Minggu, 17 Mei 2009

Posted by Picasa

Sabtu, 16 Mei 2009

MEWUJUDKAN PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN MELALUI LEMBAGA MEDIASI

Pendahuluan
Tanah mempunyai posisi yang strategis dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang bersifat agraris. Sedemikian istimewanya tanah dalam kehidupan masyarakat Indonesia telihat dan tercermin dalam sikap bangsa Indonesia sendiri yang juga memberikan penghormatan kepada kata tanah, dengan penyebutan istilah seperti Tanah air, Tanah tumpah darah, Tanah pusaka dan sebagainya. Bahkan dalam UUPA juga dinyatakan adanya hubungan abadi antara bangsa Indonesi dengan tanah (Pasal 1 ayat (3) UUPA).[1]
Namun dalam kenyataannya, bagi bangsa Indonesia salah satu masalah pokok hingga kini belum mendapat pengaturan yang tuntas adalah masalah tanah.[2] Permasalahan tanah yang dari segi empiris sangat lekat dengan peristiwa sehari-hari, tampak semakin kompleks dengan terbitnya berbagai kebijakan deregulasi dan debirokratisasi di bidang pertanahan menyongsong era perdagangan bebas.[3]
Munculnya berbagai kasus pertanahan tersebut tidak dapat dilepaskan dari konteks kebijakan pemerintah yang banyak bersifat ad hoc, inkonsisten dan ambivalen antara satu kebijakan dengan yang lain. Struktur hukum tanah menjadi tumpang tindih. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 yang awalnya merupakan payung hukum bagi kebijakan pertanahan di Indonesia, menjadi tidak berfungsi dan bahkan secara substansial terdapat pertentangan dengan diterbitkannya berbagai peraturan perundangan sektoral[4] Keseluruhan undang-undang yang bersifat sektoral itu mempunyai posisi yang sama dan menjadikan tanah sebagai objek yang sama. Akibatnya benturan di lapangan tidak dapat dihindarkan, antara penggunaan dan penafsiran undang-undang yang berbeda oleh pejabat-pejabat pemerintahan sektoral yang berbeda-beda terjadi atas konflik penguasaan yang sama. Perbedaan antara undang-undang itu tidak hanya dapat memberikan peluang pada perbedaan interpretasi para birokrat, tetapi juga secara substansial undang-undang tersebut tidak integratif.[5]
Kesadaran akan arti pentingnya reformasi di berbagai bidang dalam upaya untuk mencari jalan keluar dari kemelut politik dan ekonomi Indonesia, telah mendorong pemikiran ke arah reformasi kebijakan di bidang pertanahan. Perkembangan yang dinamis tersebut, dikehendaki atau tidak, mendorong ke arah perlunya pemikiran yang konseptual dalam rangka mengisi dan mengantisipasi perkembangan hukum tanah secara bertanggung jawab, termasuk didalamnya menyangkut solusi hukum penyelesaian sengketa tanah.
Pada satu sisi, tidak dapat dipungkiri bahwa masalah tanah dilihat dari segi yuridisnya saja merupakan hal yang tidak sederhana pemecahannya dan dalam suatu kasus, tidak jarang terlibat beberapa instansi yang langsung atau tidak langsung berkaitan dengan masalah/sengketa yang diajukan di pengadilan baik dalam lingkup peradilan umum maupun peradilan tata usaha negara.[6] Namun pada sisi lain dalam perkembangan selanjutnya, penyelesaian sengketa tanah melalui lembaga pengadilan oleh masyarakat dirasakan kurang efektif disamping itu memakan waktu dan biaya yang cukup besar, juga adanya potensi campur tangan pihak ketiga dengan motivasi apa pun yang berakibat negatif terhadap keputusan pengadilan. Bahkan di kalangan masyarakat telah merebak isu bahwa di Mahkamah Agung (MA) tanpa solusi yang jelas, sehingga sedikit banyak menambah keraguan masyarakat/pencari keadilan terhadap efektivitas penyelesaian sengketa di pengadilan yang merupakan benteng terakhir untuk menemukan keadilan.
Oleh karena itu, masalah penyelesaian sengketa pertanahan yang efektif dan efisien merupakan hal yang sangat penting untuk dicapai dalam upaya mendukung proses akselerasi pembanguan yang kondusif serta lebih memberikan jaminan dan kepastian hukum serta kepuasan bagi para pencari keadilan. Salah satu cara yang dapat dipakai untuk mengatasi berbagai sengketa tanah dengan sistem penyelesaian yang efektif, adil, tidak menyita waktu dan biaya yang murah serta terhindar dari campur tangan pihak ketiga adalah melalui mekanisme Alternative Dispute Resolution (ADR) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Salah satu mekanisme ADR yang paling banyak digunakan adalah melalui cara mediasi.
Potret Masalah Pertanahan Di Indonesia
Masalah pertanahan merupakan suatu permasalahan yang cukup rumit dan sensitif sekali sifatnya, karena menyangkut berbagai aspek kehidupan baik bersifat sosial, ekonomi, politis, psikologis dan lain sebagainya, sehingga dalam penyelesaian masalah pertanahan bukan hanya kasus memperhatikan aspek yuridis akan tetapi juga harus memperhatikan berbagai aspek kehidupan lainnya agar supaya penyelesaian persoalan tersebut tidak berkembang menjadi suatu keresahan yang dapat menggangu stabilitas masyarakat.
Munculnya berbagai masalah mengenai tanah menunjukkan bahwa penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah di negara kita ini belum tertib dan terarah. Masih banyak penggunaan tanah yang saling tumpang tindih dalam berbagai kepentingan yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Disamping itu, fakta juga menunjukkan bahwa penguasaan dan pemilikan tanah masih timpang. Ada sekelompok kecil masyarakat yang memiliki tanah secara liar dan berlebihan, dan ada juga sekelompok besar masyarakat yang hanya memiliki tanah dalam jumlah sangat terbatas. Bahkan banyak pula yang sama sekali tidak memiliki, sehingga terpaksa hidup sebagai penggarap. Tidak jarang pula, dan bukan barang aneh, timbul ihwal penguasaan tanah oleh oknum-oknum tertentu secara sepihak.[7]
Dalam pandangan Y.W. Sunindhia dan Ninik Widiyanti bahwa tentu saja, semua ini amat bertentangan dengan prinsip keadilan sosial dan juga bertentangan dengan fungsi sosial tanah. Apalagi di negara yang rakyatnya berkeinginan melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah untuk kemakmuran rakyat merupakan suatu conditio sine qua non.[8]
Menurut Maria S.W. Sumardjono secara garis besar, peta permasalahan tanah dapat dikelompokkan atas : [9]
  1. Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal kehutanan, perkebunan, proyek perumahan yang diterlantarkan, dan lain-lain.
  2. Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan tentang Landreform
  3. Ekses-ekses dalam penyediaan tanah untuk keperluan pembangunan.
  4. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah.
  5. Masalah yang berkenaan dengan hak ulayat masyarakat hukum adat.

Lebih lanjut beliau mengemukakan bahwa permasalahan yang pertama dan kedua penyelesaiannya lebih menitikberatkan pada pelaksanaan peraturan secara konsekuen dan konsisten. Bila masalah ini tidak dapat diselesaikan dengan baik, sengketa berkepanjangan akan selalu terbuka. Keresahan sosial yang timbul sebagai ekses penyediaan tanah untuk pembangunan pada umumnya berkisar pada penentuan ganti kerugian atau penentuan harga tanah yang wajar. Sengketa perdata masalah tanah pada umumnya diselesaikan melalui pengadilan, baik dalam lingkup peradilan umum maupun peradilan tata usaha negara.[10]

Dari segi yuridis praktis, Prof. Budi Harsono, sebagaimana dikutip dari Arie S. Hutagalung, lebih memperinci masalah tanah yang dapat disengketakan yakni sengketa-sengketa mengenai : 1) bidang tanah yang mana yang dimaksudkan; 2) batas-batas bidang tanah; 3) luas bidang tanah; 4) status tanahnya : tanah negara atau tanah hak; 5) pemegang haknya; 6) hak yang membebaninya; 7) pemindahan haknya; 8) penunjuk lokasi dan penetapan luasnya untuk suatu proyek pemerintah atau swasta; 9) pelepasan/pembebasan tanah; 10) pengosongan tanah; 11) pemberian ganti rugi, pesangon atau imbalan lainnya; 12) pembatalan haknya; 13) pencabutan haknya; 14) pemberian haknya; 15) penerbitan sertifikatnya; dan 16) alat-alat pembuktian adanya hak atau perbuatan hukum yang dilakukan dan sengketa-sengketa lainnya.[11]
Dengan memperhatikan fungsi ganda tanah sebagai social asset dan capital asset,[12] telah menyebabkan pengambilan keputusan dan penetapan kebijakan berkaitan dengan tanah dalam rangka mencari solusi hukum atas berbagai masalah pertanahan harus dilakukan secara hati-hati. Untuk kondisi sosial budaya dan hukum tanah pada masyarakat Indonesia yang beraneka ragam, kehati-hatian ini perlu dicermati untuk menjaga agar tidak menimbulkan disintegrasi pada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dilema yang dihadapi dalam kehidupan bernegara di Indonesia berkaitan dengan fungsi tanah ini adalah dalam menetapkan mana dari kedua fungsi ini yang akan lebih diutamakan, terutama dalam rangka mengatasi berbagai masalah hukum tanah. Penetapannya akan sangat ditentukan oleh politik hukum pertanahan yang ditetapkan bersama oleh masyarakat, dalam hal ini adalah representasi wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR.
Dalam kerangka demikian, perspektif berpikir yang diperlukan adalah terpenuhinya hal-hal yang bersifat formal dan substansial dalam mewujudkan penghormatan terhadap hak-hak dasar manusia, karena apabila hal tersebut tidak dilakukan, maka tujuan berupa kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan tidak akan tercapai. Oleh karena itu, tanpa bermaksud menggeneralisasi, analisis terhadap beberapa masalah tanah, memerlukan perhatian demi peningkatan kualitas problem solving terhadap masalah pertanahan di masa yang akan datang. Salah satu hal yang perlu ditingkatkan adalah pemahaman mengenai substansi permasalahan yang berkaitan dengan konsep yang mendasarinya.

Penyelesaian Sengketa Tanah: Perspektif Hukum Tanah Nasional
Masalah seputar tanah harus diakui merupakan masalah yang cukup rumit dan sensitif. Bukan hanya pada aspek yuridisnya, akan tetapi juga pada berbagai aspek kehidupan bermasyarakat lainnya. Penanganan yang kurang bijaksana terhadap masalah tanah akan berakibat fatal yang kadang kala dapat menjurus ke arah yang dapat mengganggu stabilitas masyarakat. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah, penyelesaian sengketa tanah harus disesuaikan dengan karidor hukum tanah nasional, yakni dengan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria (UUPA).
Penyelesaian sengketa tanah dalam perspektif Hukum Tanah Nasional menghendaki agar penyelesaian sengketa diusahakan pertama-tama melalui musyawarah. Dalam musyawarah itu kedudukan para pihak adalah sederajat, biarpun salah satu pihaknya adalah pemerintah. Kalau yang bersengketa meliputi jumlah yang besar, dapat dilaksanakan melalui perwakilan atau kuasa yang ditunjuk oleh yang bersangkutan.[13] Musyawarah pada hakikatnya adalah proses atau kegiatan saling mendengar dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan atas kesukarelaan antara pihak pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah, untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian.[14]
Secara konstitusional, negara mengakui dan melindungi hak-hak rakyat dan masyarakat-masyarakat hukum adat atas tanah. Tetapi kalau diperlukan untuk proyek yang mempunyai sifat kepentingan umum atau kepentingan nasional dan menyangkut hajat hidup orang banyak, tanah yang dipunyai itu wajib diserahkan, dengan ketentuan bahwa negara harus memperhatikan hak dan kepentingan mengenai bentuk dan jumlah ganti kerugian yang wajib diberikan kepada pemegang hak atas tanah tersebut. Dalam Penjelasan Umum UUPA dinyatakan bahwa kepada masyarakat-masyarakat hukum adat yang tanah ulayatnya diperlukan bagi pembangunan wajib diberikan recognitie atau kompensasi dalam bentuk pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bermanfaat bagi masyarakat setempat.
Dalam hal musyawarah tidak dapat menghasilkan kesepakatan mengenai penyerahan bidang tanah yang diperlukan dan/atau mengenai bentuk jumlah imbalannya, sengketa dapat diselesaikan dengan menggunakan lembaga pencabutan hak yang diatur dalam UU No. 20/1961 dan peraturan-peraturan pelaksanaannya, jika tidak dapat digunakan bidang tanah yang lain dan proyeknya mempunyai sifat kepentingan umum. Pencabutan hanya dapat dilakukan dengan Keputusan Presiden dan tanah yang bersangkutan baru boleh dikuasai setelah ganti ruginya diterimakan. Namun cara ini dinilai memakan waktu dan kurang memadai terutama terhadap proyek-proyek yang harus segera diselesaikan.
Untuk penyelesaian sengketa bagi tanah-tanah yang dikuasai secara illegal, jika tidak dapat diselesaikan melalui musyawarah, disediakan ketentuannya dalam UU No. 51/Prp/1960 tentang Larangan Pemakaian tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya. Dalam UU ini, para Bupati/Walikota diberikan kewenangan untuk secara arif dan bijaksana menyelesaikan sengketa tanah yang dikuasai secara illegal itu,[15] dengan memperhatikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penguasaan dan yang meliputi kasus yang dihadapi. Jika musyawarah tidak dapat menghasilkan kesepakatan, Bupati/Walikota atas nama undang-undang tersebut di atas, dapat secara sepihak memutuskan penyelesaiannya tanpa wajib mengajukan soalnya kepada pengadilan. Dalam hal ini tidak dilakukan pencabutan hak, karena penguasaan tanahnya tidak ada landasan haknya.
Bupati/Walikota dapat memerintahkan pengosongan atas tanah tanah yang dikuasai secara illegal tersebut, dengan atau tanpa pemberian uang pesangon. Apa yang diberikan itu bukan imbalan ataupun ganti kerugian, kecuali mengenai bengunan dan tanaman yang menurut hukum memang merupakan milik pihak yang menguasai tanah.23 Pengosongan dapat juga disertai penyediaan tempat hunian baru. Tetapi baik pesangon maupun penyediaan tempat hunian baru merupakan semata-mata putusan kebijaksanaan Bupati/Walikota dalam menyelesaikan kasus yang bersangkutan. Karenanya bukan hak okupan yang dapat dituntut pemberiannya. Terlepas dari hal di atas, mengenai penyelesaian sengketa itupun harus memperhatikan pertimbangan kemanusian, karena asas utama yang bersumber pada Pancasila juga berlaku dalam kasus-kasus tersebut.

Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa Tanah
Dari laporan hasil Dialog Reformasi Kebijakan Pertanahan di Indonesia tahun 2001 dan hasil Diskusi Pertanahan tahun 2002, telah memberikan suatu gambaran kepada semua pihak bahwa masalah konflik dan sengketa tanah adalah masalah yang utama dan sangat penting serta tidak dapat ditunda-tunda lagi untuk segera ditangani oleh pemerintah. Hal ini juga dipertegas dalam Pasal 5 ayat 1.d mengenai TAP MPR No. IX /MPR/2001 khususnya mengenai arahan kebijakan pembaharuan agraria sebagai suatu amanat dari seluruh rakyat Indonesia yang berbunyi :
“Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya Agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud pasal 4 ketetapan ini”.
Menurut Arie S. Hutagalung, pada prinsipnya secara garis besar, seperti halnya sengketa secara umum, maka sengketa tanah dapat diselesaikan melalui 3 (tiga cara) yaitu :[16]

  1. Penyelesaian secara langsung oleh para pihak dengan musyawarah. Dasar dari musyawarah untuk mufakat ini tersirat dalam Pancasila sebagai dasar kehidupan bermasyarakat Indonesia dan juga tersirat dalam UUD 1945.
  2. Penyelesaian melalui Badan Peradilan berdasarkan UU No. 14/1970 jo UU No. 35/1999 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman; umumnya penyelesaian ini diajukan ke peradilan umum yang diatur dalam UU No.2/1986 tentang Peradilan Umum atau apabila yang disengketakan adalah produk tata usaha negara atau yang digugat pejabat Tata Usaha Negara melalui Peradilan Tata Usaha Negara yang diatur dalam UU No. 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, atau apabila menyangkut tanah wakaf diajukan ke Pengadilan Agama.
  3. Melalui mekanisme Arbitrasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution); dengan telah diundangkannya UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka terdapat suatu kepastian hukum untuk mengakomodasi cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum.

Dalam praktik hukum di Indonesia, pada umumnya semua sengketa pertanahan dapat diajukan ke pengadilan baik dalam lingkup peradilan umum maupun peradilan tata usaha negara. Namun harus diakui, penggunaan lembaga peradilan untuk menyelesaikan suatu sengketa pertanahan kerapkali menyisakan banyak kekurangan/kelemahan, yang mana secara umum kekurangan/kelemahan ini apabila ditinjau dari aspek ekonomi merupakan salah satu komponen yang mengakibatkan munculnya ekonomi biaya tinggi.
Berperkara di pengadilan pada umumnya dirasakan sebagai proses yang memakan waktu, tidak sederhana, dan tidak murah biayanya. Hal ini sering diperparah dengan kendala yang bersifat organisatoris dan Kendala non-yuridis berupa campur tangan pihak-pihak di luar lembaga yudikatif dengan dampak keluarnya keputusan yang menyimpang dari arti hakiki pengadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan bagi pencari keadilan. Karena itu, dapat dipahami, penyelesaian sengketa di pengadilan merupakan pilihan terakhir.
Beberapa kritik yang sering kali dilontarkan terhadap lembaga peradilan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imamulhadi bahwa proses penyelesaian melalui jalur pengadilan (ligitasi) memiliki banyak kelemahan, seperti :[17]

  1. Ligitasi memaksa para pihak berada pada posisi yang ekstrim dan memerlukan pembelaan;
  2. Ligitasi mengangkat seluruh persoalan dalam suatu perkara, sehingga mendorong para pihak untuk melakukan penyelidikan terhadap kelemahan-kelemahan pihak lainnya;
  3. Proses ligitasi memakan waktu yang lama dan biaya yang mahal;
  4. Hakim seringkali bertindak tidak netral dan kurang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang mendasari penyelesaian suatu masalah hukum baru.

Dalam perkembangan sengketa pertanahan di Indonesia, pernah timbul gagasan untuk membentuk Pengadilan Pertanahan di dalam lingkup peradilan umum. Walaupun secara teoritis pembentukan Pengadilan Pertanahan dimungkinkan,[18] namun demikian masalah utamanya adalah : apakah dengan dibentuknya Pengadilan Pertanahan maka efektivitasnya dapat dijamin? Berdasarkan pengamatan berperkara di pengadilan sebagai di gambarkan di atas justru eksistensi penyelesaian sengketa melalui pengadilan terkadang diragukan sebagai benteng terakhir untuk menemukan keadilan. Olehnya itu, efektivitas Pengadilan Pertanahan yang diusulkan itu masih merupakan tanda tanya.
Selain Pengadilan Pertanahan, gagasan tentang Arbitrasi Pertanahan juga pernah dilontarkan. Maria S.W. Sumardjono berpandangan bahwa gagasan pembentukan lembaga Arbitrase Pertanahan masih memerlukan pemikiran yang seksama. Apabila semua unsur yang dipertimbangkan untuk terciptanya lembaga arbitrase itu sudah dapat dipenuhi, barangkali gagasan itu dapat terwujud. Namun dengan berfungsinya lembaga tersebut, tidak serta merta dapat diharapkan bahwa penyelesaian sengketa akan berjalan lebih cepat. Menurutnya tersedianya tenaga ahli yang profesional, tata kerja yang jelas, dan tersedianya dana pendukung yang diperlukan akan berdampak terhadap ketepatan waktu penyelesaian sengketa.[19] Namun demikain, gagasan tentang pembentukan lembaga Pengadilan Pertanahan maupun Arbitrase Pertanahan harus diakui, muncul sebagai reaksi atas penyelesaian sengketa tanah melalui pengadilan yang berjalan lamban, mahal, dan terkadang tidak dapat dieksekusi.
Menurut hemat Penulis, pembentukan lembaga peradilan tersebut di atas, seyogyanya untuk saat ini tidak diperlukan karena penyelesaian sengketa tanah sudah dalam sistem hukum pertanahan Indonesia telah memperoleh tempat penyelesaian melalui peradilan umum, peradilan tata usaha negara dan peradilan agama. Yang harus dilakukan adalah bagaimana mengupayakan agar lembaga pengadilan dapat berfungsi secara optimal. Eksistensi pengadilan sebagai tempat bagi para pencari keadilan, harus senantiasa secara terencana dan sistematis ditingkatkan kualitasnya. Hal itu dilakukan dalam rangka menghasilkan berbagai produk keputusan yang berkualitas, sehingga pada akhirnya diharapkan dapat memposisikan citra pengadilan sebagai benteng terakhir para pencari keadilan.

Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Pertanahan
Berbagai kekurangan lembaga peradilan dalam menyelesaikan suatu sengketa sangat dirasakan oleh para pihak yang bersengketa terutama dalam rangka memberikan kepuasan hukum, sehingga kondisi ini semakin meyakinkan perlunya ditemukan cara penyelesaian lain yang dapat memuaskan para pihak yang bersengketa, sehingga pencari keadilan beralih pada Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution) untuk menyelesaikan setiap persoalan yang timbul terkait dengan sengketa tanah.
Mengingat penyelesaian sengketa melalui pengadilan umum maupun pengadilan tata usaha negara sering dirasakan kurang efektif, dan bahwa pengadilan itu merupakan upaya terakhir bila upaya lain menemui jalan buntu, maka gagasan untuk memanfaatkan cara penyelesaian sengketa alternatif di luar jalur pengadilan, misalnya melalui lembaga mediasi, nampaknya sudah saatnya untuk diwujudkan.
Barangkali untuk Indonesia, dimana cara-cara musyawarah untuk mencapai mufakat merupakan hal yang lazim, untuk kasus-kasus pertanahan yang bersifat perdata dalam arti luas, yakni yang tidak menyangkut aspek administrasi dan pidana, sepanjang para pihak menghendaki cara-cara mediasi, maka hal itu dapat ditempuh.[20] Apalagi dalam Pasal 14 UU no. 14/1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan kehakiman disebutkan bahwa walaupun hakim harus mengadili perkara yang diajukan, namun tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.
Mediasi sebagai mekanisme ADR/APS menawarkan cara penyelesaian sengketa yang khas dengan ciri–ciri : waktunya singkat, terstruktur, berorientasi pada tugas, dan merupakan cara intervensi yang melibatkan peran serta para pihak secara aktif.[21] Menurut Maria S.W. Sumardjono, penyelesaian sengketa tanah melalui lembaga mediasi memiliki segi positif dan negatif. Segi positifnya adalah bahwa waktunya singkat, biayanya ringan dan prosedurnya sederhana. Pihak yang bersengketa akan merasa lebih “berdaya” dibandingkan dalam proses pengadilan karena mereka sendirilah yang menentukan hasilnya. Di samping itu, dalam mediasi para pihak akan lebih terbuka terhadap adanya nilai-nilai lain di samping faktor yuridis. Segi negatifnya adalah bahwa hasil mediasi tidak dapat dimintakan penguatan kepada pengadilan, karena itu efektivitasnya tergantung kepada ketaatan para pihak untuk menepati kesepakatan bersama tersebut.[22]
Lebih lanjut beliau menyatakan pula bahwa, segi positif mediasi sekaligus dapat menjadi segi negatifnya, dalam arti keberhasilan mediasi semata-mata tergantung pada itikad baik para pihak untuk menaati kesepakatan bersama tersebut karena hasil akhir mediasi tidak dapat dimintakan penguatan kepada pengadilan. Untuk sengketa dalam bidang bisnis, supaya kesepakatan dapat dilaksanakan (final and binding), seyogianya para pihak mencantumkan kesepakatan (klausula ADR/APS) itu dalam bentuk perjanjian tertulis yang tunduk pada prinsip-prinsip umum perjanjian.[23]

Dalam mediasi, para pihak sendirilah yang berperan aktif untuk menjajaki berbagai alternatif untuk menetapkan hasil akhir dengan bantuan seorang mediator yang tidak memihak dan berperan untuk membantu tercapainya hal-hal yang disepakati bersama. Fungsi mediator dalam penyelesaian sengketa melalui lembaga mediasi, oleh Suyud Margono dijelaskan adalah sebagai berikut :[24]

  1. Sebagai “katalisator”, berarti kehadiran mediator dalam proses perundingan mampu mendorong lahirnya suasana yang konstruktif bagi jalannya diskusi.
  2. Sebagai “pendidik”, berarti seseorang harus berusaha memahami aspirasi, prosedur kerja, keterbatasan politis, dan kendala usaha dari para pihak. Oleh sebab itu, mediator harus berusaha melibatkan diri dalam dinamika perbedaan diantara para pihak.
  3. Sebagai “penerjemah”, berarti mediator harus berusaha menyampaikan dan merumuskan usulan para pihak melalui bahasa atau ungkapan yang baik dengan tanpa mengurangi sasaran yang dicapai oleh pengusul.
  4. Sebagai “nara sumber”, berarti seorang mediator harus mendayagunakan sumber-sumber informasi yang tersedia.
  5. Sebagai “penyandang berita jelek” berarti bahwa mediator harus menyadari bahwa para pihak dalam proses perundingan dapat bersikap emosional. Untuk itu mediator harus mengadakan pertemuan terpisah dengan pihak-pihak terkait untuk menampung berbagai usulan.
  6. Sebagai “agen realitas”, berarti mediator harus berusaha memberi pengertian secara jelas kepada salah satu pihak bahwa sasarannya tidak mungkin/tidak masuk akal tercapai melalui perundingan.
  7. Sebagai “kambing hitam”, berarti seorang mediator harus siap dipersalahkan misalnya dalam membuat kesepakatan hasil perundingan.

Dalam hal prosedur/proses yang harus ditempuh dalam mediasi, terdapat beberapa pendapat ahli. Di sini akan dikemukakan proses tahapan mediasi menurut pendapat Riskin dan Westbrook sebagaimana dikutip oleh E. Saefullah Wiradipradja, meliputi lima tahapan sebagai berikut : 1) Sepakat untuk menempuh proses mediasi; 2) Memahami masalah-masalah; 3) Membangkitkan pilihan-pilihan pemecahan masalah; 4) Mencapai kesepakatan; dan 5) Melaksanakan kesepakatan. [25]
Dalam praktik mediasi di Amerika Serikat atau Inggris, walaupun ada pihak yang beranggapan bahwa yang menentukan mediasi itu adalah sikap para pihak yang menginginkan untuk menyelesaikan sengketanya, namun pada umumnya mediasi lebih cocok untuk digunakan, misalnya dalam kasus di mana hubungan antara para pihak diharapkan terus berlanjut, kasus-kasus dimana ada keseimbangan antara kekuatan kedua belah pihak, sengketanya berjangka waktu singkat dan tidak ada kepastian tentang hasil akhirnya bila dibawa ke pengadilan. Dalam konteks Indonesia, kasus-kasus yang lebih sesuai adalah kasus-kasus yang segi hukumnya kurang mengemuka dibandingkan dengan segi kepentingan (interest) para pihak.[26]
Penyelesaian sengketa melalui cara-cara mediasi yang modern bagi bangsa Indonesia masih merupakan hal yang relatif baru. Dalam beberapa kasus tanah, penyelesaian sengketa melalui lembaga mediasi pernah dilakukan oleh Komnas HAM dengan hasil yang positif. Oleh karena itu, mengingat bahwa pada masa yang akan datang akan lebih banyak diperlukan cara-cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, maka dalam rangka pemikiran ke arah realisasi lembaga mediasi, perlu dipersiapkan hal-hal yakni : Pertama, menyiapkan sumber daya manusianya. Seorang mediator haruslah menguasai materi yang akan disengketakan. Latar belakang sebagai sarjana hokum memiliki nilai tambah, tetapi bukan merupakan keharusan. Kualifikasi pokok lainnya adalah mempunyai integritas yang tinggi dan sifat tidak memihak yang ditunjang dengan kemampuan untuk mendengar, mengajukan pertanyaan, mengamati, mewawancarai, konseling dan negosiasi; Kedua, diperlukan pelatihan, jangka waktunya, serta fasilitatornya; dan Ketiga, diperlukan adanya suatu lembaga/badan yang berwenang untuk memberikan pelatihan dan sertifikasi bagi mediator, serta menyusun kode etik mediator, di samping berkewajiban memberikan bimbingan yang berkesinambungan dan menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran kode etik. Karena salah satu faktor penentu seseorang memilih mediasi adalah sifatnya yang tidak memihak, maka lembaga mediasi yang tepat seyogianya bersifat independen, di luar pemerintah, atau tidak berafiliasi dengan pemerintah.[27]

Penutup
Memperhatikan semakin banyaknya masalah-masalah sengketa tanah yang berkepanjangan dan penggunaan lembaga peradilan kerapkali menyisakan banyak kekurangan/kelemahan, serta adanya kebutuhan untuk memperoleh penyelesaian sengketa yang efektif, efisien dan tidak memihak, maka penerapan mekanisme ADR/APS nampaknya merupakan solusi alternatif dalam mengatasi sengketa pertanahan sekaligus sebagai salah satu bentuk jaminan kepastian dan perlindungan hukum.
Mengingat bahwa bangsa Indonesia terkenal dengan penyelesaian masalah melalui musyawarah untuk mencapai mufakat, kiranya pemanfaatan lembaga mediasi sebagai ADP/APS dapat merupakan alternatif yang berdampak positif untuk penyelesaian sengketa pertanahan dalam perspektif hukum tanah nasional. Untuk itu, gagasan pembentukan lembaga mediasi sudah saatnya diwujudkan.

Catatan/End Note
[1] Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 81.
[2] Hal ini terbukti dengan banyaknya masalah tanah yang muncul dimana-mana, baik sengketa tanah, penggusuran tanah, pembebasan tanah yang tidak tuntas, pendudukan secara liar tanah milik orang lain maupun milik pemerintah, dan pemilikan tnah secara berlebihan dan sebagainya. Sehingga ada kesan bahwa peraturan-peraturan hukum pertanahan itu mengalami kemacetan dan belum dapat dilaksanakan sebagaimana diharapkan semula sedang jika dapat dilaksanakan hanya untuk daerah tertentu saja, Lihat, Y.W. Sunindhia & Ninik Widiyanti, Pembaharuan Hukum Agraria (Beberapa Pemikiran), Bina Aksara, Jakarta, 1988, hlm. v.
[3] Bagi Indonesia yang memiliki perekonomian bersifat terbuka akan terpengaruh oleh prinsip perekonomian global dan prinsip liberalisasi perdagangan. Perekonomian Indonesia akan berhadapan dengan perekonomian negara lain atau mitra dagang Indonesia seperti ekspor-impor; investasi, baik yang bersifat investasi langsung maupun tidak langsung; serta pinjam-meminjam. Pengaruh perekonomian ini menjadi tantangan bagi perumusan kebijaksanaan nasional, dunia ekonomi, dan pelaku ekonomi.
[4] Perundangan sektoral terkait dengan tanah sebagai objeknya adalah : UU Pokok Kehutanan No.5/1967 yang kemudian diperbaharui dengan UU Kehutanan No. 41/1999, UU Pokok Pertambangan No. 11/1967, UU Pertambangan Minyak dan Gas Bumi No. 44/1960, UU Transmigrasi No. 3/1972 kemudian diperbaharui dengan UU No. 15/1997, UU Pengairan no. 11/1974, UU Pemerintahan Desa No. 5/1975, UU Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 4/1982 diperbaharui kembali menjadi UU No. 23/1997, UU Rumah Susun No. 16/1985, UU Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem No. 5/1990, UU Penataan Ruang No. 24/1992 dan yang terakhir adalah pasangan UU Pemerintah Daerah (otonomi) No. 22/1999 dan UU Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah No. 25/1999.
[5] Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia (LPHI), Jakarta, 2005, hlm. 370.
[6] Untuk Indonesia, sengketa perdata berkenaan dengan tanah sudah memperoleh tempat penyelesaian melalui peradilan umum dalam hal pihak yang bersengketa adalah orang atau badan hukum atau antara orang atau badan hukum dengan pemerintah; dan untuk sengketa mengenai pertanahan antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, maka diselesaikan dalam lingkup peradilan tata usaha negara. Lihat Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Edisi Revisi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta 2006, hlm. 193.
[7] Abdurrahman, Beberapa Aspek Tentang Hukum Agraria, Seri Hukum Agraria V, Alumni, Bandung, 1983, hlm. 1.
[8] Y.W. Sunindhia & Ninik Widiyanti, op.cit., hlm. 20
[9] Maria S.W. Sumardjono, op.cit., hlm. 189. Lihat juga Arie S. Hutagalung, loc.cit.
[10] Ibid., hlm. 190.
[11] Arie S. Hutagalung, loc.cit.
[12] Sebagai social asset, tanah di kalangan masyarakat (masyarakat hukum adat) Indonesia merupakan sarana pengikat kesatuan sosial untuk hidup dan berkehidupan di atas tanah. Sebagai capital asset, tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan ekonomi. Hermayulis, Aspek-Aspek Hukum Hak Pakai Atas tanah Negara Sebagai Objek Jaminan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 10/2000, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis (YPHB), Jakarta, 2000, hlm. 49.
[13] Lihat dalam bagian Berpendapat huruf c UUPA
[14] Penjelasan Keppress No. 55/1993.
[15] Pengusaan tanah secara illegal biasanya merupakan tanah yang dikuasai oleh masyarakat yang tidak disadari yang diperolehnya melalui pembayaran kepada pihak yang menguasai tanah yang bersangkutan sebelumnya. Mereka merasa mengoper hak garap secara legal. Karena tidak jarang perolehannya dilakukan secara tertulis, yang diketahui oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat.
[16] Dalam hukum adat dan UUPA menganut asas pemisahan horisontal. Berdasarkan asas pemisahan horisontal itu pemilikan atas tanah dan benda atau segala sesuatu yang berada di atas tanah itu adalah terpisah. Asas pemisahan horisontal memisahkan hak atas tanah dari segala sesuatu yang melekat padanya. Lihat Djuhaendah Hasan, op.cit., hlm. 76.
[17] Arie S. Hutagalung, op.cit., hlm. 372.
[18] Imamulhadi, Penyelesaian Sengketa dalam Perdagangan Secara Elektronik, artikel dalam Cyber Law; Suatu Pengantar, ELIPS Project, Jakarta, 2002, hlm. 80. Bandingkan dengan Suyud Margono, op.cit., hlm. 65.
[19] Secara teoritis hal itu dapat dimungkinkan dengan melihat yurisprudensi di mana di masa yang lalu pernah dibentuk Pengadilan Ekonomi sebagai konsekuensi diterbitkannya UU No. 7/Drt/Tahun 1995 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pengadilan Tindak Pidana Ekonomi (ditetapkan menjadi undang-undang dengan UU No. 1 Tahun 1961). Lihat Maria S.W. Sumardjono, op.cit., hlm. 194.
[20] Ibid., hlm. 193.
[21] Arie S. Hutagalung, op.cit., hlm. 376.
[22] Lihat Suyud Margono, op.cit., hlm. 59.
[23] Maria S.W. Sumardjono, op.cit., hlm. 196.
[24] Ibid., hlm. 199.
[25] Suyud Margono, op.cit., hlm. 60. Lihat juga E. Saefullah Wiradipradja, op.cit., hlm. 6
[26] E. Saefullah Wiradipradja, loc.cit. bandingkan dengan pendapat Astor & Chinkin dalam Maria S.W. Sumardjono. loc.cit
[27] Maria S.W. Sumardjono, Ibid.
[28] Ibid., hlm 200.

Daftar Pustaka
Abdurrahman, Beberapa Aspek Tentang Hukum Agraria, Seri Hukum Agraria V, Alumni, Bandung, 1983.
Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia (LPHI), Jakarta, 2005.
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah Nasional, Edisi Revisi, Djambatan, Jakarta, 2005.
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.
E. Saefullah Wiradipradja, Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase Sebagai Cara Penyelesaian Sengketa Dalam Bisnis Nasional dan Internasional, Jurnal Hukum Internasional Unpad, Vol. 2 No. 1, April 2003, Bandung, 2003.
Hermayulis, Aspek-Aspek Hukum Hak Pakai Atas tanah Negara Sebagai Objek Jaminan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 10/2000, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis (YPHB), Jakarta, 2000.
Imamulhadi, Penyelesaian Sengketa dalam Perdagangan Secara Elektronik, Artikel dalam Cyber Law; Suatu Pengantar, ELIPS Project, Jakarta, 2002.
Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Edisi Revisi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta 2006.
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa : Suatu Pengantar, Fikahati Aneska kerja sama dengan BANI, Jakarta, 2002.
Suyud Margono, ADR & Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000.
Y.W. Sunindhia & Ninik Widiyanti, Pembaharuan Hukum Agraria (Beberapa Pemikiran), Bina Aksara, Jakarta, 1988.

MEMBANGUN PERPAJAKAN YANG DEMOKRATIS

Pendahuluan
Negara Indonesia merupakan bagian dari negara besar di dunia yang struktur ekonominya bisa dikatakan sangat timpang. Hal ini disebabkan basis ekonomi Indonesia yang strategis dimonopoli oleh kalangan feodalistik-tradisional dan masyarakat modern kapitalis yang menerapkan prinsip ekonomi konvensional.[1] Kondisi ini telah menciptakan suatu kesenjangan yang teramat dasyhat dimana sebagian orang membumbung di atas dengan hasil kekayaan yang dikuasainya, sementara sebagian yang lain justru terperosok ke dalam kubang kemelaratan yang dideritanya. Selain itu, munculnya masyarakat modern yang diuntungkan oleh sistem ekonomi dan perbankan, telah menyebabkan ketimpangan persaingan ekonomi semakin menajam. Dalam hal ini, pihak-pihak yang memiliki sumber daya manusia dan modal yang kuat akan sangat diuntungkan, sedangkan rakyat kecil dengan sumber daya manusia yang lemah dan modal serta akses yang sangat minim yang menjadi korbannya dan atau hanya bisa jadi penonton di negerinya sendiri.
Selama lebih setengah abad bangsa Indonesia menerapkan kebijakan ekonomi yang jauh dari semangat kerakyatan. Hal itu dapat dilihat dari kebijakan pemerintah Orde Baru yang terlalu mengutamakan dan mengistimewakan segelintir kelompok pengusaha besar yang diberi kesempatan seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya untuk mengembangkan usahanya. Pertumbuhan ekonomi pun digenjot. Mereka diberi kemudahan dan fasilitas untuk melakukan ekspansi bisnis. Kredit-kredit milyaran bahkan triliunan rupiah dikucurkan pada mereka tanpa agunan. Di samping itu, para konglomerat memonopoli komoditas-komoditas tertentu yang dibutuhkan orang banyak. Namun sejalan dengan fakta kesejarahan, strategi pembangunan ekonomi Rostow yang dianut oleh Indonesia dengan paradigma trickle down effect ternyata hanya membuahkan kegagalan
Sungguh merupakan suatu fenomena yang tragis ditengah hiruk pikuknya perkembangan ekonomi yang saat ini telah masuk dalam suatu gejala mondial di mana saat ini dunia berada dalam posisi tanpa tapal batas. Padahal untuk memperbaiki kondisi perekonomian yang timpang ini, tidak hanya sekedar mendorong segelintir pelaku usaha untuk terus melakukan pemupukan terhadap kekayaannya, akan tetapi yang terpenting adalah bagaimana mendistribusikannya secara optimal. Dengan kata lain, pendistribusian pendapatan secara adil dan merata adalah cara yang paling efektif untuk mencapai peningkatan pendapatan secara simultan di kalangan lapisan masyarakat. Sebab, produksi kekayaan yang meningkat tidak akan bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi masyarakat jika tidak diimbangi dengan pendistribusiannya.
Dari sinilah, pajak dipandang memiliki potensi strategis sebagai salah satu instrumen penting dalam upaya pemerataan pendapatan yang berkeadilan pada semua level komponen bangsa, sehingga dapat memperkuat basis ekonomi nasional khususnya ekonomi rakyat. Pajak sebagai bentuk kontrak sosial antara rakyat dengan negara, menempati posisi sentral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai wahana untuk menyeimbangkan simpul-simpul politik, ekonomi, dan sosial yang berserakan dalam masyarakat. Dengan pajak yang dipungut dari rakyat yang memiliki kewajiban membayar pajak, negara kemudian membuat proyek kemaslahatan umum yang bernuansa sosial, ekonomi, politik, dan budaya dalam rangka peningkatan kesejahteraan bangsa.
Memang pajak merupakan hal penting dalam urusan bernegara, sebab dengan pajak itulah distribusi keadilan sosial dapat dilakukan. Negara dengan pajak akan dapat mengurangi tingkat kecemburuan sosial warga negara yang tidak memiliki sumber-sumber ekonomi yang memadai. Oleh karena itu, negara dalam konteks yang lebih luas harus memainkan peran-peran penting dalam rangka mengangkat keterpurukan bangsa untuk memberikan substansi kemerdekaan baru bagi kemanusiaan yang berprespektif keadilan, memperbaiki infrastruktur sosial yang saat ini telah carut marut akibat tsunami ekonomi dan memperbaiki ekonomi masyarakat yang pada tataran kekinian telah diambang yang cukup memprihatinkan akibat adanya ketimpangan kekuatan struktur ekonomi masyarakat.
Dalam konteks ketata-negaraan, suatu proses perubahan yang terjadi baru bermanfaat secara sosial, ekonomi, politik dan budaya bagi rakyat kebanyakan, kalau negara memberikan pelayanan dan pembangunan yang merata tanpa pilih kasih. Walaupun pendekatan prioritas kerap selektif untuk suatu kebijakan politik tetap diperhitungkan, namun kebijakan dimaksud tetap berorientasi kemanusiaan secara menyeluruh, sehingga dengan begitu akan memberikan dampak sosial yang positif bagi akomodasi simpul-simpul kultural dan daya kohesi dan agregasi sosial menjadi kuat.
Reformasi yang telah berlangsung mestinya memberikan arah yang jelas bagi pembangunan kembali simpul-simpul sosial kultural. Reformasi itu sendiri belum memberikan kontribusi realnya atas bangunan sosial yang dimaksud, bahkan reformasi yang telah berumur sewindu ini mengukuhkan praktek politik kaum elite yang cenderung korup, manipulatif dan jauh dari semangat demokratis yang menjadi cita-cita dasar reformasi. Justru eforia reformasi yang hampir didengungkan dan cukup menguras energi berpikir pada semua level kehidupan demokrasi, saat ini dianggap telah kehilangan kendali, kebablasan dan jauh dari oerientasi serta semangat yang melatar belakangi reformasi tersebut digulirkan oleh elemen kritis bangsa.
Di tengah kondisi politik demikian, praktik perpajakan yang agak “krodit” harus menyadari akan adanya impact dari perubahan yang saat ini terus berlangsung. Kalau pajak masih dikelola dengan cara-cara lama, maka akan memperoleh berbagai tekanan dari kalangan sosial politik. Oleh karena itu, dalam rangka pendistribusian kekayaan dalam perspektif keadilan, pajak harus dikelola menurut standar dan aturan yang lebih terbuka dan demokratis.
Agenda bangsa yang menyangkut reorientasi pajak agar menjadi demokratis yang merupakan keinginan banyak orang menjadi penting untuk segera dilakukan. Tanpa melakukan perbaikan dalam konteks perubahan tersebut, pajak dengan berbagai dinamikanya akan dirombak oleh mesin perubahan yang siap sedia untuk memperbaikinya.
Cara-cara pengelolaan pajak yang penuh bias dan cenderung menyimpang harus segera ditinggalkan dengan melakukan perbaikan internal pajak menuju good governance. Sungguh pun begitu, kalangan pajak sendiri harus ditekan oleh kekuatan negara agar mereka yang diberi tugas mengelola sumber keuangan negara tersebut dapat menunjukkan perilaku yang demokratis.
Pajak Dan Potret Ekonomi Indonesia
Pada saat ini, bangsa Indonesia sedang menjalankan reformasi ekonomi sebagai bentuk usaha pemulihan akibat tsunami ekonomi yang secara riil telah mengganggu sedemikian hebatnya terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Walaupun telah berjalan dalam kurun waktu yang cukup lama dan juga sejalan dengan silih bergantinya rezim kekuasaan, namun kelihatannya, pelaksanaan dan hasilnya masih jauh dari harapan.
Dalam pandangan Sri Adiningsih, faktor non ekonomi baik sosial, politik dan keamanan yang mulai memanas akhir-akhir ini membuat masalah dan tantangan yang harus dihadapi dalam melaksanakan restrukturisasi ekonomi meningkat. Demikian juga sektor eksternal (internasional) yang negatif sebagai akibat pertumbuhan ekonomi dunia yang menurun yang diindikasikan dengan semakin tingginya harga minyak dunia, dikhawatirkan akan membuat proses pemulihan ekonomi yang pada saat ini menunjukkan grafik peningkatan yang cukup baik nampaknya menjadi agak tergangu. Meskipun benar bahwa ekonomi dan ekspor tumbuh secara signifikan, namun demikian belum dapat mampu membangun fondasi ekonomi yang kuat, sehingga memanasnya perkembangan non ekonomi telah membuat ekonomi mudah terperosok. Sementara itu lemahnya koordinasi dan tidak adanya konsistensi dalam pengambilan kebijakan ekonomi telah membuat kepercayaan pada perekonomian Indonesia agak menurun. [2]
Meski pemerintah yang berkuasa saat ini memiliki legitimasi yang kuat dari rakyat, namun merosotnya kepercayaan masyarakat dan pasar terhadap otoritas ekonomi Indonesia membuat sulit bagi Indonesia untuk menarik investor yang diharapkan dapat menggairahkan kembali kinerja ekonomi. Apalagi pada saat ini masalah penegakan hukum dan good governance masih merupakan isu penting yang belum dapat terselesaikan. Persoalan hutang negara baik domestik maupun internasional yang semakin meningkat dengan signifikan telah membuat struktur APBN menjadi agak timpang akibat defisit anggaran yang dari tahun ke tahun tak kunjung terselesaikan.
Dalam kaitannya dengan invetasi, Umar Juaro sebagai seorang pakar ekonomi memberikan pendapatnya bahwa pertumbuhan investasi sekalipun kelihatannya tinggi, namun ini disebabkan karena mulai dengan dasar yang sangat rendah dan secara absolut tingkat investasi masih jauh dibandingkan dengan masa sebelum krisis melanda Indonesia. Perusahaan yang melakukan investasi pada umumnya melakukannya dengan mengandalkan sumber dana internal, atau mereka menunda pembayaran hutang dan dananya digunakan untuk investasi.[3] Pada sisi lain, menurut Bomer Pasaribu, faktor non ekonomi banyak mempengaruhi proses keberlanjutan “loss of market confidance”. Ketidakamanan dalam berinvestasi dan lemahnya supremasi hukum serta parahnya praktek kolusi, korupsi dan nepotisme membuat ketidakpercayaan pihak luar negeri untuk berinvestasi di Indonesia. [4]
Akumulasi keadaan tersebut telah menyebabkan Indonesia dilanda oleh berkembangnya black economy yang meliputi kolusi, korupsi, kronisme, dan nepotisme, penyelundupan ke dalam dan luar negeri, maraknya kriminalisasi, berkembangnya bisnis narkoba dan money laundering, meningkatnya pemalsuan dan pembajakan, pungutan liar, pelacuran, maraknya pronografi dan pornoaksi, dan timbulnya “geng-geng mafia” yang di luar kontrol pemerintah. Kegiatan black economy di Indonesia diperkirakan secara kasar di atas 35%. Hal ini menyebabkan rendahnya rasio penerimaan pajak di Indonesia.[5]
Lebih lanjut, Endin AJ. Soefihara mengingatkan bahwa disadari atau tidak, beban fiskal (anggaran) pemerintah dalam beberapa tahun mendatang akan semakin berat, yang diakibatkan oleh menumpuknya utang luar negari (tahun 2004, 71.64 triliun) dan utang domestik (tahun 2004, 102.38 triliun) yang nilainya sudah sangat besar. Beban utang ini bahkan telah menyita sebagian besar pengeluaran pemerintah.[6]
Pos pengeluaran yang akan mengalami perubahan setidaknya meliputi empat hal yakni, pos pembayaran utang luar negeri, pembayaran obligasi rekapitulasi dan pos pengeluaran subsudi BBM serta pos dana tanggap darurat untuk penanganan bencana alam. Sementara itu dari sisi penerimaan, baik pos penerimaan migas maupun diluar penerimaan migas diperkirakan juga mengalami perubahan. Penerimaan dari pajak juga akan dipengaruhi oleh kebijakan seputar restrukturisasi perusahaan yang meminta insentif pajak.[7] Dengan kondisi ruang gerak fiskal pemerintah yang semakin terbatas, tidak ada jalan lain kecuali antara lain melakukan inovasi pada penerimaan dari sektor pajak.
Meski disadari bahwa masalah dan tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah amat berat, namun demikian bangsa Indonesia sebenarnya memiliki modal besar0 yang dapat digunakan untuk membangun Indonesia dan menggapai tujuan kemerdekaan bangsa Indonesia yakni mencapai masyarakat adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia yang tentunya merupakan amanat bagi kita untuk menjalankannya.
Dalam konteks ini, agenda penting yang harus segera dilakukan oleh bangsa Indonesia adalah melakukan reorientasi penguatan perpajakan yang demokratis dan berkeadilan. Pengelolaan perpajakan yang berwajah demokratis dan berkeadilan ini dilakukan dalam rangka menyokong penguatan ekonomi agar supaya ekonomi Indonesia tidak terjebak ke dalam debt trap dan juga asset dan kewajiban negara dapat dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkelanjutan dan berkeadilan sosial. Dengan demikian, gendering reformasi ekonomi yang telah digulirkan bangsa ini, diharapkan selain dapat memulihkan ekonomi juga dapat mencapai cita-cita bangsa Indonesia tersebut diantaranya dengan membangun perekonomian yang memiliki daya tahan yang kuat (sehat) dan memiliki daya saing yang tinggi pada tingkat internasional.
Apa yang disinyalir Bomer Pasaribu dengan berkembangnya black market meliputi kolusi, korupsi, kronisme, dan nepotisme, penyelundupan ke dalam dan luar negeri, maraknya kriminalisasi, berkembangnya bisnis narkoba dan money laundering, meningkatnya pemalsuan dan pembajakan, pungutan liar, pelacuran, maraknya pronografi dan pornoaksi, dan timbulnya “geng-geng mafia” yang di luar kontrol pemerintah,[7] yang diduga sebagai penyebab rendahnya rasio penerimaan pajak di Indonesia, oleh pemerintah perlu segera diantisipasi dengan serius. Produk regulasi yang menyangkut perang melawan kejahatan black market harus segera dan secara konsisten diterapkan. Jika tidak, reformasi ekonomi yang sedang kita lakukan hingga saat ini tidak akan tercapai secara optimal, yang pada akhirnya juga akan sangat menggangu struktur penerimaan negara dalam melakukan pembiayaan proyek-proyek sosial kemasyarakat sebagai bentuk komitmen kontrak sosial antara negara dan rakyat.
Berangkat dari fenomena ekonomi dan krisis fiskal yang dialami bangsa Indonesia saat ini, tepatlah jika keputusan pemerintah untuk mengubah kebijakan anggaran dari yang berbasis resources ke anggaran yang berbasis pajak. Sebab sumber daya alam yang kita miliki seperti migas, selain dipengaruhi oleh faktor persediaan yang nilainya semakin menipis juga sangat tergantung kepada pembentukan harga pasar internasional yang sangat fluktuatif. Artinya, situasi tersebut sangat sulit untuk dijadikan referensi ketika kita berketetapan membangun anggaran yang stabil dan dinamis. Untuk itu, sudah saatnya sekarang praktik perpajakan Indonesia dikelola sesuai dengan konteks tuntutan perubahan yang mencerminkan semangat berbangsa dan bernegara yang berjiwa demokratis.
Potret Perpajakan Yang Demokratis
Dalam suatu negara, pajak merupakan sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya. Salah satu pembiayaan negara yang penting dalam hal ini adalah pembangunan sosial kemanusiaan, selain pembiayaan lainnya. Oleh karena itu, pemerintah dengan kekuasaan yang dimilikinya akan berusaha untuk memaksimalkan penerimaan dari sektor pajak. Dalam teori negara, bahwa negara melakukan fungsinya untuk melayani kebutuhan masyarakat, tidak untuk kepentingan pribadi. Maka kepentingan umum didahulukan atas kepentingan pribadi dan golongan. Dengan luasnya medan tanggung jawab negara, maka negara membutuhkan dukungan finansial dari rakyat. Untuk itu, negara dituntut membuat ketentuan yang akan dijadikan pijakan untuk mengimbangi ketimpangan sosial dalam masyarakat dengan pajak.
Tegasnya, negara punya beban sosial kemanusiaan dan untuk memenuhinya negara membuat ketentuan untuk mewajibkan warga negara atas dasar kedaulatan menanggung pembiayaan pembangunan tersebut sesuai dengan kemampuan. Kerelaan rakyat membayar pajak sesungguhnya bagian dari komitmen rakyat untuk menciptakan keseimbangan dan keadilan sosial dalam masyarakat, itulah yang menjadi inti dari makna sosial pajak. Dalam hal ini, negara membatasi yang kuat dengan diwajibkan membayar pajak dan melindungi yang lemah dengan mendistribusikan uang pajak kepada mereka yang lemah ini secara merata dan berkeadilan.
Hal ini bertitik tolak dari dasar pemikiran bahwa penentu kebijakan publik berusaha untuk memaksimalkan penerimaan pajak yang dapat ditarik dari sektor swasta. Akan tetapi, menurut Buchanan dan Milton Friedmen sebagaimana dikutip oleh Philippe Vitu menyatakan bahwa dalam suatu negara yang demokratis dan berasaskan hukum, kekuasaan untuk mengenakan pajak tidak boleh bersifat tidak terbatas, atau dengan kata lain kekuasaan untuk mengenakan pajak harus dibatasi (limits on the taxing power) melalui undang-undang.[9]
Secara umum, pembatasan tersebut mengacu kepada prinsip-prinsip ajaran Adam Smith yaitu dikenakan sesuai dengan kemampuan membayar (equality); harus mempunyai kepastian hukum (certainty); dikenakan pada saat yang tidak menyulitkan (convenience); dan biaya pemungutan pajak dan pemenuhan kewajiban pajak seminimal mungkin (economy). Lebih lanjut Mansury menjelaskan, prinsip certainty (kepastian) tersebut harus dihubungkan dengan empat hal yakni : 1) harus pasti “siapa-siapa” yang harus dikenakan pajak; 2) harus pasti “apa” yang menjadi dasar untuk mengenakan pajak; 3) harus pasti “berapa” jumlah pajak yang harus dibayar; dan 4) harus pasti “bagaimana” cara membayarnya.[10] Frans Vanistendael juga menyatakan bahwa kekuasaan untuk mengenakan pajak harus dibatasi, antara lain dengan prinsip keadilan, kesetaraan antara aparat pajak dan Wajib Pajak, pajak harus dikenakan atas dasar kemampuan Wajib Pajak (ability to pay) dan ketentuan pajak tidak boleh berlaku surut.[11]
Selain itu, pajak juga harus dikelola oleh negara dengan jelas dan pasti, tidak boleh ada keraguan dalam pengelolaan pajak, sebab tanpa kepastian tentulah akan mengganggu jalannya pemerintahan terutama fungsi negara untuk menjamin keadilan dan kesejahteraan warga melalui distribusi pajak. Melalui distribusi pajak yang meratalah akan dapat mengurangi kesenjangan sosial dalam masyarakat, dengan begitu pajak akan meningkatkan taraf hidup rakyat ekonomi lemah.
Karena pajak merupakan kontak sosial antara rakyat dan negara, maka pajak menjelma sebagai sarana komunikasi antara rakyat yang memiliki sejumlah kelebihan harta dengan komponen masyarakat lain yang akan memperoleh keadilan ekonomi melalui lembaga negara. Dalam beberapa segmen, rakyat selalu menjadi bagian dari pengelolaan negara, artinya negara dapat tegak oleh karena adanya rakyat dan rakyat membutuhkan negara untuk mengatur dan mengelola kehidupan menjadi lebih bermoral dan beradab.
Dalam beberapa literatur pajak terdapat adagium yang mengatakan “no tax representation” yang maksudnya tiada perwakilan (di perlemen dalam kegiatan politik) tanpa membayar pajak. Adagium ini mencoba mencari benang merah antara kegiatan demokrasi dengan hak untuk membayar pajak. Kalau masyarakat ingin berdemokrasi dengan baik dan melaksanakan hak-hak politiknya, biaya demokrasi yang terjadi karena kegiatan dimaksud harus dapat ditutupi dari pembayaran pajak para anggota masyarakat. Adagium ini dapat dijelaskan dengan suatu persepsi bahwa negara mempunyai kewenangan memungut pajak dari rakyat yang dijalankan menurut aturan dan norma yang telah ditentukan secara bersama melalui proses politik oleh wakil rakyat dan pemerintah.
Dalam perspektif teori negara, bahwa pemerintah yang sah adalah pemerintah yang memperoleh legitimasi politik dari rakyat, artinya rakyat telah memberikan persetujuan politik kepada rezim yang berkuasa. Atas persetujuan atau legitimasi yang telah diberikan rakyat, maka negara harus menunaikan kewajibannya untuk memberikan jaminan sosial yang adil kepada rakyat, dapat melindungi yang lemah dan membatasi yang kuat sebagai upaya untuk mewujudkan suatu keteraturan sosial.
Untuk mewujudkan keseimbangan sosial yang adil tersebut, pemerintah dengan perangkat hukum yang tersedia berhak memungut pajak kepada rakyat dalam rangka melindungi yang lemah dan membatasi dominasi yang kuat. Pajak menjadi alat bagi negara untuk menciptakan keseimbangan sosial yang merata, sekalipun kadar pemerataan itu bersifat relatif dan temporal.
Upaya untuk memberikan warna demokrasi dalam sistem perpajakan nasional telah dilakukan oleh pemerintah dengan dikeluarkannya peraturan tentang pajak dan desentralisasi fiskal, dimana publik wajib pajak memiliki ruang untuk terlibat dalam proses pemanfaatan pajak. Keterlibatan masyarakat dalam proses kebijakan perpajakan menjadi sangat penting, karena selain dapat mengeliminasi potensi konflik[12] juga dapat meningkatkan kepatuhan sukarela masyarakat secara kolektif. Masyarakat mempunyai hak politik dalam setiap proses politik yang diselenggarakan negara terutama yang menyangkut masyarakat itu sendiri, karena pada dasarnya setiap individu mempunyai hak kebebasan dan mempunyai kedudukan setara dalam hal hak dan kewajiban.
Secara substansi, demokrasi mengandung makna kesetaraan dan partisipasi. Oleh karena itu, demokrasi perpajakan dapat dimaknai sebagai terbangunnya sistem perpajakan yang menggambarkan adanya kesetaraan antara pemerintah dan masyarakat pembayar pajak, sehingga memungkinkan munculnya partisipasi masyarakat, sejak dari proses pembuatan kebijakan pajak, pengumpulan pajak dan pemanfaatan uang pajak. Membangun wajah perpajakan yang demokratis dan berkeadilan mengandung makna adanya proses akuntabilitas atas pemungutan pajak oleh negara kepada rakyat yang telah merelakan untuk membayar pajak. Di samping itu juga, harus mencerminkan prinsip keterbukaan dalam pengelolaan uang rakyat, yang diatur dalam karidor hukum pajak yang resposif terhadap tumbuh kembangnya demokrasi perpajakan.
Pada tataran yang demikian, perwujudan demokratisasi dalam pengelolaan pajak harus mencakup hal-hal sebagai berikut :[13]
  1. Terdapatnya mekanisme perpajakan yang dapat mengatasi konflik kepentingan antara wajib pajak dan pemerintah;
  2. Adanya ruang yang memadai bagi partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan perpajakan;
  3. Terdapatnya perundang-undangan perpajakan yang mencerminkan adanya kesetaraan hukum antara wajib pajak dan pemerintah; dan
  4. Terdapatnya perubahan pemusatan kekuasaan dari penguasa kepada rakyat yang ditandai oleh adanya akses masyarakat terhadap pengawasan pengelolaan uang pajak.

Menurut Edi Slamet Irianto, demokratisasi perpajakan akan sangat ditentukan oleh tersedianya produk hukum yang mengaturnya serta adanya political will dari pemerintah untuk menjalankan aturan hukum yang tersedia. Produk hukum yang mendukung demokrasi fiskal sudah tersedia, meskipun belum memadai untuk mendorong demokratisasi fiskal yang selama ini terpusat pada pemerintah, namun aturan hukum yang sudah ada mestinya dijalankan sesuai semangat demokrasi, transparansi dan efisien.[14]
Dengan menggunakan standar demokrasi, mestinya rakyat yang berdaulat, artinya rakyat diasumsikan paling sedikit atau sama kuat dari negara (Pemerintah). Pajak umpamanya, harus diposisikan sebagai dimensi dimana rakyat berkuasa dan pemerintah “ditugaskan” oleh rakyat untuk memungut uang pajak dalam kerangka peningkatan demokrasi. Demokrasi perpajakan didasarkan kepada kekuatan politik nyata antara pemerintah dengan rakyat,hal ini memiliki akar demokrasi pada pada struktur masyarakat bangsa. sekalipun rakyat sama atau lebih kuat dari pemrintah, tetap tidak selalu melahirkan sikap mencerminkan semagat demokrasi yang dimaksud, tetapi syarat utamanya sudah menampakkan wajahnya yakni demokrasi politik.
Demokrasi perpajakan akan sangat mungkin berkembang dimasa depan, apabila didukung oleh demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Asumsi yang dapat digunakan dalam melihat hal ini adalah, pajak merupakan salah satu bagian dari sistem ekonomi nasional berhubungan erat dengan demokrasi politik. Demokrasi biasa dipahami sebagai hasil dari perkembangan pasar bebas (liberalisasi) yang dijalankan oleh sistem ekonomi kapitalis. Dengan begitu, kalau mau terjadi proses demokrasi perpajakan berlangsung, maka syaratnya adalah mendorong kelembagaan politik dan birokrasi agar memenuhi kaedah-kaedah dan prinsip-prinsip demokrasi yang berkembang dalam pasar politik, mengikat demokrasi yang modern mengikuti perkembangan pasar global.
Dalam perspektif yang demikian, maka pengelolaan pajak harus mencerminkan prinsip-prinsip good governance, sebagai sebuah sikap demokratisasi yang inheran dengan tuntutan global. Setelah perekonomian Indonesia mengalami “meltdown” dibakar krisis moneter, isu-isu yang menyangkut Good Corporate and Public Governance yang telah lama terpendam, akhirnya naik kepermukaan dan makin santer didengungkan oleh masyarakat luas, baik yang tersurat maupun tersirat.
Masyarakat merasa bahwa selama organisasi privat dan publik tidak distrukturkan, dioperasikan dan dikendalikan sesuai dengan prinsip-prinsip Good Corporate and Public Governance, sehingga setelah gagal total untuk mencapai sasaran strategis jangka panjang sebagaimana semestinya, karena tidak mampu menciptakan hubungan-hubungan yang serasi dan selaras di antara kelompok-kelompok kepentingan (stakeholders) dalam masyarakat.
Tidaklah mengherankan jika dalam laporan tentang Corporate Governance oleh CLSA tahun 2003 menempatkan Indonesia di urutan terbawah dengan skor 1,5 untuk masalah penegakan hukum; 2,5 untuk mekanisme institusional dan budaya Corporate Governance; dengan total skor 3,2. Meski Indonesia dengan skor 4 di tahun 2004 lebih baik dibanding 2003 dan terus membaik pada tahun selanjutnya, namun kenyataan masih tetap berada di urutan terbawah di antara negara-negara Asia. Faktor penyebab rendahnya kinerja Indonesia adalah penegakan hukum dan budaya Corporate Governance masih berada di titik paling rendah di antara negara-negara lain yang sedang tumbuh di Asia.
Menurut pandangan Wahjudi Prakarsa, sesungguhnya tuntutan tersebut bukan merupakan monopoli Indonesia, tapi telah meluas secara universal ke seluruh dunia setelah berakhirnya perang dingin. Tuntutan yang makin eksplosif tersebut timbul sebagai akibat dari : pertama, perubahan konstelasi perpolitikan global dari era geopolitik menuju era geoekonomi; kedua, akselerasi peningkatan peran sektor privat dalam era globalisasi; ketiga, interdependensi antar perusahaan maupun antar negara yang semakin meluas dalam era revolusi informasi; dan keempat, lingkungan persaingan yang makin turbulen.[15]
Kegagalan dalam soal demokratisasi perpajakan lebih banyak dipengaruhi persoalan pengelolaan pajak yang tidak mencerminkan nilai-nilai demokrasi. Hal itu dapat ditengok dari produk hukum perpajakan yang kurang mencerminkan semangat transparansi dan demokratis. Undang-undang yang dihasilkan sanagt ambigu, tidak tegas dan jelas, akibatnya pengelolaan pajak masih bersifat parsial dan temporal. Pajak hanya dilekatkan kepada kewajiban rakyat sebagai pembayar pajak, sementara negara dengan otoritas yang dilegitimasi oleh idiologi (UU dan berbagai peraturan lainnya) masih menyisakan berbagai persoalan yang berkenaan dengan kepentingan rakyat.
Dalam perspektif demokrasi, rakyat memiliki posisi strategis karena dalam sistem demokrasi rakyatlah pemegang kekuasaan tertinggi. Oleh karena itu, sewajarnya bila rakyat ikut terlibat dalam berbagai tingkatan proses pengelolaan pajak. Tentu dalam hal ini rakyat harus ditempatkan pada posisi, bahwa kontrol rakyat atas keuangan perpajakan dimaknai sebagai hak yang perlu diakomodasi oleh negara. Memang pajak merupakan salah satu sumber keuangan negara yang mesti dikelola secara maksimal dan menurut prinsip-prinsip keadilan, kejujuran, akuntabel dan transparan.
Kontrol rakyat terhadap pengelolaan negara merupakan salah satu syarat lain dari proses menuju pada demokratisasi bangsa. Dengan begitu akan dapat mengurangi penyimpangan dan distorsi penggunaan keuangan negara yang bersumber dari pajak. Kontrol rakyat sebagai upaya untuk mengubah perilaku disfungsional atau penyimpangan, bukan untuk memberikan semacam sanksi sosial atau hukuman, tetapi untuk membantu dalam kerangka memperbaiki para pengelola negara agar menuju jalan yang lurus yakni jalan yang diridhoi oleh rakyat sebagai pemegang mandat politik tertinggi dan sekaligus sebagai sumber pembiayaan proyek-proyek sosial kemanusiaan.

Penutup
Produk regulasi yang menyangkut perang melawan kejahatan black market di Indonesia diperkirakan secara kasar di atas 35%, sehingga menyebabkan rendahnya rasio penerimaan pajak di Indonesia, harus segera dan konsisten diterapkan. Agenda penting yang harus segera dilakukan oleh bangsa Indonesia adalah melakukan reorientasi penguatan perpajakan yang demokratis dan berkeadilan. Usaha ini dilakukan dalam rangka menyokong penguatan ekonomi agar supaya ekonomi Indonesia tidak terjebak ke dalam debt trap dan juga asset dan kewajiban negara dapat dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkelanjutan dan berkeadilan sosial.
Dalam perspektif demokrasi, rakyat memiliki posisi strategis karena dalam sistem demokrasi rakyatlah pemegang kekuasaan tertinggi. Oleh karena itu, sewajarnya bila rakyat ikut terlibat dalam berbagai tingkatan proses pengelolaan pajak menurut prinsip-prinsip keadilan, kejujuran, akuntabel dan transparan (good governance). Demokratisasi perpajakan akan sangat ditentukan oleh tersedianya produk hukum yang mengaturnya serta adanya political will dari pemerintah untuk menjalankan aturan hukum yang tersedia.
Sumber daya alam yang kita miliki seperti migas, selain dipengaruhi oleh faktor persediaan yang nilainya semakin menipis juga sangat tergantung kepada pembentukan harga pasar internasional yang sangat fluktuatif. Oleh karena itu, keputusan pemerintah untuk mengubah kebijakan anggaran dari yang berbasis resources ke anggaran yang berbasis pajak, sangatlah tepat.

Catatan/End Fote
[1] Hamzah Haz, Pengatar dalam buku Membangun Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Zakat Harta, Nuansa Madani, Jakarta, 2001.
[2] Sri Adiningsih, Restrukturisasi Ekonomi Dalam Pemulihan Ekonomi Indonesia, Pemulihan Ekonomi dan Otonomi Daerah (Refleksi Pemikiran Partai Golkar), LASPI, Jakarta, 2001. hlm. 54
[3] Umar Juoro, Pemulihan Ekonomi Lambat dan Rentan Terhadap Gejolak Politik, Pemulihan Ekonomi dan Otonomi Daerah (Refleksi Pemikiran Partai Golkar), LASPI, Jakarta, 2001. hlm. 56
[4] Bomer Pasaribu, Perspektif Krisis Indonesia 2001-2003 Menuju Pemulihan Atau Lingkaran Setan, Pemulihan Ekonomi dan Otonomi Daerah (Refleksi Pemikiran Partai Golkar), LASPI, Jakarta, 2001. hlm. 74
[5] Ibid, hal. 75
[6] Endin AJ. Sofihara, Rekonstruksi Masa Depan Indonesia: Perspektif Politik dan Ekonomi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002. hal. 149
[7] Ibid, hal. 156-158
[0] Beberapa modal dasar yang kita miliki untuk membangun Indonesia adalah cukup menyakinkan untuk dapat mencapai cita-cita itu. Fakta bahwa bangsa Indonesia pada dasarnya adalah bangsa besar yang telah terbukti dari sejarah perkembangannya yang sejak dulu kala. Selain itu bangsa Indonesia memiliki tanah air yang luas dan kaya yang tentunya jika dikelola dengan baik dan profesional akan dapat digunakan sebagai modal dalam membangun. Lihat uraian ini dalam tulisan Sri Adiningsih, op.cit., hlm. 53.
[8] Bomer Pasaribu, loc.cit
[9] Darussalam & Danny Septriadi, Membatasi Kekuasaan Untuk Mengenakan Pajak, Grasindo, Jakarta, 2006. hal. 1-2
[10] Mansury, Pajak Penghasilan Lanjutan: Pascareformasi 2000, YP4, Jakarta, 2002, hal. 12
[11] Frans Vanistendael, Legal Framework for Taxation, dalam Thuronyi (ed.), Tax Law Design and Drafting, IMF, 1996, hal. 19-27, dikutip dari Darussalam & Danny Septriadi, Membatasi Kekuasaan Untuk Mengenakan Pajak, Grasindo, Jakarta, 2006. hal. 4
[12] Edi Slamet Irianto & Syarifuddin Jurdi, Politik Perpajakan Membangun Demokrasi Negara, UII Press, Yogjakarta, 2005, hal. 93
[13] Ibid, hal. 94-95
[14] Wahjudi Prakarsa, Corporate Governance: Suatu Keniscayaan, Jurnal Reformasi Ekonomi Vol. 1-No. 2, LSPEU Indonesia, Jakarta, 2000, hal. 20
[15] Ibid, hal. 126

Rujukan :

Bomer Pasaribu, Perspektif Krisis Indonesia 2001-2003 Menuju Pemulihan Atau Lingkaran Setan, Pemulihan Ekonomi dan Otonomi Daerah (Refleksi Pemikiran Partai Golkar), LASPI, Jakarta, 2001
Darussalam & Danny Septriadi, Membatasi Kekuasaan Untuk Mengenakan Pajak, Grasindo, Jakarta, 2006
Edi Slamet Irianto & Syarifuddin Jurdi, Politik Perpajakan Membangun Demokrasi Negara, UII Press, Yogjakarta, 2005
Endin AJ. Sofihara, Rekonstruksi Masa Depan Indonesia: Perspektif Politik dan Ekonomi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002
Mansury, Pajak Penghasilan Lanjutan: Pascareformasi 2000, YP4, Jakarta, 2002
Wahjudi Prakarsa, Corporate Governance: Suatu Keniscayaan, Jurnal Reformasi Ekonomi Vol. 1-No. 2, LSPEU Indonesia, Jakarta, 2000






EKSISTENSI LEMBAGA KEUANGAN MIKRO (LKM) SEBAGAI ALTERNATIF STRATEGI PENGUATAN EKONOMI RAKYAT

Pendahuluan

Fakta membuktikan bahwa ketika krisis[1] melanda bangsa Indonesia, kegiatan ekonomi rakyat kecil dalam bentuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang merupakan bagian terbesar dalam kegiatan ekonomi masyarakat, justru lebih dapat bertahan. Sektor UMKM seolah menjadi pahlawan penyelamat perekonomian bangsa, sehingga berbagai kelangan juga terus mendukung upaya penguatan sektor ini, bahkan tidak jarang disebutkan bahwa masa depan perekonomian Indonesia ada pada sektor UMKM.
Walaupun demikian, disadari bahwa potensi UMKM yang belum dapat tersentuh oleh praktik perbankan formal (unbankable market) adalah sangat besar. Di satu sisi, UMKM menjadi pilar perekonomian rakyat, lebih-lebih pada masa mengatasi dampak krisis ekonomi, tetapi di sisi lain UMKM tidak cukup memperoleh layanan permodalan secara proporsional. UMKM mengharapkan terpenuhinya kebutuhan modal dalam waktu yang tepat, dengan persyaratan yang mudah serta dengan biaya murah, tidak menjadi masalah lembaga keuangan apapun (formal atau informal) asal dapat memenuhi harapan tersebut, akan tetapi harapan ini tidak selalu terpenuhi dengan baik sehingga selalu muncul permasalahan pembiayaan. Sedangkan lembaga keuangan (bank) mengharapkan dapat memberikan layanan keuangan sesuai persyaratan dan prosedur tertentu sebagai parameter baku yang harus dipenuhi, tetapi kembali pada sisi ini UMKM tidak selalu dapat memenuhi ketentuan ini. Pandangan bahwa UMKM tergolong unbankable dan berisiko tinggi dengan tingkat pengembalian yang rendah masih sangat kuat melekat pada lembaga permodalan.
Untuk mendorong ekonomi rakyat ini memang disadari bahwa modal bukan satu-satunya pemecahan, tetapi tetap saja bahwa ketersediaan permodalan yang secara mudah dapat dijangkau pelaku usaha kecil sangat vital, karena pada dasarnya kelompok inilah yang selalu menjadi korban eksploitasi oleh pelepas uang (renteiner atau money lender). Salah satu penyebabnya adalah ketiadaan pasar keuangan yang sehat bagi masyarakat lapisan bawah ini, sehingga setiap upaya untuk mendorong produktivitas oleh kelompok ini, nilai tambahnya terbang dan dinikmati para pelepas uang. Adanya pasar keuangan yang sehat tentu tidak terlepas dari keberadaan lembaga keuangan yang hadir di tengah masyarakat.
Mengingat sebagian besar UMKM adalah usaha skala mikro dan kecil dan di sisi lain banyak yang belum tergarap oleh pembiayaan perbankan komersial akibat kendala bank teknis, maka sudah sepatutnya sektor ini menjadi perhatian sekaligus pasar sasaran (target market) yang potensial bagi bisnis Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Hal ini dikarenakan pertama, usaha ekonomi rakyat skala mikro dan kecil belum seluruhnya dapat dilayani atau dijangkau oleh LKM yang ada; kedua, LKM beradad di tengah masyarakat; ketiga, ada potensi menabung oleh masyarakat karena rendahnya penyerapan investasi di daerah, terutama di pedesaan; dan terakhir, adanya dukungan dari lembaga dalam negeri dan internasional cukup kuat.
Hal ini membuktikan bahwa LKM telah menjadi sarana yang efektif untuk mengembangkan ekonomi rakyat dan memberdayakan rakyat kecil. Keberadaan LKM tersebut ditujukan untuk memenuhi kebutuhan modal dan kebutuhan pelayanan keuangan lain. Oleh karena itu perlu difikirkan cara-cara yang dapat mendorong LKM dapat berkembang secara lebih baik, terutama dalam rangka pemberdayaan dan penguatan usaha ekonomi rakyat.[2]
Lembaga Keuangan Mikro Di Indonesia

Indonesia memiliki reputasi internasional sebagai negara yang telah mengembangkan berbagai bentuk lembaga dengan berbagai bentuk jasa keuangan mikro. Indonesia merupakan laboratorium pasar keuangan mikro terbesar dunia, yaitu dengan indikator tumbuh dan berkembangnya Lembaga Keuangan Mikro mengikuti kebutuhan masyarakat setempat dan sesuai dengan kultur.[3]
Secara historis, LKM telah tumbuh jauh sebelum Republik ini berdiri. LKM terutama yang informal, tumbuh mengakar bersama perkembangan masyarakatnya. Sejak zaman sebelum kemerdekaan, LKM menjadi alternatif bagi kelompok berpenghasilan rendah dalam memenuhi kebutuhan dana mereka. Pada saat itu, LKM tumbuh dan berkembang dalam berbagai variasinya sesuai dengan yang dibutuhkan masyarakat saat itu dengan tanpa adanya intervensi dari pemerintah. Pada perkembangan setelah zaman kemerdekaan, LKM tetap survive di tengah kondisi yang tidak kondusif karena kebijakan pembangunan lebih menyokong pertumbuhan ekonomi yang pro pengusaha besar.[4] Fakta ini cukup menggambarkan bahwa LKM tetap diperlukan dan memiliki daya lentur yang luar biasa mengikuti kebutuhan konstituennya.[5]
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang ada saat ini sangat banyak dan bervariasi, baik ditinjau dari sisi kelembagaan, tujuan pendirian, budaya masyarakat, kebijakan pemerintah maupun sasaran lainnya. Menurut Endang S. Thohari, secara umum LKM di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) jenis yaitu yang bersifat formal dan Informal. LKM formal dalam bentuk Bank terdiri dari BKD, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan BRI Unit, sementara LKM formal non Bank mencakup Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP) dan Koperasi (KSP & KUD). Adapun LKM informal terdiri dari berbagai kelompok dan lembaga swadaya masyarakat (KSM & LSM), Baitul Maal wat Tanwil (BMT), Lembaga Ekonomi Produktif Masyarakat Mandiri (LEPM), Unit Ekonomi Desa - Simpan Pinjam (UED-SP), dan bentuk kelompok lainnya.[6]
Lembaga Keuangan Mikro (LKM), baik formal, semi formal maupun informal merupakan lembaga yang melakukan kegiatan jasa keuangan/ pembiayaan untuk pengusaha mikro dan masyarakat berpendapatan rendah. Jasa keuangan mikro memiliki lingkup yang luas, seperti simpanan, pinjaman, jasa pembayaran, bahkan asuransi, biasanya dalam bentuk yang sederhana. Sebagai lembaga keuangan, LKM berfungsi sebagai lembaga yang menyediakan berbagai jasa keuangan, baik untuk kegiatan produktif yang dilakukan oleh berbagai kegiatan usaha mikro, maupun untuk kegiatan konsumtif keluarga masyarakat miskin.[7]
Sehubungan dengan hal di atas, Faisal Baasir mengemukakan bahwa pada dasarnya Lembaga Keuangan Mikro (LKM) mempunyai karakter khusus yang sesuai dengan konstituennya, seperti :
1. Terdiri dari berbagai bentuk pelayanan keuangan, terutama simpanan dan pinjaman;
2. Diarahkan untuk melayani masyarakat berpenghasilan rendah; dan
3. Menggunakan sistem serta prosedur yang sederhana.
Karakter ini tentu tidak dapat dipenuhi lembaga perbankan.[8]
Keunggulan di atas menyebabkan LKM sangat penting dalam pengembangan usaha ekonomi rakyat karena merupakan sumber pembiayaan yang mudah diakses oleh usaha mikro dan kecil. Posisi LKM dalam pemberdayaan ekonomi rakyat sangat strategis karena 97% usaha ekonomi rakyat adalah usaha mikro yang belum terjangkau pelayanan perbankan. Pada sisi ini LKM dapat didudukkan sebagai energi pemberdayaan ekonomi rakyat, terutama untuk pembentukan proses nilai tambah dan peningkatan taraf hidup lapisan masyarakat bawah.
Pandangan bahwa usaha mikro dan kecil tergolong unbankable dan berisiko tinggi dengan tingkat pengembalian yang rendah masih sangat kuat melekat pada lembaga permodalan. Pada sisi inilah, eksistensi LKM sebagai motor penggerak ekonomi rakyat sangat dibutuhkan, dimana target dan tujuan akhir yang hendak dicapai adalah membuka akses seluas-luasnya bagi kelompok usaha mikro dan kecil agar dapat meningkatkan aktivitasnya dalam hal pembiayaan pengembangan usaha, baik dalam bentuk modal kerja maupun investasi, serta menumbuhkan dan memupuk jiwa kewirausahaan.
Sistem Pembiayaan Mikro Sebagai Alternatif Pembiayaan UMK
Permasalahan klasik yang selalu muncul dalam rangka pemberdayaan ekonomi rakyat yang sebagian besar merupakan usaha mikro dan usaha kecil (UMK), salah satunya adalah masalah permodalan, yang umumnya disebabkan karena keterbatasan akses ke sumber-sumber permodalan, terutama akses ke lembaga keuangan formal seperti bank, disamping keterbatasan pengetahuan atau kemampuan dalam mencukupi kebutuhan prosedur/persyaratan perbankan. Sementara itu skim kredit yang disalurkan secara teknis belum dapat menjangkau bisnis segmen mikro yang sesungguhnya. Di sisi lain lembaga penyalur kredit belum dapat menyediakan fasilitas layanan yang sesuai dengan dinamika usaha mikro. Pandangan bahwa usaha mikro dan kecil tergolong unbankable dan berisiko tinggi dengan tingkat pengembalian yang rendah masih sangat kuat melekat pada lembaga permodalan.
Melihat kenyataan di atas, maka pemberdayaan usaha ekonomi mikro menjadi suatu keharusan, karena hal itu mencakup sekelompok warga negara Indonesia yang selama ini belum diuntungkan dalam proses pembangunan, tetapi juga bagaimana mewujudkan kemakmuran yang berkeadilan bagi seluruh warga masyarakat, bukan orang per orang. Untuk menuju ke arah ini, Faisal Baasir berpendapat bahwa LKM jelas butuh dukungan pemerintah dari sisi kebijakan yang dapat mendorong lebih aktif penguatan LKM, terutama yang informal. LKM memerlukan “ruang” agar dapat bergerak leluasa. Dalam konteks ini, pemerintah yang ideal adalah menjadi fasilitator dan promotor pembiayaan mikro dan menjadi pihak yang mampu menghentikan capital flow dari desa.[9]
Dalam tataran kebijakan, salah satu bentuk keberpihakan yang perlu dilakukan adalah merancang skim pembiayaan mikro yang sesuai dengan karakteristik usaha mikro. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa dengan akses pada sumber keuangan (modal) dalam bentuk kredit/pinjaman, maka kelompok usaha mikro akan dapat mengoptimalkan sumberdaya yang ada pada dirinya, yang pada gilirannya dapat meningkatkan produktifitas, volume usaha dan pendapatan. Dengan demikian perataan akses pada permodalan merupakan salah satu cara untuk perataan pendapatan. Bahkan akses pada permodalan dalam bentuk kredit/pinjaman merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana hak-hak asasi lainnya.[10]
Dewasa ini industri keuangan telah berkembang pesat, bukan hanya ragam dan jumlah lembaga keuangan tetapi juga instrumen dan infrastruktur keuangan. Semua ini merupakan aset untuk dapat dimanfaatkan oleh usaha mikro dan kecil. Hal ini menunjukkan keberpihakan dukungan lembaga pembiayaan untuk penuhi kebutuhan modal usaha. Meskipun demikian, yang utama dan terpenting adalah bahwa bukan hanya dalam rangka memenuhi kebutuhan modal usaha dalam arti kuantitas, akan tetapi membangun sistem pembiayaan yang melembaga dan cocok bagi usaha mikro dan usaha kecil. Dalam membangun sistem pembiayaan yang cocok bagi usaha mikro dan usaha kecil diperlukan dasar pertimbangan yang objektif dan proporsional. Dasar pertimbangan ini mencakup kepentingan usaha mikro dan usaha kecil maupun lembaga keuangan sehingga sistem pembiayaan yang tepat adalah suatu yang memang dibutuhkan dan bukan suatu eksklusifisme.
Muhammad Taufiq berpendapat bahwa perkembangan sistem pembiayaan mikro secara garis besar ada 2 (dua) jalur. Pertama, sistem ini lahir dan merupakan bagian dari sistem sosial-kultural masyarakat. Sistem ini bersifat mandiri dan mengakar kuat di tengah-tengah masyarakat. Bentuk konkrit penerapan sistem ini diantaranya pola arisan dan gotong royong. Kedua, sistem pembiayaan mikro yang tumbuhnya diprakarsai melalui program pemerintah. Ada kaitan kepentingan antara motif dan kepentingan pembangunan dengan pendirian lembaga keuangan mikro. Walaupun latar belakang pendiriannya berbeda, keduanya memiliki muara sama, yaitu melayani kebutuhan permodalan usaha mikro dan usaha kecil yang tidak memenuhi syarat dan akses dengan lembaga keuangan formal.[11]
Pengalaman menunjukkan bahwa sistem pembiayaan mikro dengan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) sebagai lokomotifnya merupakan pendekatan terbaik dalam upaya pemberdayaan dan pengembangan usaha ekonomi rakyat khususnya usaha mikro. Fakta sejarah telah membuktikan bahwa LKM sebagai garda terdepan dalam penguatan ekonomi rakyat kecil melalui sistem pembiayaan dengan pola pembiayaan mikro, telah memberikan kontribusi positif dan pola ini diyakini sebagai suatu sistem pembiayaan yang “tepat” bagi usaha mikro.
Sistem pembiayaan mikro yang pada umumnya dimotori oleh LKM secara sepintas terkesan kurang profesional, memiliki cakupan sempit dan hanya berpusar pada layanan dalam skala sangat sempit. Menurut Muhammad Taufiq, kesan seperti ini tidak keliru, keberadaan sistem pembiayaan mikro justru ditopang oleh faktor sosial-kultural yang berintegrasi dengan pertimbangan komersial, menciptakan bangun sistem pembiayaan yang mengakar dan memiliki daya tahan kuat yang tidak selalu ditemukan pada sistem pembiayaan formal.[12]
Dengan mendasarkan fakta bahwa sebagian besar ekonomi rakyat adalah usaha skala mikro dan kecil (UMK) maka sistem pembiayaan mikro yang digerakkan oleh LKM merupakan kebutuhan dan pilihan pembiayaan bagi pelaku ekonomi rakyat. Belajar dari pengalaman dan ketangguhan sistem pembiayaan mikro, maka dapat diidentifikasi beberapa nilai kunci. Pertama, sistem pembiayaan mikro tumbuh di atas nilai kemandirian. Kedua, sistem pembiayaan mikro menempatkan aspek sosial-kultural sebagai pilarnya, disamping juga pertimbangan komersial. Ketiga, dilihat dari segi proses penumbuhan, sering sistem pembiayaan mikro pada mulanya sebagai instrumen pembangunan pedesaan atau wilayah.[13]
Memang disadari bahwa pengertian pembiayaan mikro dapat diartikan bermacam-macam, karena memang produk pembiayaan mikro sendiri tidak homogen dan lembaga pelaksanaannya juga bermacam-macam ditinjau dari segi sifat dan status legalnya. Perbedaan-perbedaan ini juga merupakan ciri segmentasi pasar yang perlu dipahami dan bahkan dapat dilihat sebagai mekanisme fungsional dalam pembagian pasar dan target sasaran. Pemahaman ini diperlukan bagi penetapan kebijakan sesuai kelompok sasaran yang hendak dituju. Meskipun program pengenalannya juga sangat terkait dengan munculnya tantangan yang dihadapi masyarakat, namun demikian pembiayaan mikro dengan gerbong lokomotifnya LKM diyakini tetap mempunyai universalitas sebagai penyedia jasa keuangan bagi usaha mikro dan usaha kecil.
Perlunya Legal Framework : Strategi Menuju Penguatan LKM
Keberhasilan sistem pembiayaan mikro tercermin pada tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga keuangan mikro (LKM) yang dimiliki dan dikelola oleh anggotanya (masyarakat), yang mampu memberikan layanan keuangan secara profesional dan maju. LKM merupakan kelembagaan yang diharapkan mempunyai profile yaitu sebagai lembaga “sosial” yang berpihak kepada usaha mikro dan kecil (UMK), tanpa harus memandang apakah bersifat bankable atau tidak, akan tetapi sekaligus sebagai lembaga komersial yang harus tetap survive dan berkembang secara konsisten, sehingga dituntut efisien dan efektifitas dalam kegiatan operasinya.
Sesuai dengan visi LKM untuk menyediakan jasa layanan keuangan kepada masyarakat berpenghasilan rendah dan usaha mikro, maka misi pengembangan LKM adalah menciptakan industri keuangan mikro yang sehat dan berkelanjutan (sustainable) dengan tetap berorientasi pasar. Strategi untuk mencapai struktur keuangan mikro tersebut perlu didukung oleh tersedianya kelembagaan yang memadai. Minimal kelembagaan tersebut mencakup penguatan aspek regulasi (payung hukum) dan penguatan institusional kelembagaan (capacity building). Berpijak pada pemahaman bahwa pengelompokan LKM ke dalam tiga kategori yaitu dananya tergantung pada pihak lain; dananya berasal dari anggotanya; dan memanfaatkan dana tersebut untuk membiayai usaha mikro, maka penguatan LKM ditujukan untuk menjawab isu pengaturan yang mempengaruhi operasionalisasi dan pengembangan institusi LKM.
Indonesia memiliki puluhan ribu Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang berperan sebagai motor ekonomi kerakyatan. Walaupun demikian, LKM beroperasi tanpa kerangka hukum nasional.[14] Untuk mendanai pelayanan kredit kepada nasabahnya, banyak LKM berhasil menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya. Pada sisi ini LKM telah melakukan fungsi intermediasi keuangan seperti halnya yang dilakukan perbankan. Padahal menurut ketentuan Undang-Undang Perbankan, fungsi intermediasi yang dijalankan LKM jelas-jelas melanggar aturan tersebut. Fungsi intermediasi hanya boleh dilakukan oleh bank atau kegiatan itu telah diatur dengan undang-undang yang lain.
Siti Sundari N. mengemukakan bahwa lembaga intermediasi yang ada dibedakan dalam 3 (tiga) kategori yakni ; pertama, berbentuk bank tunduk pada Undang-Undang Pokok Perbankan; kedua, berbentuk Koperasi Simpan Pinjam (KSP) tunduk pada Undang-Undang Koperasi; dan ketiga, Lembaga Keuangan Mikro (LKM) lainnya yang belum diatur dengan undang-undang.[15] Lembaga keuangan yang berbentuk bank16 diatur dengan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah disempurnakan dengan UU No. 10 Tahun 1998. Lembaga yang berbentuk koperasi diatur dengan UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil dan PP No. 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi. Sedangkan LKM lainnya yang bukan atau tidak termasuk bank maupun koperasi belum ada ketentuan atau UU yang mengaturnya. Oleh sebab itu, ribuan LKM yang tersebar di seluruh Indonesia secara eksistensial berada di daerah abu-abu atau dengan bahasa yang lebih ekstrim beroperasi secara gelap. Kenyataan ini sesunggunya merupakan sebuah ironi bahwa keberadaan LKM yang oleh masyarakat kecil dianggap sebagai dewa penyelamat, justru keberadaannya dimata hukum sangat lemah dan kurang diakui sebagai suatu lembaga pembiayaan ekonomi berbasis pada rakyat kecil berpenghasilan rendah.
Dengan menyadari kenyataan ini, maka salah satu bentuk apresiasi bagi LKM sebagai gerbong lokomotif bagi sebagaian besar pelaku ekonomi rakyat terutama usaha mikro dan kecil serta masyarakat yang berpenghasilan rendah, adalah dengan menyediakan suatu kerangka hukum (legal framework) sehingga akan lebih dapat memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi LKM dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga pembiayaan mikro. Legal framework ini diperlukan untuk menciptakan “level playing field” dalam pengaturan dan pengawasan bagi seluruh LKM yang tersebar di seluruh Indonesia.
Maulana Ibrahim dalam kapasitasnya sebagai seorang Deputi Gubernur BI berpendapat bahwa penyediaan legal framework ini setidaknya dilatar belakangi oleh 2 (dua) hal yakni : Pertama, UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah disempurnakan dengan UU No. 10 Tahun 1998, menyatakan bahwa setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau BPR dari Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri; Kedua, tidak adanya kejelasan aspek hukum bagi LKM mengakibatkan terhambatnya pengembangan LKM, misalnya dalam memenuhi persyaratan bank, apabila LKM bermaksud melakukan ekspansi kegiatan dengan meminjam dana dari bank.[17]
Sejalan dengan trend internasional18 yang memberikan perhatian penuh pada upaya penguatan LKM, secara simultan saat ini pemerintah Indonesia bersama DPR RI telah menggodok konsep Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Lembaga Keuangan Mikro dengan tujuan untuk memberikan payung kepastian hukum bagi industri LKM nasional khususnya LKM non bank, yang dalam perjalanan sejarahnya terbukti telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi tumbuh kembangnya usaha mikro dan kecil yang selama ini memiliki keterbatasan akses pada perbankan.
Konsep Rancangan Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro (RUU LKM) pada dasarnya disusun dengan pokok-pokok pikiran sebagai berikut : [19]
  1. RUU ini akan memberikan dasar hukum bagi LKM yang telah ada, mendukung pembentukan LKM baru, melindungi deposan dan mengatur perizinan (oleh Lembaga Pengawas) bagi LKM dengan mobilisasi dana publik sampai dengan jumlah tertentu, LKM tunduk pada ketentuan kehati-hatian yang ditetapkan oleh Lembaga Pengawas dan LKM wajib mengikuti program penjaminan yang akan diatur lebih lanjut oleh Lembaga Pengawas. Selain itu, diatur pula bahwa LKM yang memobilisasi dana di atas Rp 1 milyar wajib memperoleh izin sebagai BPR atau koperasi[20].
  2. Lembaga Pengawas berhak memberikan izin, mengatur dan mengawasi LKM, dapat mendelegasikan perizinan dan pengawasan kepada Pemda atau instansi lain yang dianggap mampu. Dalam hal Lembaga Pengawas belum terbentuk, instansi yang berwenang akan mengeluarkan pengaturan terkait.

Menurut pendapat kritis Faisal Baasir, setidaknya ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian berkaitan dengan rencana pemerintah mengeluarkan UU Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Pertama, RUU LKM harus mampu menjawab dengan jelas siapa pihak yang akan dilindung. Kedua, posisi LKM harus jelas, apakah berada di bawah dan tunduk kepada Bank Indonesia yang menjadi fasilitator, kepada Departemen Dalam Negeri yang memberikan perizinan, atau tengah menjadi rebutan instansi lain? Sementara sisi lain, pemerintah menyebut dirinya sebagai fasilitator, regulator, dan pengawas namun pada sisi lain menyebut dirinya sebagai pemilik. Sikap ini berpotensi memunculkan konflik kepentingan. Kalau sampai terjadi, bagaimana sebenarnya posisi LKM? Lebih jauh lagi, bagaimana dengan nasabahnya? Ketiga, siapa yang paling diuntungkan bila LKM diformalkan, apakah masih bisa seirama dengan kultur dan budaya masyarakat berpenghasilan rendah?[21]
Terkait masalah pengaturan LKM non bank dalam suatu undang-undang, terdapat aras pendapat yang berkembang bahwa LKM-LKM yang kecil dan menghimpun tabungan masyarakat dalam jumlah kecil tidak perlu diatur dan diawasi oleh pemerintah. Sedangkan, LKM-LKM yang telah menjalankan kegiatan intermediasi keuangan dan telah berhasil menghimpun tabungan masyarakat dalam jumlah berarti perlu diatur dan diawasi oleh pemerintah dengan alasan bahwa kredit tersebut juga bersumber dari lembaga keuangan lain sehingga perlu diatur mengenai kewajiban pencadangan terhadap kredit tersebut.
Pendapat ini sesungguhnya merupakan pendapat yang kurang bijaksana karena jika masih ada dikotomi dalam penyediaan regulasi antara LKM sebagaimana yang dikemukakan di atas, justru pada akhirnya secara substansial tidak akan mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang melingkupi LKM. Pendapat yang demikian harus dapat memahami bahwa kegagalan LKM dapat berdampak terhadap sistem keuangan secara keseluruhan sehingga kerangka pengaturan yang akan dirumuskan harus mendapat dukungan efisiensi usaha dan tingkat kesehatan LKM sesuai standar internasional serta mendukung pengelolaan usaha secara sehat.
Kalau boleh dikatakan bahwa sebenarnya Indonesia dikategorikan sebagai salah satu negara terkaya di dunia karena melimpahnya hasil sumber daya alamnya, justru kenyataan memperlihatkan bahwa Indonesia pun sampai saat ini sebagai salah satu negara yang masih sulit mengatasi masalah kemiskinan yang dialaminya. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya komitmen dan political will pemerintah dalam mengatasi masalah ini. Berbagai kebijakan telah dilaksanakan, namun tidak juga mampu menghasilkan perubahan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai program pembiayaan mikro yang dibuat silih berganti dalam rangka mengendalikan tingkat kemiskinan, yang tidak satu pun mampu menyelesaikan masalah ini secara substansial. Tetap saja masyarakat kecil yang menjadi korban atas penerapan kebijakan tersebut. Kebijakan yang ditelorkan cenderung ambivalen, cenderung populis, karitatif, service lips dan semu belaka. . Oleh karena itu, untuk memperoleh kepastian hukum yang jelas serta menghindari terjadinya pengaturan yang membingungkan pada tingkat implementasinya tentang LKM baik antara LKM formal berbentuk bank dan non bank (koperasi) yang tunduk pada UU Perbankan dan UU Perkoperasian dengan LKM informal yang akan tunduk pada UU LKM nantinya serta kebingungan akan lembaga yang mengawasinya, maka yang pertama-tama yang harus dilakukan adalah mengambil tindakan berani untuk memberikan “status darurat” bagi masalah penguatan ekonomi rakyat khususnya bagi sektor usaha ekonomi mikro yang sebagian besar dijalankan oleh rakyat Indonesia.
Hal ini dilakukan mengingat bahwa masalah kemiskinan dan keterbatasan akses yang melingkupi sebagian besar pelaku ekonomi rakyat sebagai salah satu masalah krusial pemerintah dan seluruh elemen masyarakat dunia saat ini secara realitas belum dapat teratasi, meskipun dengan berbagai strategi dan pendekatan program mumpuni telah diberikan. Kebijakan yang dianut pemerintah Orde Baru dengan pola trickle down efeck disatu sisi pembangunan ekonomi berhasil memacu pertumbuhan yang cukup tinggi, namun disisi lain “GAGAL” mewujudkan pemerataan dan keadilan serta memunculkan jurang kemiskinan yang semakin tajam dan kesenjangan yang terus melebar.
Secara teoritis, memang pemerintahan Orde Baru sangat mendukung upaya perlindungan bagi usaha ekonomi mikro. Namun dalam implementasinya masih sangat diskriminatif. Produk Orba, misalnya, telah ada UU No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil. Dalam Pasal 6 UU ini disebutkan bahwa pemerintah menumbuhkan iklim usaha bagi usaha kecil. Bahkan pemerintah pun membuat kebijaksanaan yang mewajibkan BUMN menyisihkan labanya 1 hingga 5 persen untuk membantu usaha kecil. Di kalangan konglomerat sendiri telah ada kelompok tersendiri yang bergerak membantu usaha kecil seperti kelompok Jimbaran yang memberikan bantuan dalam bentuk modal untuk pengembangan usaha kecil, tetapi kalau mau jujur bantuan kelompok Jimbaran ini hanya membantu kelompok usaha kecil yang mereka ciptakan sendiri dalam rangka untuk mengembangkan ekspansi bisnis mereka juga.
Dalam pandangan Azwir Dainy Tara, cara-cara seperti ini memperlihatkan bahwa upaya memberdayakan dan memperkuat skala usaha kecil hanyalah sebuah kepura-puraan. Semangatnya masih sekedar simbolisme. Padahal, dari segi substansialnya belum ada usaha-usaha yang runtut dan sistematis baik dari pemerintah maupun para konglomerat dalam mengembangkan usaha kecil. Inilah yang membuat terjadinya kesenjangan antara ekonomi rakyat dengan konglomerat pada masa lalu.[22] Karena itu, pemerintah harus memberi perlindungan kepada pelaku usaha ekonomi rakyat yang memungkinkan mereka untuk memperkuat kedudukan dan peran ekonomi secara nasional. Dengan demikian pelaku ekonomi rakyat mampu menikmati apa yang mereka hasilkan dan seterusnya mampu menghasilkan untuk dinikmati oleh sebagian besar rakyat secara berkesinambungan.
Pemberdayaan usaha ekonomi mikro dengan demikian menjadi suatu keharusan, karena hal ini mencakup sekelompok warga negara Indonesia yang selama ini belum diuntungkan dalam proses pembangunan, tetapi juga bagaimana mewujudkan kemakmuran yang berkeadilan bagi seluruh warga masyarakat, bukan orang per orang sebagaimana yang dipolakan pemerintahan terdahulu. Ekonomi rakyat terutama yang bersifat mikro harus terus menerus dikembangkan agar dapat menjadi kekuatan ekonomi yang berkembang dengan cepat. Untuk mendukung cita-cita ini yang juga sebagai wujud amanat konstitusi UUD 1945, tidak hanya diperlukan dukungan politis berupa kebijakan pemerintah yang tetap tetapi juga perlu mendapat dukungan dari segenap elemen kritis bangsa, melalui terobosan-terobosan berani, tepat, terarah dan sesuai.
Pada dasarnya pemberlakuan “status darurat” ini, merupakan wujud pengejewantahan amanat rakyat yang dihasilkan melalui Sidang Istimewa bulan Nopember 1998, MPR mengeluarkan TAP MPR No. XVI/MPR1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi dan pada Sidang Umum MPR 1998 dihasilkan TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN serta UU No. 25 Tahun 2000 tentang Propenas. Faisal Baasir mengemukakan bahwa TAP MPR No. XVI/MPR1998 yang disebut sebagai Tap Ekonomi Kerakyatan misalnya, menyebut ekonomi rakyat dua kali dan satu kali kata pertanian rakyat. Selanjutnya, kata sistem ekonomi kerakyatan mulai disebut dalam TAP MPR No.IV/1999 yaitu dalam misi dan arah kebijakan. Dalam Tap ini setidaknya disebutkan dua kali kata ekonomi kerakyatan.[23]
Disadari bahwa dalam dalam GBHN memang belum secara jelas memberikan pengertian dan ciri-ciri dasar dari sistem ekonomi kerakyatan. Meskipun demikian, pembangunan ekonomi rakyat khususnya usaha ekonomi mikro[24] telah menjadi amanat konstitusi yang harus dilaksanakan dan tidak boleh ditunda-tunda, karena bukan saja, upaya-upaya pemberdayaan ekonomi rakyat sebelum krisis belum sepenuhnya berhasil, tetapi telah keburu diterjang krisis, sehingga ekonomi rakyat ikut terpengaruh perkembangannya.
Dengan adanya “status darurat” ini, maka legal framework LKM yang dibuat dan digagas pemerintah “harus” mengatur secara “totalitas” seluruh aspek yang melingkupi pengelompokan LKM itu sendiri. Artinya bahwa, untuk menghindari dikotomi antara LKM yang telah dikemukakan di atas, yang justru dapat berpotensi membuat legal framework LKM itu menjadi rancu, tumpang tindih, sangat birokratis dan dapat dijadikan sebagai celah kelemahan hukum yang dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, maka hal mendesak harus dilakukan adalah membuat pengaturan semua LKM-LKM tersebut dalam satu produk undang-undang yang utuh.[25]
Teknisnya, tidak perlu lagi ada pembedaan LKM formal (bank dan non bank) dan informal yang tunduk pada produk perundang-undangan yang berbeda. Keberadaan UU ini merupakan suatu produk hukum yang khusus dan lahir dari keadaan yang khusus pula. Dengan demikian, semua yang masuk dalam kategori LKM idealnya harus tunduk hanya pada satu undang-undang yaitu UU LKM, sehingga muatan nilai-nilai dasar LKM yang tertuang dalam RUU LKM harus dikoreksi ulang dan disesuaikan dengan urgensi kepentingan LKM.
Dengan hadirnya UU LKM ini, paling tidak akan menyingkirkan berbagai hambatan yang masih membelenggu tumbuh kembangnya berbagai LKM formal. Sebagai contoh, eksistensi BPR sebagai suatu LKM formal berbentuk bank yang tunduk pada UU Perbankan, namun dalam praktiknya masih terdapat sejumlah perangkat hukum yang membelenggu operasionalisasi BPR. Setidaknya hingga saat ini ada beberapa perundangan yang menghambat BPR seperti UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan khususnya pada Pasal 12 A, UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (PT) pada Pasal 79 ayat (2).
Dalam UU LKM harus ditegaskan bahwa ada dua fungsi yang dilakukan LKM untuk mengembangkan UMK dari sisi pembiayaan, pertama, memberikan kredit atau pembiayaan secara langsung kepada UMK yang belum terjangkau oleh bank; dan kedua, memberikan bantuan teknis (technical assistance) kepada UKM di bidang usaha sesuai kebutuhan. Dengan fungsi LKM seperti ini, maka fungsi, kegiatan dan pemberdayaan UMK yang saat ini tersebar dapat konsolidasikan dan dikelola secara terpadu.
Pada sisi lain, untuk menjawab tentang urgensi Lembaga Pengawasan LKM, Lembaga Pengawasan LKM apapun namanya tetap diperlukan untuk menjamin jalannya fungsi LKM telah sesuai dengan karidor hukum an sich. Lembaga ini juga berfungsi sekaligus sebagai lembaga penjamin simpanan seperti halnya dalam LPS bagi perbankan. Lembaga Pengawasan LKM ini dibentuk berdasarkan usulan pemerintah yang selanjutnya mendapatkan pengesahan dari DPR dengan anggota yang berasal pemerintah, DPR, LSM dan komunitas LKM sendiri. Pembentukan lembaga ini bukan suatu eksklusifisme, tetapi sesungguhnya merupakan suatu komitmen dan moral hazard yang jelas dalam melakukan penguatan LKM.
Pengalaman di beberapa negara maju menunjukkan komitmen pemerintah setempat dengan mendirikan lembaga khusus yang menangani masalah pembiayaan mikro. Lembaga ini mendapat dukungan penuh dari pemerintah, baik dari segi politik maupun finansial. Di Amerika Serikat misalnya, ada lembaga yang disebut Small Business Administration (SBA), sedangkan di Jepang ada Japan Small Medium Business Corporation (JASMEC). Lembaga-lembaga ini dikelola secara profesional atas dasar kebijakan hukum yang ditetapkan pemerintah. Dalam konteks Indonesia, kondisi ini akan tercapai jika kebijakan hukum yang mengatur tentang LKM dibuat dalam suatu undang-undang yang jelas dan komprehensif.[26]
Dalam perspektif hukum, pengaturan hukum LKM secara khusus dalam satu UU yang secara komprehensif mengatur LKM tanpa adanya pengaturan khusus dari produk UU yang telah ada sebelumnya, sangat dimungkinkan dengan berlandaskan pada ketentuan mengenai lex specialis yaitu bahwa UU yang bersifat spesialis hanya ditujukan untuk suatu orang tertentu atau kelompok orang tertentu atau menurut waktu tertentu atau tempat dan keadaan tertentu. Dalam konteks ini, kajian tentang UU LKM sebagai suatu undang-undang yang utuh mengatur LKM secara keseluruhan harus dilihat sebagai suatu hukum yang bersifat normative-kontekstual, artinya kajian ini dilakukan dengan berdasarkan dan pertimbangan faktor implikasi terhadap sisi kondisi UMK dan kehidupan di sektor lembaga keuangan mikro itu sendiri.
Pendekatan pemikiran ini secara teoritis mengacu kepada teori sosiologi hukum yang secara khusus mempersoalkan efektivitas27 suatu perundangan di dalam kenyataan masyarakat. Sosiologi hukum mengedepankan keberhasilan tersebut dalam dan untuk kepentingan masyarakat yaitu sejauh manakah “pemberlakuan hukum” dapat diterima oleh para stakeholder, dan diakui sebagai suatu kewajiban bagi mereka yang menaatinya. Dalam konteks masalah-masalah yang menyangkut keuangan dan perbankan, pendekatan sosiologi hukum memang perlu diimbangi dengan pendekatan sosiologi politik yaitu seberapa jauh pengakuan stakeholder atas suatu UU memberikan dampak positif terhadap fungsi dan peranan hukum dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum yang sama di kemudian hari. Pendekatan ini merupakan pendekatan baru yaitu memelihara “keseimbangan” antara kepentingan stakeholder di satu sisi dan kepentingan “negara” di sisi lain dalam mengatasi kasus-kasus yang sama pada waktu dan tempat tertentu. Orientasi pendekatan ini ditujukan untuk membentuk ius constituendum dengan bertolak pada ius constitutum.
Seyogyanya kita tidak hanya melihat hukum dalam wujud sempit. Pemahaman tentang kepastian hukum pun hendaknya jangan sekedar dipahami sebagai kepastian undang-undang, melainkan kepastian bahwa rasa keadilan rakyat akan selalu tidak diabaikan dalam setiap kebijakan dan keputusan dalam pembuatan produk hukum.[28] Mungkin saja penulis keliru dalam memahami hukum yang sebenarnya, akan tetapi kerangka berpikir yang demikian nampaknya dibutuhkan paling tidak sebagai wujud pemikiran kritis dalam membongkar berbagai kebijakan yang selama ini dirasakan bias dan kurang menunjukkan berpihak pada penguatan ekonomi rakyat. Penulis meyakini pameo latin yang menyatakan bahwa “equum et bonum est lex legum” (apa yang adil dan baik, adalah hukumnya hukum).
Sementara itu, sejalan dengan semangat implementasi otonomi daerah sebagaimana yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999, menarik untuk mengkaji suatu gagasan bahwa RUU Lembaga Keuangan Mikro dijadikan payung bagi LKM di seluruh Indonesia yang mengatur pokok-pokok ketentuan LKM, sedangkan ketentuan mengenai operasional perlu didesentralisasikan kepada masing-masing Pemerintah Daerah yang lebih mengenal karakteristik masing-masing LKM diwilayahnya melalui suatu Peraturan Daerah (Perda).[29]
Gagasan tersebut perlu didukung sebab berangkat mainsteam pemikiran bahwa peningkatan aksesibilitas dan keterkaitan usaha mikro dan kecil saja tidak cukup untuk menjamin terwujudnya demokrasi ekonomi yang bertumpu pada penguatan ekonomi rakyat, tetapi diperlukan dukungan pranata hukum yang memadai, yang dijunjung tinggi oleh setiap orang, menjamin rasa keadilan dan mampu menjamin bahwa setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum. Oleh karena itu beberapa produk hukum yang saat ini sudah tidak sesuai dengan semangat dan jiwa pemberdayaan masyarakat handaknya segera dirubah.
Indonesia sebagai suatu unitary state menganut kombinasi antara unsur pengakuan kewenangan bagi daerah untuk mengelola segenap potensi yang dimilikinya secara mandiri dipadukan dengan unsur kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah pusat perlu menyadari bahwa penekanan yang berlebihan akan membawa ke arah resentralisasi diam-diam yang merupakan antitesis terhadap semangat desentralisasi. Dalam perspektif ini, seyogyianya berbagai produk hukum yang dihasilkan pemerintah pusat harus lebih mempertimbangkan kenyataan kemejemukan yang ada di daerah dengan tetap mengedepankan wawasan nusantara sebagai main spirit bangsa. Artinya bahwa produk hukum yang dihasilkan pemerintah bersama rakyat yang direpresentasikan oleh DPR sebagai suatu keputusan politik hukum mestinya lebih memahami kearifan-kearifan lokal sebagai ciri khas dari masyarakat daerah.
Dalam kerangka berpikir yang demikian, maka pengaturan LKM dalam bentuk undang-undang ini, perlu dilatarbelakangi oleh motivasi untuk mengembangkan keuangan mikro itu sendiri, memberikan landasan hukum dan memberikan kejelasan pengaturan bagi kepentingan publik berkaitan dengan kegiatan yang dilakukan LKM. Filosofi pengaturan LKM didasari pada pemahaman bahwa LKM tidak akan berkembang tanpa adanya kebijakan yang kondusif.30 Oleh karena itu, undang-undang LKM dipandang perlu mengatur keuangan mikro secara komprehensif dengan tujuan memberikan perlindungan bagi deposan kecil dan untuk meningkatkan kemampuan LKM dalam rangka menyediakan layanan keuangan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan miskin serta para pengusaha mikro. Disinilah critical point yang mesti menjadi landasan berpikir dalam rangka pengambilan politik hukum penguatan LKM.

Penutup

Terlepas dari segenap potensi perbedaan yang mengemuka seiring dengan rencana kehadiran legal framework LKM, keharusan akan hadirnya UU LKM sangat diperlukan segera terutama dalam rangka memberikan perlindungan bagi jutaan deposan kecil yang menggunakan jasa keuangan LKM. Di samping itu, juga akan lebih memberikan arah dan strategi yang jelas bagi upaya penguatan LKM sebagai motor penggerak ekonomi rakyat, melalui pola sistem pembiayaan mikro yang oleh pelaku usaha mikro dan kecil serta masyarakat berpenghasilan rendah, menilainya sebagai lembaga pembiayaan yang dapat diterima dan cocok sebagai alternatif pembiayaan usaha mereka.
Adanya kerangka hukum yang memadai bagi LKM, akan lebih menjamin iklim kondusif bagi tumbuh kembangnya usaha ekonomi rakyat, sehingga secara konsisten membantu pemerintah mengatasi masalah sosial ekonomi masyarakat kecil. Hal lain yang juga jadi penekanan bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian dari tatanan masyarakat dunia, maka kehadiran UU LKM ini justru akan lebih memberikan kepastian bagi mengalirnya dukungan pembiayaan dari para donor asing yang peduli dengan masalah-masalah ketidakberdayaan masyarakat kecil/ miskin. Para donor penyandang dana meyakini bahwa dengan tersedianya kerangka hukum yang memadai, telah memberikan kepastian akan bantuan yang diberikannya akan sesuai dengan tujuan-tujuan yang diinginkannya.

Catatan/End Note
[1] Krisis ekonomi di Indonesia pada dasarnya dipicu oleh efek ketularan (contagnion effect) krisis Asia Timur yang dimulai dengan jatuhnya nilai rupiah terhadap dollar USA akibat dana jangka pendek (shortime capital) yang ditarik keluar negeri. Krisis ekonomi dan moneter ini kemudian berlanjut menjadi krisis kepercayaan kepada pemerintah. Di samping itu, krisis ekonomi dan moneter tersebut berdampak pada krisis perbankan nasional, Anggito Abimanyu, Ekonomi Indonesia Baru : Kajian dan Alternatif Solusi Menuju Pemulihan, Alex Medio Komutindo, Jakarta, 2000, hlm. 1.
[2] Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa kegagalan mengembangkan ekonomi rakyat ini berakibat pada kegagalan mengembangkan ekonomi nasional secara menyeluruh. Sebaliknya, jika pemerintah dapat mengembangkan dan memajukan usaha kecil, maka secara keseluruhan perekonomian nasional juga akan dapat bengkit dan berkembang pula. Kenapa? Karena UKM merupakan napas perekonomian bangsa secara menyeluruh. Lihat uraian ini dalam buku Azwir Dainy Tara, Strategi Membangun Ekonomi Rakyat Masa Sulit Pasti Berlalu, Nuansa Madani, Jakarta, 2001, hlm. 111.
[3] Maulana Ibrahim, Kerangka Hukum Dalam Memperkuat Dan Mengembangkan Lembaga Keuangan Mikro Di Indonesia, Makalah disajikan dalam Diskusi Panel pada Acara Temu Nasional dan Bazaar Pengembangan Keuangan Mikro tanggal 23 Juli 2002, hlm. 2.
[4] Selama lebih setengah abad bangsa Indonesia menerapkan kebijakan ekonomi yang jauh dari semangat kerakyatan. Hal itu dapat dilihat dari kebijakan pemerintah Orde Baru yang terlalu mengutamakan dan mengistimewakan segelintir kelompok pengusaha besar yang diberi kesempatan seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya untuk mengembangkan usahanya. Pertumbuhan ekonomi pun digenjot. Mereka diberi kemudahan dan fasilitas untuk melakukan ekspansi bisnis. Kredit-kredit milyaran bahkan triliunan rupiah dikucurkan pada mereka tanpa agunan. Di samping itu, para konglomerat memonopoli komoditas-komoditas tertentu yang dibutuhkan orang banyak. Namun sejalan dengan fakta kesejarahan, strategi pembangunan ekonomi Rostow yang dianut oleh Indonesia dengan paradigma trickle down effect ternyata hanya membuahkan kegagalan. Lihat uraian ini dalam Azwir Dainy Tara, op.cit., hlm. 103-104.
[5] Lihat Faisal Baasir, Pembangunan dan Krisis : Kritik dan Solusi Menuju Kebangkitan Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2003, hlm. 25-26.
[6] Endang S. Thohari, Peningkatan Aksesibilitas Petani Terhadap Kredit Melalui Lembaga Keuangan Mikro, Makalah Disampaikan pada Seminar Sehari Strategi Pengembangan dan Pemberdayaan UKM, Bogor, 18 Januari 2002, hlm. 4.
[7] Maulana Ibrahim, loc.cit.
[8] Faisal Baasir, op.cit., hlm. 25.
[9] Ibid., hlm. 26. Membangun sektor UMKM memang bukan hanya hanya tanggung jawab pemerintah atau lembaga keuangan saja, tetapi merupakan tanggung jawab semua elemen bangsa bersama, namun dalam hal akses UMKM ke sektor permodalan tampaknya mau tidak mau harus menjadi tanggung jawab pemerintah dan terutama lembaga-lembaga keuangan dalam berbagai jenis tingkatannya. Sebagaimana dipaparkan oleh Marsuki, Analisis Sektor Perbankan, Moneter dan Keuangan Indonesia, Yayasan Massaile dan Bosowa Group, Makassar, tanpa tahun, hlm. 66.
[10] Mat Syukur, Membangun Lembaga Keuangan Mikro Agro Yang Lestari, Makalah disampaikan pada Lokakarya Penguatan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Agro Berbasis Information and Communication Technology (ICT) Untuk Mendukung Pengembangan Usaha Mikro, Jakarta, 10 September 2002, hlm. 4.
[11] Lihat tulisan Muhammad Taufiq, Membangun Sistem Pembiayaan Bagi Usaha Kecil, Menengah dan Koperasi (UKMK), http://www.smecda.com/deputi7/file_infokop/edisi% 2023/m.taufiq.3.htm diakses 5 April 2007, hlm. 3. LKM yang diprakarsai oleh pemerintah, dan menunjukkan eksistensi dan perannya antara lain ; Badan Kredit Kecamatan (BKK) di Jawa Tengah dan Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK) di Jawa Timur, Tempat Pelayanan Simpan Pinjam (TPSP), Koperasi serta berbagai bentuk lembaga kredit pedesaan yang memiliki visi menumbuhkan LKM yang mandiri.
[12] Ibid.
[13] Ibid., hlm. 8.
[14] Hal ini diungkapkan oleh Deputi Team Leader GTZ, Dominique Gallman., Lembaga Keuangan Mikro Di Indonesia Butuh Payung Regulasi, Makalah disajikan dalam Diskusi Panel pada Acara Temu Nasional dan Bazaar Pengembangan Keuangan Mikro tanggal 23 Juli 2002, hlm. 1.
[15] Lihat tulisan Siti Sundari N., Peranan Lembaga Keuangan Mikro Agro Berbasis Teknologi Dalam Mengembangkan Usaha Mikro, Makalah disampaikan pada Lokakarya Penguatan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Agro Berbasis Information and Communication Technology (ICT) Untuk Mendukung Pengembangan Usaha Mikro, Jakarta, 10 September 2002, hlm. 1.
[16] Sesuai dengan UU Perbankan, bank yang ada di Indonesia dibagi ke dalam dua jenis yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dimana sasaran Bank Umum adalah pengusaha kecil, menengah dan koperasi, sedangkan sasaran BPR adalah para pengusaha mikro atau masyarakat berpenghasilan rendah. Sesuai ketentuan Bank Indonesia, pembiayaan kepada usaha mikro setinggi-tingginya sampai dengan Rp. 50 juta.
[17] Maulana Ibrahim, op.cit., hlm. 4.
[18] Gaung peranan pembiayaan mikro mendapatkan momentum baru dengan Microcredit Summit (MS) diselenggarakan di Washington tanggal 2-4 Februari 1997, merupakan tanda dimulainya gerakan global pemberdayaan masyarakat dengan penguatan dana kepada masyarakat miskin.
[19] Untuk lebih jelasnya lihat RUU Keuangan Mikro
[20] Hal ini dikarenakan BPR sebagai LKM formal berbentuk bank tunduk kepada UU Perbankan sementara Koperasi tunduk kepada UU Perkoperasian.
[21] Lihat uraian ini dalam Faisal Baasir, op.cit., hlm. 24.
[22] Lihat Azwir Dainy Tara, op.cit., hlm. 122.
[23] Lihat Faisal Baasir, op.cit., hlm. 60.
[24] Yang dimaksud dalam usaha ekonomi mikro ini adalah kegiatan ekonominya mulai dari orang-orang yang sangat miskin yang memiliki aset atau modal terbatas, namun memiliki kemauan dan kerja keras, terbelakang, memiliki pendidikan rendah, tradisional dan bergerak dalam lingkup informal, hingga ekonominya orang-orang yang memiliki aset berkategori kecil, menengah dan anggota koperasi.
[25] Secara hukum hal ini sangat dimungkinkan dengan belajar dari pengalaman negara dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi yang terlebih dahulu diawali dengan pemberlakuan “status darurat” yang ditindak lanjuti dengan pengaturan kerangka hukum dan kelembagaan KPK sebagai motor pengerakan pemberantasan korupsi.
[26] Lihat tulisan dengan judul Pentingnya Lembaga Khusus Pembiayaan UMKM, Tabloid Media UMKM-Koperasi, tanggal 1 Mei 2006.
[27] “Efektifitas hukum” harus dibedakan dengan “konsistensi”, karena efektifitas tidak identik dengan konsistensi. Konsistensi berkaitan dengan pemberlakuan hukum (substansi hukum) yang sama untuk semua kasus yang sejenis, sedangkan efektifitas berkaitan dengan “keberhasilan” atau “sukses” dari pemberlakuan UU atau peraturan lain dibawah UU. Lihat buku Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Edisi Kedua, Kencana, Jakarta, 2003, hlm. 35.
[28] Lihat Achmad Ali, Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab dan Solusinya), Cet. Ke-2, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hlm. 5.
[29] Lihat gagasan ini dalam tulusan Maulana Ibrahim, op.cit., hlm. 7. Lihat juga tulusan Faisal Baasir, op.cit., hlm. 24.
[30] Maulana Ibrahim, loc.cit.

Daftar Pustaka
Achmad Ali, Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab dan Solusinya), Ghalia Indonesia, Cet. Ke-2, 2005.
Anggito Abimanyu, Ekonomi Indonesia Baru : Kajian dan Alternatif Solusi Menuju Pemulihan, Alex Medio Komutindo, Jakarta, 2000.
Azwir Dainy Tara, Strategi Membangun Ekonomi Rakyat Masa Sulit Pasti Berlalu, Nuansa Madani, Jakarta, 2001.
Faisal Baasir, Pembangunan dan Krisis : Kritik dan Solusi Menuju Kebangkitan Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2003.
Marsuki, Analisis Sektor Perbankan, Moneter dan Keuangan Indonesia, Yayasan Massaile dan Bosowa Group, Makassar, tanpa tahun.
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Edisi Kedua, Kencana, Jakarta, 2003.
Dominique Gallman., Lembaga Keuangan Mikro Di Indonesia Butuh Payung Regulasi, Makalah disajikan dalam Diskusi Panel Acara Temu Nasional dan Bazaar Pengembangan Keuangan Mikro tanggal 23 Juli 2002.
Endang S. Thohari, Peningkatan Aksesibilitas Petani Terhadap Kredit Melalui Lembaga Keuangan Mikro, Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Strategi Pengembangan dan Pemberdayaan UKM, Bogor, 18 Januari 2002.
Mat Syukur, Membangun Lembaga Keuangan Mikro Agro Yang Lestari, Makalah disampaikan pada Lokakarya Penguatan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Agro Berbasis Information and Communication Technology (ICT) Untuk Mendukung Pengembangan Usaha Mikro, Jakarta, 10 September 2002.
Maulana Ibrahim, Kerangka Hukum Dalam Memperkuat Dan Mengembangkan Lembaga Keuangan Mikro Di Indonesia, Makalah disajikan dalam Diskusi Panel Acara Temu Nasional dan Bazaar Pengembangan Keuangan Mikro tanggal 23 Juli 2002.
Siti Sundari N., Peranan Lembaga Keuangan Mikro Agro Berbasis Teknologi Dalam Mengembangkan Usaha Mikro, Makalah disampaikan pada Lokakarya Penguatan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Agro Berbasis Information and Communication Technology (ICT) Untuk Mendukung Pengembangan Usaha Mikro, Jakarta, 10 September 2002.
Muhammad Taufiq, Membangun Sistem Pembiayaan Bagi Usaha Kecil, Menengah dan Koperasi (UKMK), http://www.smecda.com/deputi7/%20file_infokop%20/edisi2023/m.taufiq.3.htm,%20diakses%205%20April%202007.
Pentingnya Lembaga Khusus Pembiayaan UMKM, Tabloid Media UMKM-Koperasi, tanggal 1 Mei 2006.