Sabtu, 16 Mei 2009

Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Hukum

Pendahuluan
Sejarah telah membuktikan bahwa Pancasila sebagai sebuah konsensus bersama[1] dari seluruh komponen kritis bangsa telah memberikan arti penting dan makna strategis bagi bangsa Indonesia untuk melanjutkan pembangunan menuju masyarakat yang dicita-citakan sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945. Oleh karena itu tidak perlu ada keraguan sedikit pun bagi bangsa Indonesia tentang kebenaran dan ketetapan menjadikan Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara Indonesia. Segenap elemen bangsa tidak perlu sedikitpun meragukan kebenaran nilai-nilai Pancasila.
Sejarah pun mencatat betapa sejak dulu hingga kini Pancasila kerap mendapat tantangan yang mengakibatkan krisis bagi eksistensi bangsa Indonesia. Tantangan yang dihadapi Pancasila selaku pandangan hidup dan dasar negara selalu berbanding lurus dengan tantangan yang dihadapi NKRI secara keseluruhan. Karena telah menjadi satu dengan jiwa bangsa Indonesia, maka setiap kali ada tantangan yang tertuju kepada eksistensi bangsa dan negara Indonesia, setiap kali pula keberadaan Pancasila mendapat ancaman pula.[2] Rangkaian catatan sejarah menjadi bukti konkrit betapa berat tantangan yang dihadapi negara dan Pancasila. Tantangan maha berat yang terjadi pada masa silam membuktikan betapa pancasila tetap disepakati sebagai ideologi negara yang tidak tergantikan dengan idiologi lain.[3]
Meskipun dalam perjalanan sejarah yang dihadapi Pancasila mengalami pasang surut perkembangan, ini bukan disebabkan oleh kelemahan nilai-nilai yang terkandung didalamnya, tetapi lebih mengarah pada inkonsistensi dalam penerapannya.[4] Karenanya, penetapan Pancasila sebagai dasar negara ataupun idiologi negara adalah merupakan sebuah kompromi yang paling rasional dan secara historis mampu menjadi alat pemersatu bangsa, di saat bangsa ini masih berada dalam berbagai perbedaan ikatan primordial.
Sejalan dengan adanya penerimaan terhadap kebenaran nilai-nilai luhur Pancasila maka melaju arus dan semangat untuk menjadikan Pancasila sebagai paradigma[5] dalam pelaksanaan pembangunan nasional pada berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik, hukum, pertahan dan keamanan. Pancasila diyakini dapat berperan sebagai sebuah paradigma yang memberikan prinsip dasar sebagai sumber motivasi yang diabdikan bagi kepentingan nasional dan kemaslahatan seluruh masyarakat Indonesia.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapatlah dirumuskan permasalahan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :
  1. Bagaimanakah arti dan makna Pancasila sebagai dasar negara dalam konteks negara hukum ?
  2. Bagaimanakah konsep Pancasila sebagai paradigma pembangunan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ?

KONSEPSI DASAR PANCASILA DAN PARADIGMA

Tinjauan atas Istilah Pancasila

Kata Pancasila sebagai pandangan hidup serta dasar negara bangsa Indonesia, secara etimologis berasal dari bahasa Sansekerta. Menurut Muh. Yamin, dalam bahasa Sansekerta kata Pancasila memiliki dua macam arti secara leksikal, yaitu panca yang berarti lima dan syila yang berarti batu sendi, alas atau dasar. Kata syila juga bisa berarti peraturan tingkah laku yang baik, yang penting atau yang senonoh. Kata tersebut dalam bahasa Indonesia diartikan sama dengan kata susila yang berhubungan dengan moralitas. Oleh sebab itu secara etimologis Pancasila berarti berbatu sendi lima atau peraturan tingkah laku yang penting.[6]
Dalam sejarah Indonesia kuno, perkataan Pancasila terdapat dalam buku Negarakertagama, suatu catatan sejarah tentang kerajaan Hindu Majapahit yang ditulis oleh Empu Prapanca, penulis dan penyair istana.[7] Seokarno mengambil alih terma ini tetapi memberinya isi dan makna baru. Menurut Muh. Yamin, Pancasila adalah hasil galian Soekarno yang mendalam dari jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia. Soekarno bahkan mengatakan bahwa ia telah menggalinya dari masa jauh sebelum Islam. Menurut jalan pikirannya, Pancasila adalah refleksi kontemplatif dari warisan sosiohistoris Indonesia yang oleh Soekarno dirumuskan dalam lima prinsip.[8]
Istilah Pancasila yang berasal dari bahasa Sansekerta lalu menjadi bahasa Jawa Kuno ini pada akhirnya dijadikan istilah untuk memberi nama filsafat dasar negara kesatuan Republik Indonesia. Sebagai dasar dan idiologi negara, Pancasila yang digali dari budaya bangsa Indonesia memiliki peran dan fungsi yang sangat luas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Fungsi dan peran Pancasila terus berkembang sesuai dengan tuntunan perubahan jaman.[9]

Pengertian Paradigama

Istilah paradigma berasal dari bahasa Latin yaitu paradeigma yang berarti pola. Istilah paradigma pertama kali dikemukakan oleh Thomas Khun dalam karya monumentalnya, Struktur Revolusi Ilmu Pengetahuan. Ia mengartikan paradigma sebagai pandangan mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter). Gagasan utama Khun adalah memberikan alternatif baru sebagai upaya menghadapi asumsi yang berlaku umum di kalangan ilmuwan tentang perkembangan ilmu pengetahuan, yang pada umumnya berpendapat bahwa perkembangan atau kemajuan ilmu pengetahuan tersebut terjadi secara kumulatif. Pandangan demikian sebagai mitos yang harus dihilangkan. Sedangkan Khun berpendirian bahwa ilmu pengetahuan berkembang tidak secara kumulatif melainkan secara revolusi. Dengan pengertian revolusi, Khun menjelaskan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan akan terjadi melalui pergantian paradigma: paradigma yang lama diganti, baik secara menyeluruh maupun sebagian, dengan paradigma baru.[10]
Sofian Effendi dalam Lili Rasjidi menjelaskan bahwa istilah paradigma oleh Khun dipergunakan untuk menunjuk dua pengertian utama. Pertama, sebagai totalitas konstelasi pemikiran, keyakinan, nilai persepsi, dan teknik yang dianut oleh akademisi maupun praktisi disiplin ilmu tertentu yang mempengaruhi cara pandang realitas mereka. Kedua, sebagai upaya manusia untuk memecahkan rahasia ilmu pengetahuan yang mampu mengjungkirbalikkan semua asumsi maupun aturan yang ada.[11] Lebih lanjut Lili Rasjidi memaparkan bahwa pengertian paradigma sebagaimana yang diintrodusi Scott mengandung beberapa aspek penekanan yaitu bahwa paradigma merupakan, pertama, sebagai pencapaian yang baru yang kemudian diterima sebagai cara untuk memecahkan masalah dan pola pemecahan masalah masa depan. Hal menarik dari pengertian ini adalah bahwa paradigma adalah cara pemecahan masalah yang seharusnya memiliki daya prediksi masa depan. Kedua, sebagai kesatuan nilai, metode, ukuran dan pandangan umum yang oleh kalangan ilmuwan tertentu digunakan sebagai cara kerja ilmiah pada paradigma itu.[12] Dengan demikian istilah Paradigma sesungguhnya merupakan cara pandang, nilai-nilai, metode-metode, prinsip dasar untuk memecahkan suatu masalah yang dihadapi oleh suatu bangsa ke masa depan.

PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN HUKUM

Pancasila Dalam Konteks Negara Hukum

Dalam UUD 1945 telah ditegaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara hukum, bukan negara kekuasaan. Eksistensi Indonesia sebagai negara hukum ditandai dengan dengan beberapa unsur pokok seperti adanya pengakuan prinsip-prinsip supremasi hukum dan konstitusi, adanya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam UUD 1945, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa.
Titik Mulyadi menjelaskan bahwa pemerintahan berdasarkan hukum merupakan pemerintahan yang menjunjung tinggi supremasi hukum dan tidak berorientasi kepada kekuasaan. Pada negara berdasarkan atas hukum, hukum ditempatkan sebagai acuan tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahannya (supremasi hukum) sehingga dianut tentang “ajaran kedaulatan hukum” yang menempatkan hukum pada kedudukan tertinggi.[13]
Secara teoritis konsep negara hukum yang dianut Indonesia tidak dari dimensi formal, melainkan dalam arti materiil atau lazim dipergunakan terminologi Negara Kesejahteraan (Welfare State) atau “Negara Kemakmuran”. Oleh karena itu, tujuan yang hendak dicapai negara Indonesia adalah terwujudnya masyarakat adil dan makmur baik spiritual maupun materiil berdasarkan Pancasila, sehingga disebut juga sebagai negara hukum yang memiliki karakteristik mandiri. Konkritnya, kemandirian tersebut dikaji dari perspektif penerapan konsep dan pola negara hukum pada umumnya sesuai kondisi bangsa Indonesia dengan tolak ukur berupa Pancasila. Oleh karena itu, negara Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila.[14] Dengan kata lain, negara hukum Indonesia memiliki ciri-ciri khas Indonesia. Karena Pancasila diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum, negara hukum Indonesia bisa juga dinamakan negara hukum Pancasila.[15]
Pancasila dalam konteks negara hukum pada dasarnya memiliki beberapa karakteristik yang memberikan pengaruh pada tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Pertama, Pancasila menghendaki keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat dengan mengedepankan asas kerukunan. Asas kerukunan dalam negara hukum Pancasila dapat dirumuskan maknanya baik secara positif maupun negatif. Dalam makna positif, kerukunan berarti terjalinnya hubungan yang serasi dan harmonis, sedangkan dalam makna negatif berarti tidak konfrontatif, tidak saling bermusuhan. Dengan makna demikian, pemerintah dalam segala tingkah lakunya senantiasa berusaha menjalin hubungan yang serasi dengan rakyat.[16]
Kedua, Pancasila menjamin adanya kebebasan beragama. Hal ini menunjukkan adanya komitmen yang diberikan oleh negara kepada warga negaranya untuk mengimplementasikan kekebasan dalam memeluk dan beribadat menurut agamanya tanpa khawatir terhadap ancaman dan gangguan dari pihak lain.[17] Ketiga, Pancasila mengedepankan asas kekeluargaan sebagai bagian fundamental dalam penyelenggaraan pemerintah. Menguatnya asas kekeluargaan ini memberikan kesempatan atau peluang kepada rakyat banyak untuk tetap survive guna meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraannya, sejauh tidak mengganggu hajat hidup orang banyak.
Keempat, Pancasila mengedepankan prinsip persamaan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Secara konstutusional UUD 1945 Pasal 28D memberikan landasan untuk lebih menghargai dan menghayati prinsip persamaan ini dalam kehidupan negara hukum Pancasila, yakni antara lain : 1) setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum; 2) setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja; 3) setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Penegakan prinsip persamaan ini menjadi prasyarat dalam rangka mendukung eksistensi negara hukum Pancasila untuk mengaktualisasikan atau mengimplementasikan komitmennya dalam mensejahterahkan kehidupan lapisan masyarakatnya sebagai misi dari penyelenggaraan pemerintahan itu sendiri.[18]

Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Hukum

Pembangunan nasional yang dilancarkan negara pada hakikatnya merupakan usaha modernisasi dalam berbagai bidang kehidupan. Kondisi ini dapat diartikan sebagai suatu usaha transformasi total dari pola kehidupan tradisional kepada pola kehidupan modern sesuai dengan kemajuan jaman serta didukung oleh ilmu pengetahun dan teknologi. Dalam rangka mencapai sasaran pembangunan tersebut, hukum harus menampakkan perannya. Dalam Pandangan Prof. Mochtar Kusumaatmadja[19] hukum harus mampu tampil ke depan dalam memberikan arah pembaharuan. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa hukum merupakan sarana pembaharuan masyarakat didasarkan atas anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan atau pembaharuan itu merupakan suatu yang diinginkan atau bahkan dipandang (mutlak) diperlukan. Baik perubahan maupun ketertiban (atau keteraturan) merupakan tujuan kembar dari masyarakat yang sedang membangun, maka hukum menjadi suatu yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan.[20]
Lebih lanjut Yusuf Anwar[21] berpendapat bahwa segala pemikiran tentang hukum harus dikaitkan dengan kerangka dasar pembangunan nasional. Dalam negara yang sedang membangun seperti Indonesia, hukum senantiasa dikaitkan dengan upaya-upaya untuk mencapai taraf kehidupan yang lebih baik daripada yang telah dicapai sebelumnya. Peranan hukum menjadi semakin penting dalam rangka mewujudkan tujuan pembangunan. Fungsi hukum dalam pembangunan tidak sekedar sebagai alat pengendali sosial (social control) saja, melainkan lebih dari itu, yaitu melakukan upaya-upaya untuk menggerakkan masyarakat agar berprilaku sesuai dengan cara-cara baru dalam rangka mencapai suatu keadaan masyarakat yang dicita-citakan.
Fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat, berarti hukum digunakan untuk mengarahkan masyarakat pada pola-pola tertentu sesuai yang dikehendaki dengan menciptakan pola-pola baru. Hal ini berarti pula mengubah atau bahkan menghapus kekuasaan lama yang tidak sesuai dengan perkembangan jaman. Seharusnyalah fungsi hukum tersebut serasi dengan perkembangan masyarakat yang sedang membangun. Dalam pembangunan terdapat hal-hal yang harus dipelihara dan dilindungi, di lain pihak hukum diperlukan untuk menciptakan pola-pola yang sesuai dengan pembangunan dan agar perubahan yang diakibatkan oleh pembangunan berjalan dengan tertib dan teratur.[22]
Dengan demikian, pembangunan hukum dalam kerangka pembangunan nasional harus dilakukan atas dasar nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut merupakan hasil konsensus bersama dari masyarakat yang menjadi sumber dan motivasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang dalam konteks Indonesia disebut dengan Pancasila. Karena itu, secara filosofis hakikat kedudukan Pancasila sebagai paradigma pembangunan hukum dalam kerangka pembangunan nasional mengandung suatu konsekuensi bahwa segala aspek pembangunan hukum dalam kerangka pembangunan nasional harus mendasarkan kepada hakikat nilai-nilai Pancasila.
Untuk itu, Pancasila secara utuh harus dilihat sebagai suatu national guidelines, sebagai national standard, norm and principles yang sekaligus memuat human rights and human responsibility. Pancasila juga harus dilihat sebagai margin of appreciation sebagai batas atau garis tepi penghargaan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat yang pluralistik (the living law) sehingga dapat dibenarkan dalam kehidupan hukum nasional. Tolak ukur dengan mengacu pada kandungan nilai-nilai Pancasila untuk membentuk hukum, dengan tetap berbasis pada nilai-nilai yang tertuang dalam 5 (lima) sila tersebut.[23]
Oleh karena itu, menurut Prof. Muladi dalam Endang Sutrisno24 pelaksanaan pembangunan hukum harus mampu mendayagunakan Pancasila sebagai paradigma yang menekankan bahwa pembangunan itu harus bertumpu pada etika universal yang terkandung pada sila-sila Pancasila seperti :

  1. Tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa yang menghormati ketertiban hidup beragama, rasa keagamaan dan agama sebagai kepentingan yang besar;
  2. Menghormati nilai-nilai Hak Asasi Manusia baik hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dan dalam kerangka hubungan antar bangsa harus menghormati “the right to development“;
  3. Harus mendasarkan persatuan nasional pada penghargaan terhadap konsep “civic nationalism“ yang mengapresiasi pluralisme;
  4. Harus menghormati indeks atau “core values of democrasy“ sebagai alat “audit democrasy“; dan
  5. Harus menempatkan “legal justice“ dalam kerangka “social justice“ dan dalam hubungan antara bangsa berupa prinsip-prinsip “global justice“.

Sementara itu harus diakui bahwa sebagai negara bekas jajahan, masih banyak produk hukum yang digunakan merupakan warisan kolonial. Produk hukum buatan penjajah tentunya mengandung muatan nilai-nilai kepentingan kolonialisme dan kurang dan bahkan tidak sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu menurut Prof. Djuhaendah Hasan pembaharuan dan pembentukan hukum nasional untuk menggantikan hukum kolonial memang mutlak diperlukan bagi masyarakat Indonesia yang sedang membangun.[25] Dalam pandangan Prof. Laica Marzuki, pembinaan sistem hukum nasional seyognyanya mengacu terus kepada upaya pengikisan sisa-sisa produk hukum kolonial Belanda yang sudah usang (verouder) serta tidak sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945.[26]
Hal ini didasarkan pada suatu pemikiran bahwa setiap negara yang merdeka dan berdaulat harus mempunyai suatu hukum nasional yang baik dalam bidang politik maupun dalam bidang perdata yang mencerminkan kepribadian jiwa maupun pandangan hidup bangsa. Pertimbangan ini pada dasarnya ditujukan dalam rangka usaha pembinaan hukum nasional yang terus menerus dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara yang telah diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, dimana sila-sila Pancasila sebagai nilai-nilai universal yang melingkupinya.
Indonesia sebagai negara merdeka, berkepentingan untuk meninggalkan sistem hukum kolonial dengan upaya membangun kembali sistem hukum yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Sebagai suatu paradigma yang memberikan dasar dan arah pembangunan hukum, upaya-upaya tersebut sesungguhnya merupakan tugas yang berat sebab membangun sistem hukum ke-Indonesia-an dengan kosmologi Pancasila bukan sekedar mengubah secara fundamental struktur dan substansi hukum peninggalan kolonial saja melainkan termasuk pembangunan budaya hukum. Tentunya budaya yang sesuai dengan struktur rohaniah masyarakat Indonesia yang berlandaskan Pancasila.
Sebagai suatu paradigma dalam pembangunan hukum, Pancasila menghendaki bahwa perkembangan dalam masyarakat memang menjadi titik tolak dari keberadaan suatu peraturan. Karena itu hukum diarahkan untuk menjawab nilai-nilai kebutuhan masyarakat yang berubah dan hasilnya berisikan kemajuan dan pembaruan serta peningkatan hukum terhadap masalah yang diaturnya. Proses ini ditujukan untuk memelihara hubungan esensial antara hukum dan kebutuhan masyarakat dengan maksud agar hukum menjadi efektif, pasti, mudah dicari dan di mengerti oleh setiap anggota masyarakat, yang tentunya dalam bingkai Negara Hukum Pancasila.
Albert Hasibuan mengemukakan bahwa reformasi yang demokratis berdasarkan Pancasila selalu mendorong lahirnya politik pembaruan hukum yang bertujuan agar reformasi hukum berlangsung secara lebih baik (law reform for the better). Kenapa? Sebab, didorong oleh dinamika perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Karena itu, harus dipahami bahwa reformasi hukum untuk yang lebih baik sangat erat dengan dinamika kebutuhan masyarakat. Bagaimana caranya politik pembaruan hukum itu dilaksanakan? Salah satunya dilaksanakan melalui evaluasi hukum dan perundang-undangan (evaluatie van wetgeving).[27]
Terkait hal tersebut, Albert Hasibuan menguraikan lebih lanjut bahwa evaluasi hukum, berdasarkan pembaruan hukum untuk yang lebih baik, tujuannya agar hukum itu menjadi efektif. Seperti diketahui, efektivitas hukum berkaitan dengan peranan hukum sebagai alat atau instrument untuk tujuan politik reformasi yang demokratis berdasarkan UUD 1945 dengan melaksanakan nilai-nilai atau waarborg dari prinsip negara hukum. Dengan mengambil dan melaksanakan nilai-nilai hukum yang hidup di tengah rakyat (living law of the people), maka evaluasi hukum dan perundang-undangan akan menghasilkan politik pembaruan hukum untuk yang lebih baik, sesuai keadilan dan HAM, persamaan, pluralisme, dan sebagainya yang merupakan pengejewantahan nilai-nilai Pancasila. [28] Berdasarkan ini semua, Pancasila sebagai suatu paradigma memberikan dasar dan arah di mana dengan dilaksanakan politik pembaruan hukum tersebut, setiap hukum atau undang-undang yang tidak relevan dan bertentangan perasaan dan kesadaran hukum masyarakat dibaharui untuk dinamika kemajuan masyarakat yang Pancasilais.

Penutup

Negara hukum Indonesia memiliki ciri-ciri khas Indonesia. Karena Pancasila diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum, negara hukum Indonesia bisa juga dinamakan negara hukum Pancasila. Pancasila dalam konteks negara hukum memiliki beberapa karakteristik yang memberikan pengaruh pada tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia seperti : Pancasila menghendaki keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat dengan mengedepankan asas kerukunan; Pancasila menjamin adanya kebebasan beragama; Pancasila mengedepankan asas kekeluargaan sebagai bagian fundamental dalam penyelenggaraan pemerintah; dan Pancasila mengedepankan prinsip persamaan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Secara filosofis hakikat kedudukan Pancasila sebagai paradigma pembangunan hukum mengandung suatu konsekuensi bahwa segala aspek pembangunan hukum dalam kerangka pembangunan nasional harus mendasarkan kepada hakikat nilai-nilai Pancasila. Untuk itu Pancasila secara utuh harus dilihat sebagai suatu national guidelines, sebagai national standard, norm and principles yang sekaligus memuat human rights and human responsibility. Pancasila juga harus dilihat sebagai margin of appreciation sebagai batas atau garis tepi penghargaan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat yang pluralistik (the living law) sehingga dapat dibenarkan dalam kehidupan hukum nasional.
Sebagai suatu paradigma pembangunan hukum, Pancasila menghendaki bahwa perkembangan dalam masyarakat menjadi titik tolak dari keberadaan suatu produk hukum. Hukum diarahkan untuk menjawab nilai-nilai kebutuhan masyarakat yang berubah dan hasilnya berisikan kemajuan dan pembaruan serta peningkatan hukum terhadap masalah yang diaturnya. Karena itu, Pembinaan sistem hukum nasional seyognyanya mengacu terus kepada upaya pembaruan hukum melalui pengikisan sisa-sisa produk hukum kolonial Belanda yang sudah usang serta tidak sesuai dengan falsafah Pancasila. Hukum juga harus mampu tampil ke depan dalam memberikan arah pembaharuan yang dilakukan melalui pembentukan hukum yang sesuai dengan suasana kebatinan rakyat Indonesia yang mana Pancasila dijadikan sebagai main spirit.

Catatan Kaki :
[1] Dalam sejarahnya, perdebatan dalam konstituante tentang Pancasila sebagai dasar negara merupakan perdebatan yang alot dan argumentatif. Para kelompok baik nasionalis sekuler maupun kelompok agama Islam memiliki pandangan yang berbeda dalam melihat Pancasila. Bahkan sampai saat ini suatu tafsir yang lebih mendalam dan tuntas tentang Pancasila belum dilakukan, sekalipun dalam kaitannya dengan dasar negara. Dengan demikian Pancasila masih terbuka bagi bermacam-macam tafsiran filosofis. Namun demikian harus diakui bahwa Pancasila dapatlah dipastikan sebagai suatu perjanjian moral yang luhur antara berbagai anak bangsa. Lihat lebih lanjut dalam Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 146-160.
2 R. Soeprapto, Pancasila Menjawab Globalisasi Menuju Dunia Damai, Aman, dan Sejahtera, Yayasan Taman Pustaka, Jakarta, 2004, hlm. 45.
3 Pemberontakan G 30 S/PKI yang merupakan puncak dari pengingkaran terhadap Pancasila berhasil ditumpas dengan dukungan rakyat Indonesia yang tetap setia dengan idiologi Pancasila. Kenyataan ini membuktikan bahwa bangsa dan negara tetap menghendaki Pancasila sebagai idiologi dan dasar negara sesuai dengan kesepakatan yang dibuat oleh para pendiri negara. Ibid., hlm, 53.
4 Endang Sutrisno, Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi, Genta Press, Yogyakarta, 2007, hlm. 96.
5 Paradigma ialah cara pandang, nilai-nilai, metode-metode, prinsip dasar, atau cara memecahkan suatu masalah yang dianut oleh suatu masyarakat pada masa tertentu. Karena itu, Pancasila harus dijadikan paradigma dalam melaksanakan pembangunan nasional, yaitu sebagai landasan, acuan, metode, nilai dan sekaligus tujuan yang ingin dicapai. Lihat Elly M. Setiadi, Panduan Kuliah Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, hlm. 173.
6 R. Soprapto, op.cit., hlm. 20.
7 Dalam buku Negarakertagama karangan Empu Prapanca, sarga 53 bait ke-2 dikatakan, “Yatnanggegwani Pancasyiila Kertasengkarbhisekaka Krama.” Artinya, Raja menjalankan dengan setia kelima pantangan (Pancasila), begitu pula upacara-upacara ibadat dan pengobatan-pengobatan. Ibid., hlm 21.
8 Ahmad Syafii Maarif, op.cit., hlm. 146. Sebagai dasar negara Republik Indonesia, Pancasila juga bukanlah perahan murni dari nilai-nilai yang berkembang di masyarakat Indonesia. Karena ternyata, sila-sila dalam Pancasila, sama persis dengan asas Zionisme dan Freemasonry. Seperti Monoteisme (Ketuhanan YME), Nasionalisme (Kebangsaan), Humanisme (Kemanusiaan yang adil dan beradab), Demokrasi (Musyawarah), dan Sosialisme (Keadilan Sosial). Tegasnya, Bung Karno, Yamin, dan Soepomo mengadopsi (baca: memaksakan) asas Zionis dan Freemasonry untuk diterapkan di Indonesia.
9 R. Soeprapto, op.cit., hlm. 22
10 Lihat lebih lanjut uraian ini dalam Mikhael Dua, Filsafat Ilmu Pengetahuan : Telaah Analitis, Dinamis, dan Dialektis, Penerbit Ledalero, Maumere, 2007, hlm. 124-131.
11 Lili Rasjidi & I.B. Wyasa Putra., Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 103.
12 Ibid., hlm. 104.
13 Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung, 2007, hlm. 62.
14 Ibid, hlm. 33-34.
15 Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi: Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Alumni, Bandung, 2008, hlm. 34.
16 Ibid., hlm. 53.
17 Menurut Oemar Senoadji, dalam negara hukum Pancasila tidak ada pemisahan yang rigid dan mutlak antara agama dan negara, karena agama dan negara berada dalam hubungan yang harmonis. Sedangkan menurut Azhary bahwa dalam negara hukum Pancasila tidak boleh terjadi pemisahan agama dan negara, baik secara mutlak maupun secara nisbi karena hal itu akan bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Ibid, hlm. 54.
18 Ibid, hlm. 55.
19 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembanguan, Kumpulan Karya Tulis, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 20.
20 Ibid.
21 Yusuf Anwar, Pasar Modal Sebagai Sarana Pembiayaan dan Investasi, Alumni, Bandung, 2005, hlm. 36-37.
22 Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, Alumni, Bandung, 1993, hlm. 1-2.
23 Endang Sutrisno, op.cit., hlm. 102.
24 Ibid., hlm. 103-104.
25 Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 37.
26 Lihat Laica Marzuki, Berjalan-Jalan Di Ranah Hukum: Pikiran-Pikiran Lepas Prof.Dr.H.M. Laica Marzuki, SH, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hlm. 4.
27 Lihat tulisan Albert Hasibuan, Politik Pembaharuan Hukum, http://www.goodgovernance-bappenas.go.id/ archive_wacana/kliping_wawasan.htm diakses tanggal 4 April 2009.
28 Ibid.

Sumber Bacaan :
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2006.
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.
Elly M. Setiadi, Panduan Kuliah Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007.
Endang Sutrisno, Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi, Genta Press, Yogyakarta, 2007.
Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi: Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Alumni, Bandung, 2008.
Laica Marzuki, Berjalan-Jalan Di Ranah Hukum: Pikiran-Pikiran Lepas Prof.Dr.H.M. Laica Marzuki, SH, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.
Lili Rasjidi & I.B. Wyasa Putra., Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, 2003.
Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung, 2007.
Mikhael Dua, Filsafat Ilmu Pengetahuan : Telaah Analitis, Dinamis, dan Dialektis, Penerbit Ledalero, Maumere, 2007.
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembanguan, Kumpulan Karya Tulis, Alumni, Bandung, 2006.
Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, Alumni, Bandung, 1993.
R. Soeprapto, Pancasila Menjawab Globalisasi Menuju Dunia Damai, Aman, dan Sejahtera, Yayasan Taman Pustaka, Jakarta, 2004.
Yusuf Anwar, Pasar Modal Sebagai Sarana Pembiayaan dan Investasi, Alumni, Bandung, 2005.
Albert Hasibuan, Politik Pembaharuan Hukum, http://www.goodgovernance-bappenas. go.id/archive_wacana/kliping_wawasan.htm diakses tanggal 4 April 2009.