Kamis, 04 Juni 2009

MEMAHAMI KRISIS EKONOMI DI INDONESIA

Prolog

Masih segar dalam ingatan seluruh rakyat Indonesia, setelah berpuluh-puluh tahun terbuai oleh pertumbuhan yang begitu mengagumkan, tahun 1998 ekonomi Indonesia mengalami kontraksi begitu hebat. Tsunami ekonomi menggelegar dengan dahsyat dan tragis memporak-porandakan tatanan ekonomi dan tercatat sebagai periode paling suram dalam sejarah perekonomian Indonesia. Dampak krisis pun mulai dirasakan secara nyata oleh masyarakat, dunia usaha. Hanya dalam waktu setahun, perubahan dramatis terjadi. Prestasi ekonomi yang dicapai dalam dua dekade, tenggelam begitu saja dan juga sekaligus membalikkan semua bayangan indah dan cerah di depan mata menyongsong milenium ketiga.
Tidak dapat dipungkiri bahwa krisis ekonomi yang berlanjut pada krisis kepercayaan telah menimbulkan dampak yang luar biasa terjadap tatanan kehidupan bangsa Indonesia pada berbagai bidang, baik di bidang ekonomi maupun sosial dan politik. Betapa tidak dalam waktu yang singkat telah menyebabkan meningkatnya jumlah orang miskin, pengangguran, meningkatnya anak putus sekolah, meningkatnya angka kriminalitas, menurunnya kualitas kesehatan masyarakat serta efek negatif lainnya yang sangat dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Krisis ini kemudian diperparah oleh lemahnya supremasi hukum, keamanan, stabilitas politik, dan maraknya praktik KKN yang telah begitu menggurita dalam kehidupan masyarakat.
Seperti efek bola salju, krisis yang semula hanya berawal dari krisis nilai tukar baht di Thailand 2 Juli 1997, dalam tahun 1998 dengan cepat berkembang menjadi krisis ekonomi, berlanjut lagi krisis sosial kemudian ke krisis politik. Akhirnya, berkembang menjadi krisis total yang melumpuhkan nyaris seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Katakan, sektor apa saja di negara ini yang tidak luput dari goncangan badai krisis. Bahkan tahta mantan Presiden Soeharto pun goyah, dan akhirnya harus lengser dan catatan sejarah kepemimpinan rezim orde baru pun harus tutup buku untuk selamanya.

Konsepsi Krisis Ekonomi
Dalam ekonomi, krisis adalah istilah lama dalam teori siklus bisnis, merujuk pada perubahan tajam menuju resesi. Sebagai contoh krisis ekonomi 1994 di Meksiko, krisis ekonomi Argentina (1999-2002), krisis ekonomi Amerika Selatan 2002, krisis ekonomi Kamerun. Krisis itu sendiri di dalam laporan IMF, World Economic Outlook 1998 digolongkan menjadi berbagai jenis, yaitu currency crisis, banking crisis, sistemic financial crisis dan foreign debt crisis.
Dari segi asal timbulnya krisis, J. Soedradjat Djiwandono (2001) menjelaskan bahwa pada dasarnya krisis merupakan akibat dari gejolak finansial atau ekonomi dalam perekonomian yang mengidap kerawanan. Kerawanan perekonomian bisa terjadi karena unsur-unsur yang pada dasarnya bersifat internal, seperti kebijakan makro yang tidak tepat, lemahnya atau hilangnya kepercayaan terhadap mata uang dan lembaga keuangan dan ketidak-stabilan politik. Kerawanan dapat pula berasal dari faktor eksternal, seperti kondisi keuangan global yang berubah, ketidak-seimbangan atau misalign-ment nilai tukar mata uang dunia (dollar dengan yen), atau perubahan cepat dari sentimen pasar yang meluas sebagai akibat dari perilaku ikut-ikutan atau herd instinct dari pelaku usaha.
Lebih lanjut, J. Soedradjat Djiwandono (2001) menjelaskan pula bahwa kalau dilihat dari prosesnya, krisis tersebut didahului oleh suatu euphoria, adanya pertumbuhan yang tinggi dalam kurun waktu yang lama yang digambarkan sebagai suatu economic miracle antara lain oleh Bank Dunia, timbul perkembangan yang menampakkan tanda-tanda adanya bubbles seperti ekspansi real estates yang kelewat besar dan pertumbuhan pasar saham yang luar biasa bersamaan dengan masuknya dana luar negeri berjangka pendek secara berlebihan. Dalam keadaan tersebut kemudian timbul gejolak yang menyebabkan suatu distress dan melalui dampak penularan yang sistemik (contagion effects) menjadi krisis. Krisis tersebut semula terjadi di sektor keuangan-perbankan, kemudian melebar menjadi krisis ekonomi yang secara sistemik melebar menjadi krisis sosial, politik dan akhimya krisis kepemimpinan nasional.
Pada dasarnya pendapat para ahli ekonomi mengenai krisis terpecah menjadi dua kelompok besar. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa krisis sebagai suatu kepanikan finansial yang melanda banyak negara di dunia melalui suatu proses penularan. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa krisis sebagai akibat dari kelemahan fundamental ekonomi nasional karena pelaksanaan kapitalisme kroni yang mengandung banyak kelemahan struktural. Oleh Prof. Stephan Haggard kelompok pertama dinamakan sebagai internationalists, sedangkan kelompok kedua sebagai fundamentalists.

Penyebab Terjadinya Krisis Ekonomi di Indonesia
Jika ditelaah lebih dalam, krisis yang terjadi di Indonesia dapat dikatakan sangat unik. Krisis di Indonesia benar-benar tidak terduga datangnya bahkan banyak pakar yang menjelaskan bahwa di antara negara-negara yang bermasalah akibat krisis, Indonesia adalah negara yang paling tidak diperkirakan akan terkena krisis bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Ketika Thailand mulai menunjukkan gejala krisis, orang umumnya percaya bahwa Indonesia tidak akan bernasib sama. Fundamental ekonomi Indonesia dipercaya cukup kuat untuk menahan kejut eksternal (external shock) akibat kejatuhan ekonomi Thailand. Namun, fakta menunjukkan lain bahwa akibat lemah dan keroposnya fundamental ekonomi Indonesia, telah dilindas tanpa ampun oleh krisis yang secara faktual telah melemahkan sendi-sendi kehidupan ekonomi Rakyat.
Sebagian besar ahli berkesimpulan bahwa krisis yang terjadi di Indonesia pada dasarnya terjadi bukan hanya karena adanya kepanikan keuangan dan merajalelanya kapitalisme kroni dan masalah struktur yang lain, tetapi timbulnya krisis tersebut adalah merupakan kombinasi antara kepanikan keuangan dan lemahnya ekonomi nasional baik sektor perbankan maupun sektor riil sehingga menyebabkan lemahnya daya tahan perekonomian nasional menghadapi gejolak krisis. Krisis yang terjadi di Indonesia pada dasarnya dipicu oleh efek ketularan (contagion effect) krisis Asia Timur yang dimulai dengan jatuhnya nilai rupiah terhadap dollar USA akibat dana jangka pendek yang ditarik keluar negeri. Ketidakpercayaan terhadap rupiah menjalar menjadi ketidak percayaan terhadap perbankan yang menimbulkan krisis perbankan. Dalam keadaan ini bank tidak hanya ditinggalkan deposan akan tetapi juga ditinggalkan bank lain, termasuk bank mitra usaha di luar negeri. Krisis keuangan ini pada akhirnya menjadi krisis sosial dan berlanjut pada krisis dalam kehidupan politik yang memuncak dengan terjadinya krisis kepemimpinan nasional yang ditandai dengan berakhirnya rezim Orde Baru.

Pemulihan Perekonomian Indonesia Pasca Krisis Ekonomi
Dalam rangka menyehatkan ekonomi Indonesia akibat krisis, Sri Adiningsih (2001) berpendapat bahwa Indonesia perlu menjalankan program restrukturisasi pada lima bidang yakni sektor keuangan, korporasi, hukum ekonomi, birokrasi, dan tenaga kerja. Restrukturisasi sektor keuangan diharapkan dapat mengembangkan pasar keuangan yang sehat dan efisien sehingga lembaga keuangan dapat menjalankan fungsi intermediasi dan dengan efisien dan memperlancar mekanisme pembayaran. Restrukturisasi korporasi dapat dilakukan dengan cara restrukturisasi hutang-hutang perusahaan sehingga dapat dihasilkan perusahaan yang sehat dan mampu menggerakkan sektor riil sebagai salah satu pilar perekonomian. Restrukturisasi hukum ekonomi diharapkan agar ada suatu kepastian hukum, perlindungan pada pihak-pihak yang melakukan transaksi dan law enforcement yang dapat menjamin dilaksanakannya peraturan dalam bidang ekonomi perlu agar supaya ada keamanan dalam berbisnis di Indonesia. Restrukturisasi birokrasi amat penting dilakukan dalam rangka menyehatkan ekonomi Indonesia agar supaya penyimpangan dalam pengelolaan ekonomi yang pernah terjadi di Indonesia tidak terulang lagi. Reformasi birokrasi diperlukan agar supaya birokrasi dapat bekerja dengan efisien, di mana good public governance dapat direalisasikan yang akan mendukung perkembangan bisnis. Restrukturisasi tenaga kerja perlu dilakukan agar supaya pasar tenaga kerja dapat berkembang lebih seimbang dan sehat. Selain itu lapangan pekerjaan dapat ditingkatkan sehingga pengangguran segera dikurangi.
Bagi J. Soedradjat Djiwandono, restrukturisasi perbankan dalam program stabilitas dan pemulihan ekonomi merupakan bagian penting dan mendesak dari restrukturisasi sistem keuangan. Pertama, karena kelemahan perbankan diidentifikasikan sebagai masalah pokok timbulnya krisis, baik oleh mereka yang menganggapnya sebagai panik keuangan dari unsur eksternal yang menjalar menjadi krisis maupun oleh mereka yang menganggap krisis berasal dari kelemahan struktural ekonomi dalam negeri. Kedua, karena peran perbankan dalam sistem pembayaran nasional sangat dominan, maka penularan masalah dari sektor keuangan ke sektor riil berjalan melalui perbankan. Gejolak moneter menjalar ke sektor riil melalui perbankan yang juga menderita masalah struktural sebelumnya.
Dengan demikian, restrukturisasi ekonomi ini diharapkan selain dapat memulihkan ekonomi juga dapat mencapai cita-cita bangsa Indonesia diantaranya dengan membangun perekonomian yang memiliki daya tahan yang kuat (sehat) dan memiliki daya saing tinggi pada tingkat internasional. Untuk itu, Sri Adiningsih berpendapat bahwa ada beberapa agenda penting yang perlu dilakukan oleh Indonesia. Pertama, membangun ekonomi daerah yang kuat sehingga pertumbuhan ekonomi akan lebih merata antar kawasan. Kedua, memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam dengan baik agar supaya sumber kekayaan yang lestari tersebut dapat dimanfaatkan dengan optimal dan berkelanjutan. Ketiga, mengembangkan pasar keuangan yang sehat dan efisien. Untuk itu selain perlu mengembangkan industri perbankan, juga mengembangkan lembaga keuangan non-bank yang sehat dan efisien agar supaya perekonomian tidak terlalu tergantung pada perbankan. Keempat, perlu pengembangan dunia usaha baik sektor primer, sekunder, dan tersier yang lebih berbasis pada input lokal dan berdaya saing tinggi. Kelima, Pemerintah dan Bank Indonesia diharapkan dapat mengelola kebijakan ekonomi yang prudent yang dapat menciptakan iklim ekonomi yang sehat dan efisien. Juga dapat menciptakan iklim pasar yang sehat melalui regulasi, pengawasan, dan law enforcement yang dapat meminilisasi distorsi mekanisme pasar dan menjaga kepentingan nasional. Keenam, perlu adanya pengelolaan aset dan kewajiban negara yang baik agar supaya tidak terjebak ke dalam debt trap dan aset negara dapat dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkelanjutan.
Faisal Basri (2002) menegaskan bahwa bagi pemerintah dengan adanya krisis ini perlu dilakukan beberapa hal. Pertama, perlu pembenahan manajemen pembangunan dan pemerintahan. Kedua, melakukan reformasi pengambilan keputusan. Ketiga, diperlukan pengembangan kelembagaan yang menopang peningkatan dinamika perekonomian yang semakin sehat sehingga bisa menekan biaya transaksi (transaction cost). Keberhasilan menekan biaya transaksi akan memperkokoh keunggulan komparatif bangsa yang pada gilirannya mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Lebih jauh, diungkapkannya pula bahwa dari sisi ekonomi teknis, momentum bagi pemulihan yang berkelanjutan sangat bergantung pada ; pertama, keberhasilan dalam restrukturisasi perbankan untuk menghasilkan struktur perbankan yang sehat dan tangguh, sehingga bisa menjalankan perannya sebagai perantara finansial yang efisien. Kedua, keberhasilan dalam penyelesaian utang swasta yang dikaitkan dengan penyehatan struktur usaha. Ketiga, kelancaran masuknya arus modal dari luar negeri, baik dalam bentuk portfolio maupun penanaman modal langsung. Dalam hal ini peranan BPPN dan kementerian BUMN sangatlah strategis.

Epilog
Krisis ekonomi dan kepercayaan yang melanda Indonesia telah membuka jalan bagi munculnya reformasi ekonomi, karena hanya dengan adanya program reformasi ekonomi ini pada akhirnya akan dapat memacu membangun ekonomi yang memiliki daya tahan yang tinggi baik dari pengaruh eksternal maupun internal sehingga pemulihan ekonomi dapat segera dicapai oleh Indonesia. Selain itu restrukturisasi ekonomi dalam kerangka pemulihan ekonomi ini penting untuk meletakkan dasar-dasar yang diperlukan agar bangsa Indonesia siap menghadapi era pasar bebas dan dapat meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia secara berkelanjutan untuk mencapai cita-cita bangsa pada saat mendeklarasikan kemerdekaannya yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945.

Rujukan :
Anwar Adnan Saleh, dkk. (ed), Pemulihan Ekonomi dan Otonomi Daerah (Refleksi Pemikiran Partai Golkar), LASPI, Jakarta, 2001.
Faisal Basri, Perekonomian Indonesia-Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Indonesia, Erlangga, Jakarta, 2002.
I Putu Gede Ary Suta dan Soebowo Musa, Membedah Krisis Perbankan: Anatomi Krisis dan Penyehatan Perbankan, Sad Satria Bhakti, Jakarta, 2003.
J. Soedradjat Djiwandono, Bergulat Dengan Krisis dan Pemulihan Ekonomi Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001.
---------------------------------, Mengelola Bank Indonesia Dalam Masa Krisis, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2001.