menuju Kebangkitan Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2003, hlm. 25-26.
[6] Endang S. Thohari, Peningkatan Aksesibilitas Petani Terhadap Kredit Melalui Lembaga Keuangan Mikro, Makalah Disampaikan pada Seminar Sehari Strategi Pengembangan dan Pemberdayaan UKM, Bogor, 18 Januari 2002, hlm. 4.
[7] Maulana Ibrahim, loc.cit.
[8] Faisal Baasir, op.cit., hlm. 25.
[9] Ibid., hlm. 26. Membangun sektor UMKM memang bukan hanya hanya tanggung jawab pemerintah atau lembaga keuangan saja, tetapi merupakan tanggung jawab semua elemen bangsa bersama, namun dalam hal akses UMKM ke sektor permodalan tampaknya mau tidak mau harus menjadi tanggung jawab pemerintah dan terutama lembaga-lembaga keuangan dalam berbagai jenis tingkatannya. Sebagaimana dipaparkan oleh Marsuki, Analisis Sektor Perbankan, Moneter dan Keuangan Indonesia, Yayasan Massaile dan Bosowa Group, Makassar, tanpa tahun, hlm. 66.
[10] Mat Syukur, Membangun Lembaga Keuangan Mikro Agro Yang Lestari, Makalah disampaikan pada Lokakarya Penguatan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Agro Berbasis Information and Communication Technology (ICT) Untuk Mendukung Pengembangan Usaha Mikro, Jakarta, 10 September 2002, hlm. 4.
[11] Lihat tulisan Muhammad Taufiq, Membangun Sistem Pembiayaan Bagi Usaha Kecil, Menengah dan Koperasi (UKMK), http://www.smecda.com/deputi7/file_infokop/edisi% 2023/m.taufiq.3.htm diakses 5 April 2007, hlm. 3. LKM yang diprakarsai oleh pemerintah, dan menunjukkan eksistensi dan perannya antara lain ; Badan Kredit Kecamatan (BKK) di Jawa Tengah dan Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK) di Jawa Timur, Tempat Pelayanan Simpan Pinjam (TPSP), Koperasi serta berbagai bentuk lembaga kredit pedesaan yang memiliki visi menumbuhkan LKM yang mandiri.
[12] Ibid.
[13] Ibid., hlm. 8.
[14] Hal ini diungkapkan oleh Deputi Team Leader GTZ, Dominique Gallman., Lembaga Keuangan Mikro Di Indonesia Butuh Payung Regulasi, Makalah disajikan dalam Diskusi Panel pada Acara Temu Nasional dan Bazaar Pengembangan Keuangan Mikro tanggal 23 Juli 2002, hlm. 1.
[15] Lihat tulisan Siti Sundari N., Peranan Lembaga Keuangan Mikro Agro Berbasis Teknologi Dalam Mengembangkan Usaha Mikro, Makalah disampaikan pada Lokakarya Penguatan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Agro Berbasis Information and Communication Technology (ICT) Untuk Mendukung Pengembangan Usaha Mikro, Jakarta, 10 September 2002, hlm. 1.
[16] Sesuai dengan UU Perbankan, bank yang ada di Indonesia dibagi ke dalam dua jenis yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dimana sasaran Bank Umum adalah pengusaha kecil, menengah dan koperasi, sedangkan sasaran BPR adalah para pengusaha mikro atau masyarakat berpenghasilan rendah. Sesuai ketentuan Bank Indonesia, pembiayaan kepada usaha mikro setinggi-tingginya sampai dengan Rp. 50 juta.
[17] Maulana Ibrahim, op.cit., hlm. 4.
[18] Gaung peranan pembiayaan mikro mendapatkan momentum baru dengan Microcredit Summit (MS) diselenggarakan di Washington tanggal 2-4 Februari 1997, merupakan tanda dimulainya gerakan global pemberdayaan masyarakat dengan penguatan dana kepada masyarakat miskin.
[19] Untuk lebih jelasnya lihat RUU Keuangan Mikro
[20] Hal ini dikarenakan BPR sebagai LKM formal berbentuk bank tunduk kepada UU Perbankan sementara Koperasi tunduk kepada UU Perkoperasian.
[21] Lihat uraian ini dalam Faisal Baasir, op.cit., hlm. 24.
[22] Lihat Azwir Dainy Tara, op.cit., hlm. 122.
[23] Lihat Faisal Baasir, op.cit., hlm. 60.
[24] Yang dimaksud dalam usaha ekonomi mikro ini adalah kegiatan ekonominya mulai dari orang-orang yang sangat miskin yang memiliki aset atau modal terbatas, namun memiliki kemauan dan kerja keras, terbelakang, memiliki pendidikan rendah, tradisional dan bergerak dalam lingkup informal, hingga ekonominya orang-orang yang memiliki aset berkategori kecil, menengah dan anggota koperasi.
[25] Secara hukum hal ini sangat dimungkinkan dengan belajar dari pengalaman negara dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi yang terlebih dahulu diawali dengan pemberlakuan “status darurat” yang ditindak lanjuti dengan pengaturan kerangka hukum dan kelembagaan KPK sebagai motor pengerakan pemberantasan korupsi.
[26] Lihat tulisan dengan judul Pentingnya Lembaga Khusus Pembiayaan UMKM, Tabloid Media UMKM-Koperasi, tanggal 1 Mei 2006.
[27] “Efektifitas hukum” harus dibedakan dengan “konsistensi”, karena efektifitas tidak identik dengan konsistensi. Konsistensi berkaitan dengan pemberlakuan hukum (substansi hukum) yang sama untuk semua kasus yang sejenis, sedangkan efektifitas berkaitan dengan “keberhasilan” atau “sukses” dari pemberlakuan UU atau peraturan lain dibawah UU. Lihat buku Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Edisi Kedua, Kencana, Jakarta, 2003, hlm. 35.
[28] Lihat Achmad Ali, Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab dan Solusinya), Cet. Ke-2, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hlm. 5.
[29] Lihat gagasan ini dalam tulusan Maulana Ibrahim, op.cit., hlm. 7. Lihat juga tulusan Faisal Baasir, op.cit., hlm. 24.
[30] Maulana Ibrahim, loc.cit.

Daftar Pustaka
Achmad Ali, Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab dan Solusinya), Ghalia Indonesia, Cet. Ke-2, 2005.
Anggito Abimanyu, Ekonomi Indonesia Baru : Kajian dan Alternatif Solusi Menuju Pemulihan, Alex Medio Komutindo, Jakarta, 2000.
Azwir Dainy Tara, Strategi Membangun Ekonomi Rakyat Masa Sulit Pasti Berlalu, Nuansa Madani, Jakarta, 2001.
Faisal Baasir, Pembangunan dan Krisis : Kritik dan Solusi Menuju Kebangkitan Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2003.
Marsuki, Analisis Sektor Perbankan, Moneter dan Keuangan Indonesia, Yayasan Massaile dan Bosowa Group, Makassar, tanpa tahun.
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Edisi Kedua, Kencana, Jakarta, 2003.
Dominique Gallman., Lembaga Keuangan Mikro Di Indonesia Butuh Payung Regulasi, Makalah disajikan dalam Diskusi Panel Acara Temu Nasional dan Bazaar Pengembangan Keuangan Mikro tanggal 23 Juli 2002.
Endang S. Thohari, Peningkatan Aksesibilitas Petani Terhadap Kredit Melalui Lembaga Keuangan Mikro, Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Strategi Pengembangan dan Pemberdayaan UKM, Bogor, 18 Januari 2002.
Mat Syukur, Membangun Lembaga Keuangan Mikro Agro Yang Lestari, Makalah disampaikan pada Lokakarya Penguatan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Agro Berbasis Information and Communication Technology (ICT) Untuk Mendukung Pengembangan Usaha Mikro, Jakarta, 10 September 2002.
Maulana Ibrahim, Kerangka Hukum Dalam Memperkuat Dan Mengembangkan Lembaga Keuangan Mikro Di Indonesia, Makalah disajikan dalam Diskusi Panel Acara Temu Nasional dan Bazaar Pengembangan Keuangan Mikro tanggal 23 Juli 2002.
Siti Sundari N., Peranan Lembaga Keuangan Mikro Agro Berbasis Teknologi Dalam Mengembangkan Usaha Mikro, Makalah disampaikan pada Lokakarya Penguatan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Agro Berbasis Information and Communication Technology (ICT) Untuk Mendukung Pengembangan Usaha Mikro, Jakarta, 10 September 2002.
Muhammad Taufiq, Membangun Sistem Pembiayaan Bagi Usaha Kecil, Menengah dan Koperasi (UKMK), http://www.smecda.com/deputi7/%20file_infokop%20/edisi2023/m.taufiq.3.htm,%20diakses%205%20April%202007.
Pentingnya Lembaga Khusus Pembiayaan UMKM, Tabloid Media UMKM-Koperasi, tanggal 1 Mei 2006.